Pada dasarnya krisis terjadi pada waktu yang tidak terduga dan muncul tanpa adanya tanda-tanda. Meskipun awal permasalahan terjadi dalam jangka waktu yang pendek, tetapi seringkali mengakibatkan konsekuensi jangka panjang.
Berita ini tentu saja akan membuat bingung masyarakat terutama si ojol-nya. Tak sampai disitu, masih kata pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo, Â Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2020 Â tersebut bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan.
Mengelola Komunikasi Krisis yang harus diperhatikan adalah memahami paradigma bahwa saat ini negara dalam situasi yang tidak normal karena krisis (Devlin, 2007:5). Hal ini diperlukan bagi para pejabat dan pelaku komunikasi untuk berbicara  dengan data, memegang asas kehati-hatian dalam mengemas narasi dan tidak berbohong.
Kesimpangsiuran informasi yang terjadi dalam masa krisis disebabkan, masih terjadinya multi tafsir dalam mengimplementasikan aturan yang ada. Ini bisa saja buah dari tidak adanya satu komando sentral dalam melihat krisis covid-19. Efeknya  banyak pihak disengaja atau tidak memberikan statement pada media, padahal dalam situasi krisis informasi harus keluar dari satu sumber.
Jadi yang utama dibutuhkan dalam krisis adalah komunikasi yang cair. Perlu cetak biru (blue print) yang jelas dan terukur dalam mengatur peran antara Pemerintah Pusat dan Daerah agar tidak terjadi kebingungan dan saling menyalahkan. Â
Presiden adalah ‘news maker source’ di mana humas mutlak harus menyiapkan rilis yang isinya dimulai nama detail acara, siapa saja pelaku acaranya dan tentu saja dengan data-data yang akurat. Semua ini dilakukan dalam mengantisipasi terjadinya salah pemberitaan.
Zuhdi Saragih
Former Praktisi Humas - Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Nasional Jakarta (UNAS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H