Mohon tunggu...
Zuhal M. Hasan
Zuhal M. Hasan Mohon Tunggu... -

Hanya ingin berbagi hal yang sedikit.\r\nPelajar di sekolah kehidupan. Pencari kesejatian hidup.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru 10 Tahun GTT Berwasiat kepada Calon Sarjana Pendidikan

22 April 2015   06:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:49 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiba-tiba saja sepulang ngelesi aku kepikiran membuat status tentang melukis dan kanvas yang erat kaitannya dengan Seni Rupa. Aku pun tidak langsung menuju “kos” yang membutuhkan waktu tempuh sekitar 15 menit dari tempat aku ngelesim melainkan mampir di warung makan kaki lima langgananku. Aku pesan nasi bungkus dengan lauk telor yang kalau boleh jujur sebenarnya bukan menu favoritku. Tapi karena kondisi dompet di tanggal tua, akhirnya aku memasannya.

Aku dengan sabar menunggu pesananku yang masih di proses dalam penggorengan. Sembari menunggu, aku kemudian menulis serangkaian status yang temanya tidak sengaja aku temukan saat perjalanan pulang dari ngelesi menuju warung makan di mana aku pesan nasi bungkus penyetan telor saat itu. Berikut screen shot status fb-ku:

[caption id="attachment_361986" align="aligncenter" width="527" caption="Screen shot Status Facebookku"][/caption]

Beberapa menit kemudian, nasi bungkus pesananku pun sudah siap dan aku langsung membayarnya. Meski aku sudah mendapatkan nasi bungkusku, aku tidak langsung ke “kos” akan tetapi aku memilih duduk-duduk di luar warung yang sudah disedikan 3 tempat duduk plastik warna hijau bagi pelanggan yang menunggu pesanannya. Aku merasa saat itu seperti ada yang menghalangiku untuk langsung pulang karena biasanya, setelah pesananku siap, aku selalu langsung bayar dan pulang. Tapi saat itu tidak seperti biasa.

Aku akhirnya nyantai duduk di kursi hijau tersebut dan aku letakkan bersebelahan dengan motorku yang aku parkir agak ke Selatan di depan warung tersebut. Aku baca BBM teman yang baru masuk, mengomentari status teman, dan baca-baca artikel tentang bola di www.m.goal.com (karena aku mengakses menggunakan ponsel). Selang beberapa menit, ada motor parkir tepat di depan warung tersebut. Dari gelagat dan motornya aku kenal orang yang baru parkir tersebut. Setelah aksesoris mengendaranya dilepas, mulai hari helem, masker, sampai sarung tangan, terkaanku tidak meleset. Aku mengenal dia dengan baik karena dia merupakan salah seorang alumni mahasiswa jurusan seni rupa yang berasal dari kota yang sama denganku. Dia juga satu angkatan dan satu tempat “kos” di tempat aku merantau saat ini. Jadi kami sangat dekat dan mengenal satu sama lain. Hanya saja, dia lulus 1 semester lebih dulu daripada aku dan langsung pulang ke kampung halamannya yang berada di kecamatan sebelah kecamatanku.

Akhirnya kami berbincang panjang-lebar. Dia menuturkan alasannya mengapa dia jauh-jauh dari kampung ke sini, di perantauan, adalah kerena dia ingin membeli kuas untuk melukis. Dia, katanya, sudah rindu dengan dunia lukis yang sudah jarang lagi dia sentuh semenjak lulus. Dia, yang merupakan Sarjana Pendidikan Seni Rupa, saat ini mendarmabhaktikan ilmunya di sebuah SMA Negeri di kecamatannya bercerita kalau sikap idealisnya semasa kuliah luntur saat dihadapkan dengan kanyataan lapangan kondisi siswa. Dia menuturkan kalau semasa kuliah dia mempelajari bermacam-macam bentuk karya seni modern tapi ketika di tempat mengajar, dia harus kembali ke model karya seni tradisional. Aku diam saja mendengar penuturannya karena jika aku bertanya dan kemudian dijelaskan, mungkin aku hanya akan bisa menjelaskan ulang ke orang lain tanpa bisa membuat contoh riil dari macam karya seni tersebut.

Obrolan semakin seru saat kami menyentuh ranah model pendidikan dan juga fasilitator pendidikan yaitu guru. Dia mengeluh karena belum bisa 100 % akrab dengan semua guru yang berada di sekolah tersebut. Dia beralasan karena dia adalah orang baru dan sekolahan tempat saat ini dia mengajar bukan sekolahnya sewaktu SMA. Dia membandingkan dengan teman yang waktu masuknya sama dengan dia. Teman tersebut langsung akrab dengan Bapak/Ibu guru yang berada di situ karena dia merupakan alumni sekolah itu.

Kami pun akhirnya membahasa nasib guru. Dia bilang kalau suatu ketika dia pernah sowan ke salah satu gurunya sewaktu SMA yang sudah 10 tahun berstaus honorer. Guru tersebut, katanya, pesan dengan kata-kata sangat memotivasi dan menginspirasinya. Katanya, kurang lebih guru tersebut bilang:

“Menjadi guru itu suatu kehormatan. Jangan dilihat besar gajianya, lebih-lebih seperti Bapak yang honorer. Bapak tidak pernah mencoba ikut tes CPNS maupun ikut pemberkasan sertifikasi. Apalagi nyogok pegawai pemerintah agar Bapak dilajadikan PNS. Itu rugi dan Bapak mengharamkan diri Bapak untuk nyogok yang jelas-jelas haram menurut agama yang kita yakini. Oleh karena itu, Bapak sarankan, nanti kalau kamu menjadi guru, kamu harus punya kerja sambilan. Ya seperti yang Bapak lakukan saat ini. Alhamdulillah, Bapak kecukupan dari hasil konveksi Bapak. Jadi, profesi guru yang Bapak jalani sejak 10 tahun yang lalu adalah wujud dedikasi Bapak terhadap pendidikan karena dari situ Bapak bisa sedikit membantu Negara dalam memberantas kebodohan di neger ini,” tutur temanku dengan mencoba mengingat-ingan perkataan guru bijaknya tersebut.

Aku menganggukan kepala mengisyaratkan sikap setuju dengan perkataan gurunya tersebut. Memang sudah sepatutnya seorang guru apalagi GTT (Guru Tidak Tetap) di desa; meski mengajar sekolah negeri, memiliki kerja sambilan untuk menopang ekonomi keluarga. Kalau sudah begitu, seorang guru memiliki sumber ekonomi yang menjanjikan di luar mengajarnya, akan tenang dalam mengajar dan lebih fokus. Ini karena mereka berangkat dari sebuah kesadaran tentang kewajiban untuk membagikan ilmu yang mereka miliki dan bukan hanya sekadar orientasi materi. Adapun mereka yang memiliki orientasi materi juga tidak bisa disalahkan karena memang mereka bekerja dan sudah sepatutnya suatu pekerjaan mendapat bayaran. Tapi, kata guruku dulu, “tidak ada ceritanya guru yang kaya yang ada adalah cukup”. Begitu.

Tidak terasa, kami sudah berbinjang selama 1 jam lebih. Karena sudah malam, aku akhirnya mengawali untuk pamit. Dia yang dulu tinggal bersamaku dalam satu “kos” aku tawari untuk mampir menginap karena aku tahu dia kecapekan. Akan tetapi, ternyata dia lebih memilih untuk menginap di rumah saudaranya yang memang sudah terlebih dahulu dikontak dan janji untuk mampir ke sana. Aku pun berjabat tangan dan mengucapkan salam perpisahan, “Wassalamu’alaikum, Cak!”

Aku gas sepeda motorku menuju “kos”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun