Mohon tunggu...
Zuhdi Triyanto
Zuhdi Triyanto Mohon Tunggu... Operator - Tenaga Administrasi

Suka kopi apa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak Buruh Tani

5 November 2024   14:00 Diperbarui: 5 November 2024   14:09 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah hidup yang sulit, aku tidak punya cita-cita yang jelas seperti teman sekelasku. Sejak kecil orang tua hanya berharap anak-anaknya bisa sekolah sampai tamat SMA. 

Bagi orangtuaku yang hanya tamatan SD, bisa menyekolahkan anaknya sampai Tamat SMA adalah anugrah yang luar biasa. Berbeda dengan Guru BK yang selalu memotivasi anak didiknya untuk menaruh cita-cita setinggi langit. Aku tahu kita memang boleh mempunyai harapan seperti apapun. Namun kita juga harus bisa berfikir realistis. 

Misalnya, tidak salah jika aku berharap suatu saat punya sepeda motor RX king. Namun melihat orang tua yang bekerja sebagai buruh tani, rasanya kurang elok mempunyai keinginan seperti itu. Apalagi untuk kebutuhan makan orang tuaku sering kekurangan.

Siang itu di tengah pelajaran bahasa indonesia, setiap siswa diwajibkan mempresentasikan cita - citanya. Selain untuk mengetahui rencana apa setelah lulus SMA, tugas itu juga sebagai bentuk praktik berpidato didepan kelas.  

Tono, anak bos rosok telah selesai presentasi, dia dengan yakin dan lancar  berkata bahwa setelah lulus akan melanjutkan ke perguruan tinggi di ibu kota mengambil jurusan teknik. Tono memang dikenal sebagai siswa yang cerdas dan penuh kehati-hatian. 

Dalam ceritanya Tono sudah melakukan beberapa diskusi dengan saudara dan kakak kelas tentang jurusannya. Suara tepuk tangan dari teman sekelas membuat suasana menjadi hidup dan penuh harapan.

Aku masih meraba hal apa yang tepat untuk diomongkan didepan kelas. Sebagai anak buruh tani tentu ini tidak mudah. Mau bilang setelah ini akan kerja jadi kuli bangunan rasanya kok memalukan, seperti orang yang putus asa. 

Atau kalau bilang mau kuliah juga sepertinya itu tidak mungkin, uang dari mana, kuliah dimana, belum lagi harus ambil jurusan apa. Aku masih bingung mau ngomong apa. Tiba saat aku dipanggil, langkah kakiku masih gamang, kedua tanganku dingin. 

Detak jam dinding menggedor telingaku seperti mengetuk rasa takut yang diam-diam aku simpan, suara gesekan sepatu dan lantai membuatku tambah bingung mau cerita apa.

"Assalamualaikum warahmatullah. Yang terhormat Guru Bahasa Indonesia, Bapak Tohari. Yang saya cintai teman - temanku XII IPA 1"

Semua menjawab dengan kompak. Aku memang sengaja mengucapkan salam dengan lantang untuk menutupi kegugupanku. Semua nampak hening, detak jam dinding masih sangat lantang terdengar ditelingaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun