Mohon tunggu...
zuhdi ilham nadjir
zuhdi ilham nadjir Mohon Tunggu... Penulis - buruh tulis

cuman buruh tulis yang hoby filsafat dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kebenaran Fiksional

13 Juli 2024   23:30 Diperbarui: 9 Agustus 2024   17:54 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fact of Fiction III by Claus Castenskiold

Buya Hamka menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa dicapai ketika individu diberikan kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri tanpa harus terikat oleh norma-norma yang kaku dan usang.

Kebenaran fiksional yang disampaikan oleh Buya Hamka meskipun kita hidup dalam masyarakat yang memiliki aturan dan norma tertentu, menjadi sebuah perhatian bagi kita untuk mempertanyakan dan, jika perlu, menentang norma-norma tersebut demi kebahagiaan dan kesejahteraan individu. 

Pelajaran yang tetap berguna hingga hari ini di mana banyak orang masih berjuang melawan ekspektasi sosial yang tidak selalu sesuai dengan keinginan dan aspirasi pribadi mereka.

Buya Hamka tidak hanya menawarkan cerita yang mengharukan tetapi juga mengundang pembaca untuk merenungkan dan mengevaluasi kembali nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat kita. 

Karya ini membuktikan bahwa fiksi memiliki kekuatan untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang mungkin sulit diterima atau diakui dalam dunia nyata.

Buya Hamka berhasil menyampaikan kritik terhadap budaya Minang dengan cara yang halus namun tajam. Ia menggambarkan bagaimana adat yang seharusnya menjadi panduan moral justru dapat berubah menjadi belenggu yang mengekang kebebasan individu. 

Konflik yang dialami oleh Zainuddin dan Hayati adalah contoh dari dampak negatif yang dapat timbul ketika adat dipaksakan tanpa mempertimbangkan perasaan dan aspirasi individu.

Selain kritik terhadap adat, Hamka juga mengangkat isu kesetaraan gender dalam novel ini. Perjuangan Hayati untuk mendapatkan kebahagiaannya sendiri mencerminkan perjuangan banyak wanita dalam masyarakat Minang (dan masyarakat lain) yang sering kali harus menghadapi tekanan sosial dan kultural yang tidak adil.

Buya Hamka juga menggarisbawahi bagaimana konflik antara tradisi dan modernitas dapat menciptakan ketegangan yang berdampak pada kehidupan individu. Hamka menunjukkan bahwa perubahan sosial adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan bahwa masyarakat harus belajar untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut tanpa kehilangan nilai-nilai positif yang telah ada.

Dengan cara ini, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck lebih dari sekadar sebuah cerita cinta tragis. Ia menjadi cermin bagi masyarakat untuk melihat diri mereka sendiri, mengevaluasi kembali nilai-nilai dan norma-norma yang selama ini dianggap mutlak, dan untuk mempertimbangkan apakah nilai-nilai tersebut masih sesuai dan adil dalam konteks zaman yang terus berubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun