Malam ini, Naryo duduk dikursi teras. Jarinya masih menggapit kretek yang ia sulut lima belas menit yang lalu.Pikirannya melayang kemana-mana. Ia teringat kejadian-kejadian yang ia lalui satu minggu terakhir ini.
Pelan-pelan Naryo mendengar kendaraan berhenti. Ada dua orang bertamu kerumahnya. Yang satu berperawakan kurus memakai topi warna abu, satunya lagi tubuhnya kekar.
"Assalamualaikum mas Naryo" ucap tamu bertopi itu
"Waalaikumsalam, nyari siapa mas?" Tanya naryo sambil berdiri menghampiri kedua tamunya
"Ini mas, kami dari tim sukses pasangan calon bupati no 02" jawab tamu yang berbadan kekar
"Mau memberikan uang saku untuk besok pagi, Mas" Lanjut tamu bertopi sambil menyodorkan amplop dan gambar calon bupati jagoannya.
Naryo tidak langsung menerima amplop yang berisi uang saku itu, ia terlebih dulu menerima gambar calon bupati yang disodorkan tamunya.
"Terima ndak ya" pikir Naryo dalam hati
"Kalau tidak diterima toh ini dikasih, tapi kalau diterima berarti aku harus mencoblos pasangan yang memberikan uang ini  dan itu berarti aku menjual hak pilihku" gumam Naryo lagi
Naryo termasuk warga desa sunen yang berada  dibawah garis kemiskinan. Hasil dari buruh tani hanya cukup untuk makan sekeluarga.
Dalam kebingungannya yang menjadi-jadi, Ia memutuskan untuk menerima amplop itu. Pikirnya semua orang seperti dia pasti akan memutuskan untuk menerimanya. Toh ini bukan uang mencuri, ya ini diberi, bahkkan Ia tidak meminta.
Hari sudah sangat larut, malam ini Naryo mendapat rejeki tambahan. Ia tidur dengan perasaan bahagia.
"Besok aku bawa anak - anak jajan bakso , lumayan mereka jarang makan mewah" ujar Naryo dalam hati sambil memperhatikan anak istrinya yang sudah tertidur
Keesokan harinya, waktu Naryo akan berangkat mencoblos, ada suara knalpot didepan rumahnya lagi. Kali ini, tamunya terlihat rapi, wajahnya cerah. Memancarkan kepercayaan diri. Setelah basa-basi, Naryo tahu kalau tamunya dari tim sukses calon bupati dari 01.
"Berapa mas, kalau saya mencoblos jagoanmu?" Tanya Naryo tanpa basa basi kepada tim sukses yang datang pagi itu.
"200 ribu Mas Naryo" Jawab tamunya dengan penuh percaya diri.
"Wah dua kali lipat dari yang semalam" Kata Naryo dalam hati.
"Kalau dipikir, betul juga, kita harus membela yang bayar, Â mereka pasti sudah menghitung berapa biaya per suara, berapa lama akan mbalik modal, toh siapapun yang akan terpilih hidup pasti akan begini - begini saja" gumam Naryo sambil teringat amplop yang disimpan rapi dibawah bantal.
"Baik, Mas, sini amplopnya saya terima"
Naryo benar-benar menerima amplop itu dari kedua pasangan calon. Baginya, uang saku itu adalah haknya. Ia tidak tahu politik, Ia juga tidak memusingkan siapa yang terpilih nanti. Bahkan, program apa yang berpihak kepadannya pun mana paha. Yang Ia tahu adalah perut anak istrinya adalah tanggungjawabnya. Dan Amplop-amplop itu bisa sedikit mengganjal perut keluarganya untuk beberapa hari kedepan.
Jam sudah menunjukkan pukul 10.00, Naryo telah selesai menuntaskan pilihannya pada bilik TPS. Seperti yang mereka inginkan--mencoblos yang bayar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H