Merebaknya virus covid-19 di seluruh penjuru dunia tak terkecuali di Indonesia tak ubahnya mimpi buruk yang tak kunjung usai. Sampai sekarang perkembangan corona ini masih terus hinggap di kehidupan manusia.
Seolah tak kunjung menemui tanda-tanda berakhir, masyarakat kini menyambut era kehidupan baru atau dikenal dengan istilah new normal. Tak jarang, orang-orang yang frustasi karena kehidupan mereka khususnya kehidupan perekonomian terhenti memilih untuk tidak lagi berdiam.
Kini perlahan mulai bangkit dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan daya kekuatan yang mereka miliki. Ini merupakan tragedi terjadinya pandemi yang akan terukir menjadi sejarah di era abad 21.
Manusia sebagai makhluk sosial yang mana sangat tidak mungkin untuk hidup di tanpa pertolongan atau koordinasi dengan orang lain, sangat tersiksa dengan pembatasaan sosial seperti saat ini.
Pola kehidupan yang berubah 180 derajat cukup membuat terkejut dan dibutuhkan adaptasi yang tinggi. Baik di desa dan di kota, tua muda, pria wanita, semua terdampak oleh pandemi ini. Tanpa pandang profesi pula, covid nyatanya memang ada di mana-mana.
Kesulitan yang harus dihadapi di tengah era pandemi ini tidak hanya aspek ekonomi saja yang terpuruk, namun di seberang sana ada aspek pendidikan yang juga kacau balau. Meskipun telah menemukan solusi dengan pemanfaatan teknologi komunikasi yang disertai aplikasi pertemuan jarak jauh seperti zoom dan google meet, tetap saja masih ada ruang-ruang kosong yang tidak bisa maksimal.
Memasuki tahun ajaran baru, saat ini pendidikan sudah berlaangsung mulai dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi. Sebagai dampak dari pandemi di bidang pendidikan yang dirasakan oleh mulai dari murid, pengajar dan orang tua, kesulitan yang dihadapi kurang lebih sebagai berikut:
1. Intensitas Pertemuan antara Guru dan Murid Langsung Anjlok
Interaksi sosial dibentuk ketika dua individu atau lebih saling bertatap muka secara langsung. Namun kini telah melahirkan cabang interaksi baru utamanya di era wabah seperti sekarang ini yakni dapat dikatakan dengan istilah interaksi virtual.
Dalam interaksi virtual, kedua individu atau lebih harus tersekat sehingga tidak bertemu secara langsung. Ada banyak sekali kiranya aplikasi-aplikasi yang menawarkan konsep berupa ruang pertemuan online atau dalam jaringan (daring).
Sayangnya bagaimanapun pertemuan langsung akan jauh berbeda nuansa serta kesan perjumpaan dengan pertemuan daring ini. Apalagi dengan situasi ketat darurat yang membatasi seminimal mungkin untuk tidak berinteraksi seperti membatasi bercengkrama, bersalaman, dan bahkan berkumpul.
Terlebih lagi anak usia TK yang baru mengenal dunia sekolah sangat berbeda dengan zaman dulu. Saat ini mereka belum merasakan perubahan yang signifikan karena intensitas pertemuan dengan teman-temannya sangat terbatas.
Padahal di usia tersebut adalah usia yang pas untuk mengajarkan anak tesebut bersosialisasi. Tentang bagaimana cara memperkenalkan diri, mengaplikasikan kata maaf, tolong dan terima kasih saat sedang bersekolah, menghormati guru dan lain sebagainya. Sekalipun memang usia TK anak masih belajar sambil bermain, bersosialisasi tetap penting untuk diajarkan sejak dini.
2. Siklus Kehidupan Berubah Cenderung Kacau
Adanya jadwal belajar serta kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler misalnya, merupakan sebuah cara untuk membentuk karakter seseorang menjadi terorganisir dan terstruktur. Hal tersebut kini sudah tidak mungkin untuk dicapai karena situasi pandemi mencekam seperti saat ini.
Ketika sekolah berjalan seperti biasa pada era sebelum corona, jam istirahat di malam hari akan dipercepat agar bisa segera bangun di keesokan harinya. Begitu pula dengan aktivitas selama hampir seharian penuh yang mendorong tubuh yang kelelahan untuk segera beristirahat.
Saat ini, tubuh yang sangat minim akan aktivitas di luar rumah cenderung tidak mudah merasakan lelah fisik. Yang demikian tadi bisa dikategorikan sebagai faktor mengapa di malam hari orang masih saja terjaga atau bahkan begadang.
Di satu sisi, keesokan harinya ketika nereka akan memulai kegitan seperti tatap muka, mereka tidak terburu-buru untuk mandi, sarapan, memakai baju yang rapi (kecuali yang diwajibkan daring tetap berseragam) yang akhirnya membuat mereka menjadikan begadang sebagai rutinitas.
3. Keterbatasan Memperoleh Pinjaman Buku Fisik
Bagi sebagian pencari ilmu yang sudah memasuki jenjang pendidikan di lingkungan perguruan tinggi pasti memasukkan poin ke tiga ini sebagai salah satu sumber frustasi dalam kehidupan merekaa saat pandemi.
Bagaimana tidak, sekalipun sudah tersedia banyak jurnal online, namun ketika diminta untuk turut menyertakan buku fisik lah yang tidak mudah bagi sebagian orang. Sebab tidak semua orang memiliki level ekonomi yang sama, sehingga tidak mungkin tiap membutuhkan buku fisik harus terlebih dahulu membelinya.
Apalagi di kondisi seperti sekarang, kita dituntut untuk mengolah keuangan sebaik mungkin agar dapat melangsungkan kehidupan di tengah keterpurukan perekonomian.
Untuk akses mencapai perpustakaan juga sangat panjang dengan harus melengkapi diri dengan surat sehat, karena banyak mahasiswa yang berada di luar wilayah kampus kota-kota besar.
Ketiga poin tersebut berdasarkan pengamatan pribadi penulis. Permasalahan memang semakin kompleks dan membutuhkan solusi untuk menyelesaikannya. Terlepas dari peliknya permasalahan hidup, perlu untuk kita semua mengingat kembali dengan situasi sekarang kesehatan adalah yang utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H