Mohon tunggu...
Zuhaira Fajarna
Zuhaira Fajarna Mohon Tunggu... Psikolog - 22 Tahun, Mahasiswa

Mahasiswa psikologi Unsyiah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Melihat Kepuasan Pernikahan Pada Individu yang Menikah di Usia Muda

15 Juni 2021   00:36 Diperbarui: 15 Juni 2021   01:19 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332635966027/

Menikah adalah salah satu peristiwa bersejarah yang terjadi pada kehidupan seseorang. Pernikahan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh manusia agar kebutuhan psikologis, seksual, spiritual, dan juga kebutuhan material mereka terpenuhi. Dalam sebuah ikatan pernikahan, pria dan wanita yang memiliki latar belakang yang berbeda mencoba untuk menyatukan hati dan pikiran untuk mencapai tujuan bersama yaitu memiliki kehidupan yang harmonis dan bahagia sepanjang hidupnya.

Pada saat ini banyak individu yang memilih untuk menikah di usia muda. Pada dasarnya menikah diusia muda akan membawa dampak positif maupun negatif bagi individu tersebut. 

Jika ditinjau dari segi sosial maka individu yang menikah muda akan kehilangan masa remajanya. Kehidupan yang seharusnya dijalani sesuai dengan usianya berubah menjadi kehidupan menjalankan rumah tangga. 

Tujuan hidup dalam pernikahan juga telah disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 pasal 1 tentang perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (himpunan peraturan perundang-undangan Indonesia). 

Dalam Undang-Undang tersebut pemerintah telah mengatur batasan usia untuk menikah yakni, seorang laki-laki minimal berusia 19 tahun dan wanita minimal sudah berusia 16 tahun. 

Walau demikian, Santrock (2007) menggolongkan usia 10-22 Tahun sebagai usia remaja dan usia tersebut dikategorikan dalam usia muda untuk melakukan pernikahan.

Umumnya, setiap pasangan menikah pasti mendambakan suatu pernikahan yang harmonis dan mendapatkan kepuasan dari pernikahan tersebut. Namun, pada kenyataannya tidak semua pasangan dapat mencapai kepuasan dalam pernikahan. Ketidakpuasan dalam pernikahan bisa timbul karena adanya kebutuhan pernikahan yang tidak terpenuhi. 

Permasalahan atau konflik dalam rumah tangga seringkali menimbulkan ketidakpuasan dalam pernikahan, tak terkecuali pada pasangan yang menikah muda. 

Menurut Duval & Miller (1985) kepuasan pernikahan adalah perasaan subjektif individu akan kebahagiaan, kepuasan dan pengalaman yang menyenangkan yang dialami oleh masing-masing pasangan suami istri dengan mempertimbangkan seluruh aspek pernikahan.

Pengertian Kepuasan Pernikahan lain dijabarkan oleh Olson, dkk (2010), yang mengemukakan bahwa kepuasan Pernikahan adalah Perasaan yang bersifat subjektif yang dirasakan suami dan istri baik perasaan Bahagia, puas, ataupun menyenangkan secara menyeluruh terhadap pernikahannya. Menurut Olson, Fournier dan Druckman (dalam Fowers & Olson, 1989) terdapat beberapa aspek yang menentukan kepuasan pernikahan yaitu isu kepribadian, komunikasi, pemecahan masalah, manajemen finansial, kegiatan di waktu luang, hubungan seksual, anak dan pengasuhan, keluarga dan teman-teman, kesamaan peran, dan orientasi agama. Berdasarkan ulasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa kepuasan pernikahan adalah suatu penilaian subjektif dari pasangan menikah terkait perasaan yang dirasakan terhadap pernikahan secara keseluruhan yang dapat dicapai apabila masing-masing pasangan baik suami dan juga isteri mampu untuk saling memenuhi kebutuhan pasangannya.

Kepuasan dalam pernikahan penting untuk dimiliki kedua belah pihak pasangan yang menikah. Kepuasan menikah bisa menentukan keberhasilan pernikahan dan menghindari perceraian. Pendapat ini didukung oleh banyak penelitian yang telah dilakukan terkait kepuasan menikah. Seperti pendapat dari Ardhianita dan Andayani (2005) dalam Marni (2018) yang mengatakan bahwa kegagalan pernikahan datang ketika satu atau lebih anggota keluarga merasa tidak puas. Hambatan pemenuhan kebutuhan satu atau lebih anggota keluarga akan menimbulkan ketidakpuasan. Begitu pula pendapat yang datang dari Olson & Fowers (1993) yang menyatakan bahwa kepuasan pernikahan menjadi prediktor terbaik apakah suatu rumah tangga akan bertahan atau tidak.

Untuk mencapai kepuasan pernikahan tersebut, dibutuhkan kematangan individu baik secara usia, fisik maupun aspek psikologis. Menurut Heaton (Dalam Alder, 2010) kemungkinan pernikahan berakhir dengan perceraian akan lebih rendah apabila pasangan menikah sudah memiliki usia yang lebih matang. Fina (2014) juga mengatakan bahwa Menikah muda dianggap berpengaruh pada kepuasan pernikahan yang rendah, yang rentan akan konflik hingga berujung pada perpisahan. Sehingga berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melihat bagaimana dinamika dan tingkat kepuasan pernikahan yang dimiliki oleh individu-individu yang menikah pada usia muda dan melakukan penelitian kecil berupa wawancara dengan beberapa subjek yang menikah di usia muda.

Untuk melihat dan mengukur kepuasan pernikahan, dapat dilihat dari aspek-aspek kepuasan pernikahan itu sendiri. Olson dan Fowers (1989), mengemukakan beberapa aspek mencapai kepuasan pernikahan, yaitu:

1. Komunikasi (Communication)

Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332641315132/
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332641315132/

Kepuasan pernikahan dapat dilihat dari segi bagaimana perasaan dan sikap individu terhadap komunikasi dengan pasangannya. Aspek ini berfokus pada tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif.

2. Aktivitas Bersama (Leisure Activity)

Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332632661142/
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332632661142/

Aspek ini mengukur dan melihat bagaimana individu/pasangan memilih kegiatan untuk menghabiskan waktu senggang. Apakah terdapat pilihan untuk saling berbagi antar individu dan terdapat harapan dalam menghabiskan waktu senggang bersama dengan pasangan atau tidak.

3. Orientasi Keagamaan (Religius Orientation)

Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332655199500/
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332655199500/

Aspek ini mengukur bagaimana kepercayaan agama pasangan dan implementasi/praktiknya dalam pernikahan yang dijalani. Pengimplementasian nilai-nilai tersebut akan menciptakan pergaulan yang baik antara suami istri serta sebuah keluarga yang tentram dan harmonis. Kepercayaan terhadap suatu agama serta beribadah cenderung memberikan kesejahteraan secara psikologis, norma prososial dan menumbuhkan dukungan sosial diantara pasangan.

4. Pemecahan Masalah (Conflict Resolution)

Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332642429609/
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332642429609/

Aspek ini berfokus pada sejauh mana pasangan menikah terbuka terhadap isu-isu pengenalan antar pasangan dan penyelesaian masalah serta strategi-strategi apa yang digunakan untuk menghentikan argumen.

5. Manajemen Keuangan (Financial Management)

Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332635966027/
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332635966027/

Aspek ini tentu saja berfokus pada bagaimana cara pasangan suami dan istri mengelola keuangan dan sisi finansial mereka.

6. Orientasi Seksual (Sexual Orientation)

Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332632660988/
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332632660988/

Aspek ini mengukur tentang bagaimana afeksi individu terhadap pasangannya dan bagaimana hubungan seksual (sexual intercourse) mereka. Aspek ini menunjukkan sikap mengenai isu-isu seksual, perilaku seksual, kontrol kelahiran, dan kesetiaan pasangan.

7. Keluarga dan Teman (Family and Friend)

Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332655199481/
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332655199481/

Aspek ini mengukur bagaimana perasaan yang dimiliki individu terhadap keluarga dari pasangannya, misal bagaimana perasaan isteri terhadap keluarga suami dan sebaliknya. Tidak hanya dari keluarga, aspek ini juga melihat dan mengukur perasaan individu terhadap teman-teman pasangan serta menunjukkan harapan untuk mendapatkan kenyamanan saat menghabiskan waktu bersama dengan keluarga dan teman-teman pasangannya serta mau menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman pasangan.

8. Anak-anak dan Pengasuhan (Children and Parenting)

Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332641497123/
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332641497123/

Aspek ini mengukur perasaan dan juga sikap terhadap tugas mengasuh dan membesarkan anak serta keinginan untuk memiliki anak dengan pasangan.

9. Masalah Kepribadian (Personalty Issues)

Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332650403066/
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332650403066/

Aspek ini mengukur bagaimana persepsi individu mengenai perilaku pasangan mereka, bagaimana mereka saling menghargai perilaku-perilaku pasangan serta tingkat kepuasan yang dirasakan terhadap masalah kepribadian pasangan.

10. Kesamaan Peran (Equalitarium role)

Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332636535427/
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332636535427/

Aspek ini mengukur perasaan dan sikap individu mengenai peran pernikahan dan keluarga. Aspek ini berfokus pada pekerjaan, pekerjaan rumah, seks, dan peran sebagai orang tua. Semakin tinggi nilai ini menunjukkan bahwa pasangan memilih peran-peran egilatarian. Pada aspek ini, pasangan puas dengan pembagian peran yang seimbang dalam pernikahan.

Berdasarkan aspek-aspek kepuasan pernikahan yang telah dijabarkan diatas, dapat dilihat bahwa pasangan yang memiliki kepuasan pernikahan akan merasakan adanya kenyamanan dalam menjalani kehidupan pernikahan dan dalam mengelola rumah tangga.

Kemudian penulis melakukan penelitian kecil terkait kepuasan pernikahan pada 2 orang subjek yang menikah muda. Subjek dipilih dan diperoleh dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu peneliti menentukan kelompok peserta yang menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian ini. Kriteria yang dimaksud adalah subjek merupakan individu yang menikah di usia muda (16-21 Tahun) dan bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur/terpimpin, yaitu wawancara dilakukan oleh pewawancara (peneliti) dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci kemudian data yang terkumpul dianalisis menggunakan analisis data kualitatif dari Miles & Huberman untuk melihat dinamika kepuasan pernikahan pada subjek.

Setelah melakukan wawancara, didapatkan hasil bahwa secara keseluruhan kedua subjek / responden memiliki tingkat kepuasan pernikahan yang tinggi walaupun menikah di usia yang masih muda. Tingkat kepuasan pernikahan yang dimiliki oleh subjek 1 (Berinisial NA) tinggi dilihat dari jawaban NA pada setiap aspek kepuasan pernikahan yang menunjukkan tanda-tanda tingkat kepuasan tinggi hampir di semua aspek, begitu pula dengan subjek 2 (Berinisial V). Keduanya juga memiliki kesamaan pola jawaban dan dinamika kepuasan pernikahan yang sama yang ditandai dengan adanya komunikasi yang terbuka dengan pasangan, pendapatan finansial yang mencukupi, rendahnya konflik dalam rumah tangga, serta terdapat kesamaan peran (equalitarium role) yang membuat keduanya merasa nyaman dan puas dengan kehidupan pernikahan yang dijalani dan cukup jarang menemukan konflik dalam rumah tangga.

Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332641338857/
Source: https://id.pinterest.com/pin/813955332641338857/

Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pernikahan dini dimana dijalankan oleh individu dengan usia yang masih sangat muda memang tidak selalu berakhir dengan ketidakpuasan. Namun, walaupun tingkat kepuasan pernikahan perempuan yang menikah dini bisa sangat tinggi, tapi tetap saja memiliki beberapa dampak negatif bagi perempuan. Seperti dalam hal pendidikan dimana perempuan yang menikah dini biasanya akan terputus pendidikannya dan cenderung akan memiliki tingkat pendidikan rendah. Pendidikan rendah dapat menjadi salah satu faktor yang bisa mempengaruhi kepuasan pernikahan kelak, sehingga terdapat circle / hubungan yang saling mempengaruhi antara tingkat pendidikan seseorang dengan kepuasan pernikahan.

Terakhir, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terdapat beberapa saran yang dapat peneliti berikan berkaitan dengan penelitian yang dilakukan. Pertama, untuk individu-individu yang menikah dini, harus lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menikah karena terdapat banyak hal yang harus dipersiapkan untuk menikah yang akan mempengaruhi kepuasan pernikahan kelak. Kemudian saran kedua bagi Pemerintah, sebaiknya terus memberikan edukasi kepada masyarakat terkait isu pernikahan dini serta memberikan pelatihan persiapan menikah agar menghindari resiko terjadinya ketidakpuasan dalam pernikahan dan individu yang ingin menikah dini bisa mempersiapkan dirinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun