Mohon tunggu...
Zuhraini Husna
Zuhraini Husna Mohon Tunggu... Thalassophile -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pertanyaan Basi Itu Berbunyi, "Kapan Nikah?"

27 November 2018   13:33 Diperbarui: 29 November 2018   21:44 989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini pernikahan di usia muda menjadi tren di kalangan masyarakat Indonesia. Setiap bertemu dengan seseorang yang belum menikah, sapaan wajib berubah dari "apa kabar" menjadi "kapan nikah". Sekali dua kali mungkin bisa ditolerir, jika dilakukan terus-menerus mungkin kita akan terganggu. 

Bukan masalah kita yang terlalu sensitif dengan status lajang tersebut, tetapi setiap orang memiliki pandangan tersendiri pada pernikahan. Di zaman yang serba canggih seperti sekarang, pemikiran kita semakin terbuka terhadap banyak hal termasuk dalam pernikahan. 

Kita mungkin sudah memiliki kekasih, sudah memiliki pekerjaan tetap tetapi masih belum terpikir menaikkan status hubungan ke jenjang yang lebih serius. Ada banyak alasan dibalik itu semua, bukan takut pada komitmen. 

Pertanyaan "kapan nikah" adalah tekanan terbesar pada usia 20-an yang dianggap sudah waktunya menikah. Padahal menikah adalah urusan Tuhan yang tidak bisa kita paksakan dan kita tidak mengetahui kapan akan datang karena setiap orang memiliki zona waktu yang berbeda. Sama halnya dengan maut. 

Bisa saja setiap orang bertanya "kapan nikah" kemudian kita membalasnya dengan "kapan mati", tetapi itu sangat ekstrim dan tidak sopan. Sebagian besar menganggap pertanyaan seperti itu sangatlah sepele. Kenyataannya, banyak orang yang depresi karena didesak untuk menikah oleh orangtuanya, terus-menerus ditanyai kapan akan menikah oleh tetangga dan sanak saudara dan akhirnya menolak untuk pulang ke rumah dan bertahan di perantauan. 

Menikah bukan hanya untuk mendapatkan cap halal dengan pasangan. Jika semua orang memiliki prinsip agar halal dengan pasangannya, dipastikan tingkat perceraian di negeri ini akan semakin tinggi. 

Dari beberapa pengamatan yang saya lakukan di sekitar saya, banyak orang yang latah menikah karena teman-temannya sudah menikah dan tidak ingin ketinggalan, desakan orangtua terutama ibu yang selalu mementingkan omongan teman-temannya dan karena hamil diluar nikah.

Ketiga dasar menikah tersebut bisa disimpulkan bahwa menikah seakan-akan hal yang mudah untuk dilakukan. Padahal upaya untuk mempertahankan pernikahan tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Keputusan belum menikah bukanlah hal yang patut disalahkan karena menikah bukan bercanda. Sebelum menikah kita harus mempersiapkan diri terlebih dahulu, kita dan pasangan harus sama-sama cerdas.

 Kita harus melek terhadap finansial, bukan hanya mencari uang tetapi harus bisa mengelola uang, investasi seperti apa yang akan dilakukan dan sebagainya.

Selain finansial kita harus melek pada psikologi, paham dengan karakter masing-masing agar tidak menyesal pasca menikah. Keluhan seperti "dia dulu waktu pacaran ngga kasar kok, ngga cuek kok" satu persatu akan bermunculan karena tidak paham dengan pasangannya dan kurangnya komunikasi. Wanita itu ekspektasinya tingi sekali, berharap prianya mengerti apa yang ada dipikirannya dan tidak perlu diungkapkan. 

Kemudian berakhir dengan emosi dan curhat pada tetangga atau mantan kekasih. Kesal pada suami ditumpahkan semua pada anak yang jika melakukan kesalahan sedikit berujung pada kekerasan dan menimbulkan luka batin pada anak hingga menimbulkan gangguan mental. 

Oleh sebab itu, psikologi sangatlah penting terutama parenting. Ya mungkin ada yang berkilah belajar parenting setelah menikah saja. Telambat Ferguso! Dengan belajar parenting sebelum menikah kita akan paham banyak hal, termasuk pola asuh yang kita terima sejak kita kecil. Kita akan menemukan hal-hal yang seharusnya tidak terbawa hingga kita dewasa, seperti mudah marah, mudah ngambek, kasar, sulit percaya dengan orang lain, takut keramaian dan sebagainya. 

Jika sudah mengetahui sedikit banyak tentang parenting, kita akan berusaha menerapkan pola asuh yang benar sesuai kepribadian si anak kelak.

Oleh sebab itu, sebelum menikah kita perlu melakukan konseling pra nikah. Selain psikologi, agama tentu menjadi hal yang utama. Alasan inilah yang menjadi motivasi agar menjadi pribadi yang siap saat sudah menikah, membawa kapal pada tujuannya bukan berhenti di tengah lautan karena visi dan misi yang berbeda.

Orangtua, kakek, nenek mungkin menganggap mereka yang paling mengerti pernikahan seperti apa. Kenyataannya, pernikahan mereka tidak seindah itu karena kurangnya pemahaman dan kesiapan.

Sosial di Indonesia memang luarbiasa, pertanyaan kapan akan panjang sekali. Mulai dari kapan nikah, kapan punya anak, kapan anaknya nambah, hingga kapan anaknya nikah lagi. Padahal tanpa bertanya "kapan nikah" pun undangan akan datang pada waktunya.

Berhentilah bertanya "kapan nikah" dan membandingkan orang lain, menikah tidak semudah itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun