Mohon tunggu...
zuhdi ilham nadjir
zuhdi ilham nadjir Mohon Tunggu... Penulis - buruh tulis

cuman buruh tulis yang hoby filsafat dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Dilema Etis Pemilihan Kepala Daerah

10 Agustus 2024   23:22 Diperbarui: 10 Agustus 2024   23:22 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) menjadi panggung utama untuk menguji praktik politik yang adil dan representatif. Meskipun tujuannya adalah memberikan kedaulatan rakyat, dalam pelaksanaannya ucap kali diwarnai berbagai dilema etis, baik dari segi pelaksanaan maupun hasil yang diharapkan.

Pilkada bukan hanya proses untuk memilih pemimpin daerah tetapi juga menunjukkan seberapa baik demokrasi di tingkat daerah. Jurgen Habermas mengatakan bahwa demokrasi dapat diukur dari proses komunikasi dan bukan hanya hasil pemilihan. Setiap pemangku kepentingan---baik penyelenggara, kandidat, maupun pemilih---harus terlibat dalam diskusi yang konstruktif dan rasional untuk mencapai konsensus yang dapat diterima dalam konteks pemilu (Habermas, 1996).

Meskipun demikian kenyataan di lapangan sering kali berbeda. Praktik politik uang, agenda setting media, dan penyalahgunaan kekuasaan adalah contoh distorsi dalam proses demokrasi ini. Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Aspinall dan Berenschot (2019) menunjukkan bahwa praktik politik uang dalam Pilkada sangat umum terjadi dan telah menjadi bagian dari budaya politik di banyak daerah di Indonesia. Fenomena yang tidak hanya merusak integritas pemilihan tetapi juga menghambat munculnya pemimpin yang benar-benar representatif.

Pilkada menimbulkan pertanyaan bagi keadilan juga representasi selain masalah etis dalam pelaksanaan. Apakah para pemimpin yang terpilih benar-benar mewakili kepentingan rakyat, atau hanya perpanjangan tangan dari elit politik yang berkuasa? Terkait persoalan ini, John Rawls menyarankan teori keadilan distributif. Teori ini dapat membantu dalam menentukan seberapa efektif pilkada dalam memberikan distribusi kekuasaan yang adil di tingkat lokal (Rawls, 1971).

Pada konteks politik daerah di Indonesia, distribusi kekuasaan sering kali terhambat oleh sistem patronase yang kuat, di mana kekuasaan politik didistribusikan melalui jaringan patron-klien yang menguntungkan segelintir elit. Hal ini mencipta kesenjangan antara aspirasi masyarakat dengan kebijakan yang dihasilkan karena pemimpin yang terpilih lebih cenderung melayani kepentingan patron mereka dibandingkan dengan konstituen yang mereka wakili. Sebagai hasil, keadilan distributif yang diharapkan dari Pilkada sering kali tidak tercapai, dan representasi politik menjadi lebih simbolis daripada substantif.

Muhtadi (2020) melakukan penelitian tentang pemilihan di Indonesia dan menemukan bahwa, meskipun sistemnya dimaksudkan untuk meningkatkan representasi lokal, banyak kali hasilnya justru memperkuat oligarki lokal. Muhtadi berpendapat bahwa ini disebabkan oleh ketergantungan yang tinggi pada mesin politik yang dikuasai oleh elit lokal dan rendahnya partisipasi politik warga. Oleh karena itu, Pilkada seringkali tidak mencapai tujuan utamanya sebagai alat untuk demokrasi lokal yang inklusif.

Melihat berbagai masalah yang ada, sistem pemilihan harus diubah. Sistem pendanaan kampanye adalah salah satu komponen yang harus direformasi. Menurut penelitian Marpaung dan Indrayani (2023), tidak ada transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan dana kampanye Pilkada. Ini memungkinkan korupsi dan politik uang yang merusak demokrasi. Mereka menyatakan bahwa, meskipun laporan keuangan kampanye dikirim, seringkali tidak jelas bagaimana mereka digunakan, menimbulkan keraguan tentang kepatuhan terhadap peraturan hukum yang berlaku.

Selain itu, pendidikan politik masyarakat harus ditingkatkan. Seperti yang dikemukakan oleh Hasyim dan Azkia (2023), pendidikan politik yang efektif dapat meningkatkan kesadaran politik dan partisipasi warga, khususnya pemilih pemula, yang pada gilirannya dapat mengurangi dominasi elit politik dalam Pilkada. Pendidikan politik yang efektif memungkinkan masyarakat untuk lebih kritis memilih pemimpin yang benar-benar mewakili kepentingan mereka.

Di Indonesia, pilkada menunjukkan demokrasi daerah. Meskipun tujuannya adalah untuk meningkatkan kedaulatan rakyat di tingkat lokal, banyak masalah etis dan tantangan yang menghalangi pelaksanaannya. Oleh karena itu, langkah penting untuk meningkatkan demokrasi Indonesia adalah melakukan perubahan pada sistem Pilkada, yang mencakup pendidikan politik dan meningkatkan transparansi pendanaan kampanye. Dengan reformasi ini, diharapkan Pilkada dapat menjadi alat yang berguna untuk membangun pemerintahan yang adil dan representatif.

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun