Pengalaman hidup adalah kampus bagi Naryo. Meskipun ia tidak pernah duduk di bangku kuliah seperti anak-anak muda masa kini, ia tumbuh menjadi sosok yang dipercaya di desanya. Kepercayaan itu bukan datang tiba-tiba. Naryo mengasah dirinya dari obrolan-obrolan sederhana dengan mantan-mantannya, yang tanpa ia sadari menjadikannya seorang pembicara ulung.
Di usia yang masih tergolong muda, Naryo telah melangkahi tradisi. Ketika acara lamaran di desa biasanya menjadi panggung bagi para sesepuh, justru nama Naryo yang disebut untuk mewakili keluarga. Penampilannya tidak pernah mengecewakan. Dengan kata-kata yang disusun rapi dan senyumnya yang hangat, Naryo mampu membawa suasana menjadi cair, menepis ketegangan yang sering kali menyelimuti acara formal seperti itu.
Naryo pernah di tanya teman seumurannya. Sudah berapa perempuan yang menjadi mantannya saat ini. Naryo memang perayu ulung. Di cap Playboy kelas kampung oleh teman-temannya. Semua gadis cantik di desanya tidak ada yang luput dari rayuannya. Namun begitu, dari sekian yang telah dipacari tidak ada satupun yang sampai pada tahap menikah dengan Naryo.
Memang betul kata sebagian orang, untuk menjalani kehidupan yang begitu panjang tidak mudah hanya bermodal kata dan muka. Naryo sampai umur tiga tahun masih belum punya pekerjaan tetap. Ia pernah mencoba peruntungan dengan menjadi makelar cengkeh, tidak lama profesi itu ditinggalkan karena rasa malas mengalahkan kebutuhannya.
Selang beberapa minggu menganggur, ia mencoba memasuki dunia pendidikan yang ada di desanya. Tapi setelah menjalaninya selama tiga bulan, pekerjaan itupun ia tinggalkan juga.
Pagi itu Naryo sarapan di warung pecel Mbah Gito. Bagi orang di desanya, warung Mbah Gito menjadi warung paling legendaris. Pecel dengan sayuran lengkap sudah ia pesan, tidak lupa kopi buatan khas desa yang campurannya ada berasnya juga telah disajikan Mbah Gito.
"Monggo mas Naryo kopi hitamnya "
"Waah matursuwun Mbah" Naryo menjawab dengan sumringah
"Gimana ini mas, sudah ada pengganti dari mbak sela anaknya Haji Kartono belum?" mbah gito mencoba membuka percakapan itu. Meski Mbah Gito hanya basa basi, tapi Naryo tampak kaget, seketika sumringah menjadi resah.
Sela anak Pak Haji Kartono mantan terkhir Naryo itu terpaksa memutuskannya setelah tahu orang tuanya menerima lamaran dari pemuda warga desa sebelah yang lebih jelas pekerjaannya.