Mohon tunggu...
Zulengka Tangallilia
Zulengka Tangallilia Mohon Tunggu... Freelancer - INDONESIA

Paramedic, Cinta Budaya dan Pendidikan, mendata dan mengembangkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan Merah (Cerpen)

15 Agustus 2020   11:20 Diperbarui: 15 Agustus 2020   11:36 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Asap rokok kretek mengepul keluar dari mulutnya, dihisapnya dalam-dalam sembari menyeduh kopi menantang malam. Angin berhembus pelan dan pohon-pohon mematung menepis cahaya rembulan yang bersinar terang malam itu.

Penjagaan yang ketat malam itu dilakukan karena salah satu pelaku zinah yang telah ditangkap sore tadi akan di rajam pas diperempatan jalan dibawah pohon asam. Rencananya mereka akan segera dikubur di bawah pohon dengan kaki sampai pundak dikuburkan, hanya kepala yang menghadap langit sembari dilempari batu oleh para pejalan kaki yang akan kepasar. Yah begitulah hukuman bagi mereka yang telah berbuat zinah, selain itu bagi mereka yang mencuri akan ditangkap dan diseret ke pohon asam itu dan tangan mereka akan dipotong, sekali terbukti mencuri maka jari-jari tangannya akan dipotong, jika kedua kali maka lengan tangannya yang akan dopotong, jika mengulagi lagi maka Ia harus merelakan kepalannya terpisah dari tubuhnya dan ditingkkalkan begitu saja membusuk atau dimakan anjing hutan dibawah pohon. jika beruntung, maka tubunnya akan di maqamkan.

Pelaku Zinah yang telah ditangkap sore itu hanya terus tertunduk menatap dinding dari pelepah pohon sagu, menunggu kepala mereka remuk menjadi sasaran lemparan batu sampai napas terakhir berhembus meninggalkan jasadnya. Hami yang malam itu bertugas menjaga mereka, lepas tengah malam maka Kari yang akan menggantikannya. Sesuai perintah Komandan Hasanuddin, mereka akan di Rajam besok pagi tepat cahaya matahari muncul disela-sela Gunung Bawakaraeng.

Semua persiapan telah dilakukan, mulai dari lubang tempat mereka akan dikubur dan batu-batu yang akan menjadi penjemput maut mereka.

"Hami, saatnya saya yang berjaga". Ucap Kari yang telah datang dengan segepal nasi ditangannya.

"Kari, kau mau apakan nasi itu?". ucap Hami.

"Akan saya berikan kepada dia !". ucap Kari Sembari menunjuk kepada perempuan itu.

"Untuk apa lagi, mereka akan segera mati besok pagi !". Ucap hami dan kemudian pergi tidur bersama laskar-laskar lainnya yang lelah berjalan jauh mengamankan Desa dari para tentara.

dengan Nasi yang ada ditangannya, Kari menghampiri Perempaun itu dan memberikannya.

"Kau pantas mendapatkan ini, makanlah". Ucap kari sembari menaruh nasih di tempurung kelapa yang ada didekat Perempuan itu, tempurung kelapa tempat Makan tahanan minggu lalu yang telah mati karena mencuri berulang kali.

Kari kemudian membuka sarung yang diselempangnya dan mengambil Tembakau, Ia gulung sambil menatap rembulan yang bersinar terang dari sela-sela pohon, seiring hilangnya rembulan dilangit, entah berapa gulung tembakau yang Ia hisap malam itu, Ia terus memandangi Perempuan itu, perempuan yang ditinggal suaminya melaut sejak dua tahun lalu, Ia telah Hamil besar, diketahui telah berzinah karena perutnya yang semakin membesar dan suaminya pergi melaut. Setelah ditangkap sore itu, Ia dipaksa menyebut bapak dari bayi yang ada diperutnya. Ia menyebut sepupunya Hasan.

Sore itu pula Hasan dijemput di Rumahnya, bersama mereka diarak keliling kampung dan kemudian disimpan di tempat itu. Tempatnya merenung karena besok Ia akan meregang nyawa.

"Saya sebenarnya tidak sanggup melakukan ini, tapi ini adalah perintah". Ucap Kari dengan kepulan asap keluar dari lubang hidungnya.

Perempuan itu hanya tetap menatap dinding dari pelepah sagu itu, dengan pandangan kosong dan air mata terus mengalir di matanya.

"Janganlah kau menangis, Sebentar subuh, saat semua teman-temanku sembahyang, saya akan melepaskan kau, tapi dia tidak !". Tunjuk Kari kepada Hasan, laki-laki yang telah diikat di rumah seberang.

Perempuan itu kemudian berpaling dan menatap hasang dari sela-sela dinding pelepah sagu, dengan mata yang penuh air mata, ia menatap Kari dengan diam. Ayam berkokok membangunkan para laskar itu dan segera mereka pergi untuk membasu muka dan Wudhu untuk sembahyang subuh.

"Inilah saatnya, Kamu segera pergi, tapi Ingat !. Jika kau tertangkap maka saya yang akan lebih dulu menggorok lehermu". Ucapnya dengan suara pelang.

Sontak, Perempuan itu berlari meninggalkan tempatnya di tahan, dan kemudian menghilang dibalik gelap malam.Kari pun lekas membasu muka dan Berwudhu, Ia kemudia shalat subuh bersama teman-temannya.

"Kari, dimana kau ?". Teriak Hami.

"Saya disini, saya baru saja sembahyang Subuh, kenapa ?". Jawab kari.

"Perempuan itu melarikan diri !". Jawab Hami.

"Tunggu apa lagi, kita cari". Jawab Kari.

Mereka kemudian bersiap untuk mencari, mereka terbagi emapat penjuru mata angin, Hami dan kari ka timur mengarah laut sedangakan yang lain mengarah ke arah yang lain, mentari mulai tampak membias dari Gunung Bawakaraeng. langkah kaki mereka semakin cepat, berdoa menyusul Perempuan itu. Tiba-tiba Hami melihat bekas seseorang yang telah melewati semak-semak.

"Dia pasti lewat sini". Ucap Hami

Mereka kemudian melepaskan tembakan kearah semak-semak hutan, letusan dan bauh bubuk mesiuh mengisi pagi itu, setelah menembakkan peluru sepuluh kali, mereka kemudian melanjutkan pencarian. Pencarian mereka sampai di bibir tebing, mereka melihat ceceran darah di ilalang dan daun-daun. Mereka yakin, peluru mereka telah menemui sasarannya.

Pencaharian mereka berlanjut, mereka mengikuti darah yang ada di daun-daun dan semak belukar. Kari dengan perasaan taku berjalan didepan, Ia berencana menebas perempuan itu jika menemukannya, karena Ia akan mendapatkan hukuman yang berat jika teman-temannya mengetahui jika Ia telah melepaskan tawanan yang Ia jaga. Langkah Kari semakin cepat melawati hutan mengikuti jejak darah di daun-daun.

Letusan senjata terdengar, Hami yang telah menemukannya.

"Ketemu". Teriak Hami.

Kari kemudian berlari menuju suara, teriakan Hami. sesampai di sumber suara, Kari terpaku melihat perempuan yang telah Ia lepaskan dengan Bayi penuh darah ditangannya, Perempuan itu telah melahirkan seorang puteri, yah... Puteri, Puteri dengan ari-ari yang belum terpotong.

"Serahkan anak itu !". Ucap Kari.

Perempuan itu tetap saja terdiam, terdiam lemas ditempatnya Ia memangku anaknya tanpa sehelai pun kain menutupi tubuhnya, perempuan itu telanjang karena sarung yang ia kenakan dipakai membungkus bayi yang Ia lahirkan. Perempuan itu kemudian menatap bayi perempuan yang telah Ia lahirkan dan menyerahkannya.

Hami yang menerima bayi itu, Tanpa ragu, Kari menebas leher perempuan itu dan berkata

"Maaf... !, biarkanlah saya yang merawat puterimu".

Kari kemudian membawa bayi itu dan meninggalkan Perempuan itu bersimbah darah tanpa kepala.

*** TAMAT ***

Bulukumba, 28 Shawwal 1436 H

Zulengka Tangallilia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun