"Sehari sebelum gue lompat dari lantai 7 Mall X, gue pulang kerja seperti biasa. Nyampe rumah ketemu bokap. Say hello. Tahu gak apa yang dibilang Bokap gue?"
"Apaan?" saya semakin penasaran mendengar kelanjutan ceritanya.
"Kata bokap, kemaren siang jalanan di depan gang heboh. Orang-orang berkerumun ngumpul semua," Ucup nyerocos.
"Emang kenapa, Pak?" tanya Ucup kepada bokapnya penuh rasa ingin tahu.
"Di dalam bengkel ada yang bunuh diri. Tapi baru ketahuan siang hari. Bengkel yang biasanya buka kok tumben hari itu tutup. Pas dibuka, gak tahunya ada yang gantung diri. Kata orang-orang udah dari pagi kejadiannya. Sayang ya, kenapa sih harus berbuat seperti itu? Bukankah gak ada masalah yang gak ada solusinya? Bokap gue trus nglanjutin omongannya. Kata beliau gak tahu kali ya kalo orang yang bunuh diri itu bakal disiksa di neraka sesuai dengan alat yang digunakan untuk mengakhiri hidup. Kalo bunuh diri pake piso, dia akan disiksa pake piso juga, pake tali buat mencekik leher disono juga bakalan disiksa dengan jeratan. Demikian juga yang matinya lompat dari tempat tinggi akan dijorogin. Sereeem deh pokoknya. Sebab apa die disiksa seperti itu? Karena die udah berani melanggar ketentuan Allah swt. Belum waktunya meninggal dunia, eh malah nekat bunuh diri."
Ucup asyik bercerita. "Gara-gara cerita bokap, gue gak jadi bunuh diri. Gue buang jauh-jauh keinginan itu. Lagian gue ingin mati dalam keadaan yang baik. Khusnul khotimah, kata Ustadz."
"Ahamdulillah, elo gak jadi. Kalo sampe elo lakuin apa yang sudah elo niatin, bakalan bikin sedih banyak orang. Rugi lo, dunia akherat," kata saya sok nasehatin.
"Iya bro, elo bener," jawab Ucup singkat mengakhiri obrolan sambil tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H