Sangat disayangkan islam sebagai agama mayoritas di Indonesia belum bisa menjadi mayoritas dalam urusan ekonomi. Berdasarkan data forbes yang dikutip CNN Indonesia, dari enam orang terkaya di Indonesia pada 2016 hanya Chairul Tanjung yang beragama Islam. Tentu saja ini bukan perihal diskriminasi agama bernuansa SARA, mungkin sebagian orang akan bertanya-tanya apakah ada yang salah jika orang terkaya di Indonesia di dominasi oleh non-Islam. Tentu jawabannya tidak masalah. Saya tidak akan mempermasalahkan hal tersebut. Karena memang Indonesia adalah Negara yang multikultural, terdiri dari berbagai macam suku, agama, dan ras yang berbeda-beda. Dan itu merupakan anugrah dari Allah swt yang sudah seharusnya kita syukuri dan kita jaga. Jika bukan tentang diskriminasi agama lantas apa yang menjadi latar belakang saya menulis artikel ini?
Sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah dan para sahabat mayoritas adalah para pengusaha dan pedagang yang memiliki harta berlimpah. Bukti kekayaan Rasululloh terlihat pada saat memberikan unta muda sejumlah 20 ekor kepada Khadijah sebagai mahar pernikahan. Menurut Islamcendekia.com (2016) jika dirupiahkan 1 ekor unta muda dapat mencapai harga 4000 riyal atau setara 15 juta. Sehingga 15 juta dikalikan 20 ekor unta akan mencapai angka 300 juta. Menurut versi lain bahkan mencapai angka yang lebih fantastis. Menurut Hamdalah (2013) jika 1 ekor unta merah dibandrol dengan harga 200 dinar. Satu dinar emas nilainya setara dengan 4 gram emas, dan harga emas 2016 sekitar Rp. 500.000.-/gram,
maka 20 ekor x 200 dinar x 4 gram emas x Rp 500.000 = 8 Milyar rupiah. Dari sini mungkin sebagian orang masih akan berpikir negatif dan berkata “wajar jika Rasululloh dikayakan oleh Allah karena tanggung jawab beliau berdakwah membutuhkan biaya”. Namun perlu diingat bahwa Muhammad menikahi Khadijah di usia 25 tahun sebelum beliau diangkat menjadi Rasululloh di usia 41 tahun. Dan di usia 25 tahun itu beliau telah berdagang ke berbagai daerah seperti Yaman, Syiria, Busra, Iraq, Yordania, Bahrain dan simpul-simpul perdagangan lainnya di jazirah Arab.
Tidak sedikit pula Sahabat Rasululloh yang juga bergelimpang harta berkat berwirausaha dan berdagang. Beberapa diantaranya adalah Abdurrahman bin Auf seorang pebisnis ulung yang ketika tiba di Madinah saat mengikuti hijrah Rasululloh tidak membawa uang sepeser pun, dan yang pertama kali ditanyakan adalah di mana letak pasar. Dikutip dari alpontren.com (2013) total asset yang ditinggalkan beliau ketika wafat kurang lebih sejumlah 3,2 juta Dinar atau dalam rupiah setara Rp. 6,2 Triliun. Selain itu ada juga Utsman ibn ‘Affan salah satu sahabat yang dijamin masuk surga bersama Rasululloh yang ditaksir kekayaannya mencapai 2,5 Triliun rupiah.
Lantas selain di era rasululloh dan sahabat adakah bukti lain yang menunjukkan kejayaan umat muslim dari sisi ekonomi? Tentu saja ada. Jika kita pernah mendengar peradaban Andalusia yang selama kurang lebih delapan abad menjadi bukti kejayaan peradaban Islam di Eropa tepatnya di Spanyol. Pada masa itu perkembangan Islam terjadi dalam berbagai sektor kehidupan terutama pemikiran dan sains.
Sehingga berhasil membawa Andalusia menuju kemakmuran. Di Indonesia sendiri bukti kejayaan Islam pernah terjadi adalah pada era Wali Songo dimulai dari kerajaan Samudra Pasai sebagai pintu masuk Islam yang dibawa oleh para pedagang dari India, cina dan berbagai Negara lainnya. Sedangkan di Jawa ada Kerajaan Demak yang merupakan kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Demak merupakan kota besar saat itu dengan jumlah rumah sekitar 8000 sampai 14000.
Kisah-kisah di atas adalah bagian dari kejayaan Islam di masalalu. Sejarah telah membuktikan bahwa Islam hadir di tengah masyarakat sebagai rahmatan lil alamin termasuk urusan ekonomi. Tetapi perlu kita ingat dan perhatikan baik-baik bahwa itu semua adalah masa lalu. Kita tidak bisa terus-menerus menceritakan kisah hebat tersebut tanpa diiringi langkah dan perbuatan nyata untuk mewujudkan kejayaan Islam kembali. Karena sebenarnya yang jauh lebih penting adalah masa kini dan masa depan.
Perlu keberanian dan kejujuran mengakui bahwa Umat Islam saat ini mengalami kemunduran. Khususnya di bidang ekonomi, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa kekuatan ekonomi di dunia saat ini dikuasai oleh Amerika dan China. Dua Negara yang mayoritas penduduknya adalah non-Islam. Sekalipun Negara muslim yang kaya harta seperti Qatar, Arab Saudi, Brunai Darussalam sebagian besar kekayaannya didapat karena karunia kekayaan alam yang Allah titipkan di tanah mereka bukan karena SDM. Seperti tambang minyak, emas, dan berbagai hasil bumi lainnya yang tidak bisa terbarui. Sekali lagi kita tidak akan membahas diskriminasi agama disini.
Islam yang kita cintai ini adalah agama yang sebenarnya saat menjunjung tinggi kerja keras dengan tangan sendiri. Dalam Al-Quran Allah telah banyak memerintahkan kita untuk bekerja keras mencari karuniaNya. Seperti dalam surat Al-Jumuah ayat 10 yang artinya “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”Dan juga dalam surat al-Qasas ayat 73 yaitu “Dan adalah karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya.”
Lantas apa yang seharusnya kita lakukan saat ini untuk menjadi umat yang lebih baik lagi khususnya dalam bidang ekonomi. Banyak ulama di Indonesia yang mulai memperhatikan sisi ekonomi dalam dakwahnya, kita ambil contoh yaitu Ust. Yusuf Mansur beliau adalah Ustadz yang berdakwah tidak hanya dalam bentuk penyampaian ilmu melalui ceramah tetapi juga berperan aktif dalam menggerakkan ekonomi kerakyatan untuk mewujudkan cita-cita sebagai umat yang kuat dan mandiri secara ekonomi. Selain itu beliau juga seorang entrepreneur. Salah satu bisnisnya adalah Paytren jasa pembayaran multifinance dan transaksi elektronik lainya yang bisa dijalankan oleh berbagai elemen masyarakat.
Menjadi pengusaha dan pedagang adalah pekerjaan yang mulia dan banyak dilakukan oleh para ulama bahkan Rasululloh melakukannya sebelum diangkat menjadi Nabi. Bisa kita pastikan saat ini bahwa sebagian besar orang kaya bukan karena bekerja pada orang lain melainkan bekerja dengan tangannya sendiri. Suatu ketika ada yang bertanya kepada Nabi: ‘Wahai Rasulullah, pekerjaan apa yang paling baik?’. Rasulullah menjawab: “Pekerjaan yang dilakukan seseorang dengan tangannya dan juga setiap perdagangan yang mabrur (baik)” (HR. Al Baihaqi dalam Al Kubra 5/263, dishahihkan Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah 607). Ini jelas merupakan bukti bahwa berdagang merupakan pekerjaan yang utama dianjurkan oleh Rasululloh.