Mohon tunggu...
Zuhe Safitra
Zuhe Safitra Mohon Tunggu... Mahasiswa - SEAQIS

I am a self-directed and driven person with a cross-functional team to ensure success and achieve goal. I am a thinker with a good communication and technology skills.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Dirty Vote dari Sudut Pandang Linguistik

18 Maret 2024   10:38 Diperbarui: 2 April 2024   13:46 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pexels.com/photo/crime-scene-do-not-cross-signage-923681/

Jagad dunia maya Indonesia dihebohkan beberapa hari menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Hal ini disebabkan oleh sebuah film dokumenter besutan sutradara Dandy Laksono yang mulai tayang di kanal YouTube pada 11 Februari 2024 lalu. 

Film berdurasi hampir dua jam ini menghadirkan tiga ahli hukum tata negara kondang sebagai narator. Mereka adalah Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari. Film ini secara garis besar menggambarkan berbagai macam kecurangan yang terjadi pada proses Pilpres 2024. 

Sepanjang film ini ada banyak narasi dan ujaran yang dapat dibedah dengan menggunakan ilmu linguistik forensik. Tetapi saya ingin fokus pada narasi pembuka dan penutup dari film ini. Narasi yang disampaikan pada bagian tersebut dapat dikatakan adalah pesan utama yang dapat kita tarik dari film ini.

Film dokumenter Dirty Vote ini dibuka dengan narasi yang cukup pedas oleh para narator yang terlibat di dalam film ini secara bergantian. Narator pertama, Zainal Arifin Mochtar, muncul dengan narasi permintaan kepada penonton untuk menjadikan film ini sebagai landasan untuk melakukan penghukuman, kemudian dilanjutkan dengan narasi bahwa memang telah terjadi kecurangan yang luar biasa sehingga Pemilu saat ini bisa dianggap tidak baik-baik saja, yang disampaikan oleh narator kedua, Bivitri Susanti. 

Narator ketiga, Feri Amsari, pun menyampaikan narasi yang tak kalah tajam bahwa film dokumenter ini adalah sarana pendidikan bagi publik untuk mengetahui lebih jauh betapa curangnya pemilu itu. Beliau juga menekankan bahwa film ini menggambarkan bagaimana para politikus negeri ini mempermainkan pemilih untuk kepentingan mereka. Tidak berhenti di situ. Para narator ini juga mengajak kita untuk tidak membiarkan kecurangan yang terjadi hanya dengan alasan kelancaran pemilu. Segmen pembuka ini ditutup dengan narasi yang memiliki makna sangat dalam yaitu masyarakat Indonesia punya peranan besar melahirkan seseorang yang bernama Jokowi.

Epilog yang disajikan pada film dokumenter ini juga tak kalah menarik dan pedas. Feri Amsari mengatakan bahwa semua  rencana kecurangan ini tidak didisain dalam satu malam dan sendirian. Beliau mengungkapkan bahwa sebagian besar rencana kecurangan tersebut sudah terstruktur, sistematis, dan massif. Beliau juga menekankan bahwa rencana ini disusun bersama dengan melibatkan kekuatan yang sudah berkuasa selama sepuluh tahun terakhir. 

Hal ini diamini oleh Zainal Arifin Mochtar yang mana ia berpendapat bahwa desain kecuarangan yang sudah disusun bersama ini akhirnya jatuh ke tangan satu pihak, yakni pihak yang memegang kunci kekuasaan di mana ia dapat menggerakkan aparatur dan anggaran. Kemudian Bivitri Susanti menambahkan bahwa sebetulnya kecurangan yang sudah diapaprkan dalam film ini bukan suatu yang baru dan hebat. Namun, beliau menekankan bahwa skenario kotor yang disusun bersama itu tidak memerlukan kecerdasan dan kepintaran untuk menjalankannya melainkan hanya perlu memiliki mental culas dan tahan akan malu.

Narasi-narasi yang disampaikan pada awal dan akhir film ini tentu saja dapat berdampak pada aspek sosial, politik, dan hukum. Pada aspek sosial, hal ini dapat memengaruhi persepsi dan opini penonton bahwa para pelaku di film ini memang telah melakukan kecurangan dalam proses pemilu. 

Hal ini dapat menimbulkan keraguan dan kecurigaan terhadap integritas pemilu sehingga bisa berakibat pada tingkat partisipasi masyarakat yang rendah karena mereka telah kehilangan kepercayaan terhadap pemilu. Kepercayaan masyarakat terhadap pemilu hendaknya dijaga oleh seluruh pemangku kepentingan, dengan menciptakan penyelenggaraan pemilu yang bebas, jujur, dan adil sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang Pemilu (Gustrinanda, 2023).


Lebih jauh lagi narasi yang disampaikan tersebut apabila dilihat dari aspek politik tentu bisa memengaruhi interpretasi dan pemahaman politik publik dan ini dapat memengaruhi pilihannya. Tingkat kepercayaan publik terhadap proses pemilu tentu akan menurun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun