Mohon tunggu...
zuhaili zulfa
zuhaili zulfa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa. Pengajar.

Hobi Menulis, olahraga dan bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Rekontekstualisasi Harmoni Islam dan Ilmu Pengetahuan: Refleksi dari Masa Keemasan ke Tantangan Modern

25 Desember 2024   20:47 Diperbarui: 25 Desember 2024   20:47 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keemasan Peradaban Islam pada abad ketiga hingga ketujuh Hijriah, atau abad kedelapan hingga ketiga belas Masehi, menunjukan harmoni luar biasa antara Islam dan ilmu pengetahuan. Pada masa itu, para ulama seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Muhammad b. Zakariya Al-Razi, Ibnu Sina, Ibnu Al-Nafis, dan Al-Khawarizmi menjadi pionir dalam mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan tradisi intelektual Yunani, Persia, dan India. Mereka tidak hanya menjadi jembatan bagi ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban, tetapi juga menciptakan inovasi yang meletakkan dasar bagi sains modern.

Namun, setelah masa keemasan tersebut, dinamika intelektual dalam dunia Islam berubah. Kritik Al-Ghazali terhadap filsafat dalam karyanya Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan para filsuf) sering disalahpahami sebagai penolakan terhadap filsafat dan sains secara keseluruhan. Padahal, kritik tersebut lebih merupakan peringatan untuk menjaga agar filsafat tidak bertentangan dengan akidah Islam. Sebaliknya, tokoh, seperti, Ibnu Rusydi dalam Tahafut Al-Tahafut (kerancuan kitab Tahafut Al-Falasifah) memberikan respons intelektual yang membela filsafat, dengan pandangan bahwa agama dan filsafat dapat saling melengkapi.

Kesalahpahaman terhadap kritik Al-Ghazali kemudian berkembang menjadi prasangka bahwa, beliau bertanggung jawab atas meredupnya keemasan Islam. Padahal, kemunduran peradaban Islam tidak hanya disebabkan oleh dinamika intelektual, tetapi juga oleh faktor eksternal seperti invasi Mongol, perang Salib, dan fragmentasi politik. Selain itu, stagnasi dalam adaptasi ilmu pengetahuan dengan konteks zaman juga turut berperan.

Sementara itu, Barat yang menyerap pengetahuan dari peradaban Islam berhasil melanjutkan tradisi intelektual tersebut dengan inovasi-inovasi baru, terutama melalui metode ilmiah. Dunia Islam, di sisi lain, cenderung terjebak dalam glorifikasi masa lalu tanpa upaya signifikan untuk mengintegrasikan tradisi intelektual dengan modernitas.

Oleh karena itu, kebangkitan kembali peradaban Islam membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang harmoni antara diin dan ilmu pengetahuan, sebagaimana yang dicontohkan oleh para ulama masa keemasan. Rekontekstualisasi nilai-nilai Islam dalam menjawab tantangan zaman modern adalah langkah penting untuk kembali menghidupkan dinamikan intelektual yang pernah menjadi ciri khas peradaban Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun