Sebagai lulusan pesantren dan mempunyai wawasan yang luas dibandingkan kebanyakan orang, sudah sepantasnya aku mempunyai tempat untuk menularkan ilmu-ilmuku. Aku sudah berpengalaman dalam menjalankan pesantren, setidaknya dengan ikut dalam kepengurusan pesantren yang saat ini akan  aku tinggalkan.
Pesantren itu sudah tidak memberikan ruang dan jabatan kepadaku setelah beberapa kali usulanku tidak dikabulkan, padahal hanya aku yang punya visi yang jelas dan terukur. Dalam rapat terbatas dengan pengurus, aku seringkali berbeda pendapat, yang paling keras ketika rapat penentuan santri baru.
Aku berpendapat bahwa semua santri harus diterima di pondok ini, karena aku tahu pasti apa yang harus dilakukan agar pondok ini berkembang. Aku satu-satunya yang bisa membawa pondok ini maju. Mereka semua tidak sepakat dengan usulanku, padahal seharusnya mereka menyadari bahwa aku lebih tahu apa yang terbaik untuk pondok ini.
Aku merasa dipermalukan di depan mereka semua, dipandang seolah-olah aku tidak tahu apa yang sedang aku bicarakan. Padahal, jika mereka mau mendengarkan, pondok ini bisa berkembang lebih besar lagi. Tapi, mereka lebih memilih untuk terus menjalani rutinitas yang kuno. Aku... aku yang tahu jalan keluar, dan mereka tak melihatnya.
Aku merasa sudah saatnya dunia melihat betapa besar ilmu yang aku punya, tidak ada kata lain selain aku harus membangun pondok pesantren sendiri. Tepat setelah beberapa perenungan yang mendalam dan berkonsultasi dengan guru-guru sepuh. Mereka semua menyetujui angan-anganku, karena merekalah yang paham visi besarku.
Salah satu dari jawaban mereka kurang lebih begini.
"Bangunlah segera Pondok Pesantren dengan ciri khas sesuai keinginanmu, kamu sudah belasan tahun ada di dalam asuhanku, sebagai murid kinasih kamu tidak perlu ragu untuk melanjutkan cita-citamu"
Pesan dari guru sepuh itu jelas. Beliau tahu siapa aku--kapasitasku. Beliau tahu visi besar yang aku miliki. Dan Beliau memberikan dukungan penuh. Aku tidak perlu ragu lagi. Aku pasti bisa membangun pondok pesantrenku sendiri, dan kali ini, aku akan memastikan semuanya berjalan sesuai keinginanku.
Tahun pelajaran akan segera dimulai, pembuktian bahwa aku patut menjadi pemimpin pondok pesantren akan dibuktikan sebentar lagi. Mereka semua harus tahu bahwa tidak ada yang pantas menularkan ilmunya jika tidak memiliki kapasitas dan wawasan luas seperti aku.
Brosur sudah aku sebar ke seluruh kampung, media social sudah dibuat sebagus rupa. Meski asrama untuk sementara waktu menggunakan dua kamar dirumahku, tapi aku yakin warga yang sudah mendapat brosur akan berbondong-bondong memondokan ke pondok pesantrenku. Tidak ada persayratan khusus untuk masuk ke pondoku, yang paling penting mereka harus mampu membayar biaya yang aku tetapkan. Dari pengalaman yang sudah sangat luas, aku melihat bahwa semakin besar biaya pondok, maka wali santri akan semakin mantap dan tidak ada keraguan memondokan anaknya.
Hari pertama pondokku dibuka. Beberapa santri datang, sebagian besar membawa harapan tinggi, meskipun mereka ragu dengan biaya yang kutetapkan. Mereka tidak tahu bahwa ini adalah langkah pertama menuju masa depan cerah. Aku sudah merencanakan semuanya dengan sangat teliti. Namun, ketika aku melihat mereka semua memasuki ruang asrama yang sempit, terasa ada sesuatu yang ganjil---sesuatu yang tidak sesuai dengan bayanganku tentang kesuksesan. Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa ini hanya masalah waktu, dan bahwa semuanya akan berjalan dengan lancar begitu mereka melihat visi besar yang kutawarkan. Tapi di dalam hatiku, ada sedikit keraguan, yang mulai tumbuh semakin besar. Apakah aku benar-benar tahu yang terbaik?Â
Meskipun ada sedikit keraguan, namun aku selalu harus sadar bahwa ini adalah permulaan yang baik, dunia harus segera tahu kesuksesanku . Disini dipondok yang baru dibangun ini akan ada banyak santri, datang dari segala penjuru.
Meski sudah aku sampaikan berkali-kali, namun ada saja wali santri yang meragukan visi besarku.
"Pak Yai, bagaimana santri punya kualitas istirahat yang bagus jika kamarnya sesempit ini?"
Aku tidak langsung menjawabnya, bagiku ini hinaan. Tapi aku memaklumi karena sebagian besar wali santri tidak pernah mondok, mereka tidak tahu apa itu perjuangan. Mereka pasti tidak tahu arti dari tirakat.
"Bapak tenang saja, mondok itu bukan untuk beristirahat seperti di hotel, santri harus di gembleng baik fisik maupun batinnya. Dua hal itu yang akan membuat anak bapak menjadi manusia berkualitas seperti saya. Coba lihat pondok mana yang punya pimpinan sekualitas saya"
Aku sangat percaya diri mengatakannya.
"Tapi Pak Yai, apakah anak saya tidak berhak istirahat dengan nyaman, apakah itu juga dalam pendidikan"
"Ah, itu kan sudah saya jelaskan tadi, percayalah, anak Bapak akan berkembang lebih baik di sini---kalau saja orang tua mereka tidak ragu-ragu seperti ini. Bapak harus paham betul, tugas santri dan wali santri itu Cuma mengikuti apa kata Kiai, dalam hal ini saya. Sudah pasti keberkahan itu akan mengikuti Bapak dan Anak Bapak dimanapun---kapanpun"
Terang juga akhirnya, aku tidak butuh kritik dan saran dari orang yang tidak paham pondok pesantren. Mereka tidak tahu kapasitas, wawasanku yang luas.
Pondok yang aku bangun kini sudah beroperasi selama dua bulan, kalua disyaratkan manusia memang pondokku ini seperti bayi yang baru bisa mengenal siapa orang tuanya. Tapi itukan bayi, beda dengan pondokku. Hem, bagiku dua bulan adalah dua langkah menuju kesuksesan, tidak ada langkah yang dimulai dari melompat, tapi langkahnya ini sangat lebar, beda dengan pondok -- pondok lain. Meski baru memperoleh lima santri, tapi aku tidak patah semangat. Berkelas itu ekslufipp!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H