Mohon tunggu...
Zubairi
Zubairi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Artikel Ringan

Orang Kampung

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Buku Catatan Salat Tarawih: Murid Trauma, Guru Tertipu

22 Maret 2024   15:22 Diperbarui: 22 Maret 2024   18:59 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Pixabay.com/sasint

Saya nggak tahu pasti sejak kapan pihak sekolah di Indonesia punya ide untuk membuat buku catatan salat tarawih dan tadarus kepada muridnya selama bulan puasa. Nanti, hasil catatannya disetor lagi ke gurunya, biasanya, penyetorannya ketika sekolahnya aktif pasca liburan Ramadan.

Catatan tarawih dan tadarus ini sudah ada sejak dulu. Setidaknya, saya mengetahui saat masih duduk di bangku MI (2007) hingga MA (2019). Sampai sekarang, catatan itu tetap berlaku. Adik saya yang kelas 1 MI juga mendapatkan selembar kertas fotocopy berisi tanggal, hari, taraf tarawih dan tadarus, tanda tangan orang tua dan takmir. 

Saya lupa, dulu tatkala guruku memberikan catatan ini, tujuannya apa. Tapi, pasti ada hal baik yang ingin dicapai. 

Misalnya, ingin muridnya yang masih kecil agar giat tarawih sejak dini. Bagi murid yang menginjak remaja dan dewasa, agar tarawih dan tadarusnya lebih rajin lagi. Juga, mungkin biar muridnya terlatih nggak malas mau tarawih setelah malas bergerak karena waktu buka puasa kekenyangan, misalnya. 

Atau apalah hal positif lainnya. Sebab, saya yakin, pihak sekolah waktu membuat catatan penting ini pasti melalui pertimbangan yang matang dan mengandung kebaikan. 

Tapi....

Sukses bikin muridnya traumatis 

Hidup itu berwarna. Ada senang, ada duka, ada cat tembok, ada yang chattingan dan ada pula jiwa jomblo yang meronta-ronta. Bila ada kebaikan, maka kadang juga sebaliknya. 

Dan, dampak kurang baik dari adanya catatan tarawih ini adalah sukses bikin murid mengalami trauma. 

Trauma itu pernah menimpa saya saat saya berstatus seorang murid. Waktu MI, saya khawatir betul takut cuma saya yang jarang tarawih. Takut buku catatan itu banyak yang kosong. Ketika kosong, saya malu sama teman-teman. Lalu timbul perasaan takut dimarahi sama guru. Dan takut ditanya, "ngapain aja setelah isya' kok nggak tarawih?" 

Pertanyaannya memang sederhana. Tak ada unsur kemarahan. Tapi, tetap saja bikin saya takut. Karena takut, meski nggak tarawih, ya catatannya ditandatangani biar kelihatan tarawih.

Saya berani ngosongin catatan itu ketika sudah masuk ke jenjang MA. Jika nggak tarawih, ya nggak diisi. Nggak takut bohong dan dimarahi lagi. Yang penting jujur.

"Negeri ini butuh orang jujur ketimbang orang pintar," kira-kira begitu kata siapa, saya lupa. 

Adik saya juga mengalami trauma

Ada dua cerita tentang adik saya pada Ramadan 2024 ini, ia mengalami trauma sebab adanya catatan tarawih yang didapat dari sekolahnya. 

Pertama, waktu itu, setelah buka puasa saya mengantar tetangga ngirim makanan ke keluarganya yang sedang dirawat di rumah sakit. Jadi, saya nggak sempat tarawih. 

Ketika pulang, pas di rumah, ibu saya bilang, bahwa tadi adik saya menangis hingga sesenggukan karena nggak tarawih. Dia nggak mau tarawih kalau nggak bareng bapak dan saya.

Bapak saya, kebetulan lagi sakit pinggang, 15 hari lebih mau duduk dan bangun aja susah. Alhasil, bapak sejatinya nggak mau tarawih karena masalah itu. Melihat adik saya menangis, karena takut catatan tarawihnya kosong, kata ibu, bapak dengan terpaksa berangkat ke tempat tarawih bersama adik. 

Kedua, per tulisan ini dibuat, tadi cuaca kurang mendukung dan bikin orang seperti saya jadi malas keluar rumah: listrik mati, hujan deras, dan angin lumayan kencang. Dalam keadaan seperti itu, adik saya ngajak tarawih. Semata agar catatannya takut kosong. Meski pada akhirnya kami nggak tarawih. 

Saya paham. Pahala salat sunnah tarawih gede. Tapi, yang namanya sunnah, nggak wajib: melakukannya dapat pahala, tidak melakukan nggak dosa. Eh, adanya catatan tarawih, kesannya salat ini jadi wajib bagi adik. Karena takut dan sungkan sama gurunya jika catatannya di awal Ramadan saja blong. Dulu, saya juga punya perasaan semacam itu. 

Guru tertipu 

Saat MI saya tarawih dengan niat demi catatan agar nggak kosong. Bukan niat demi dapat pahala, hem. Dan, melihat realita di lapangan, ada yang lebih menarik lagi. 

Lihat saja postingan Extra Time Indonesia via X, yang postingannya berupa pertanyaan, bahwa apakah anak SD jaman sekarang masih ada yang minta TTD ke imam setelah tarawih? 

Melihat komentar netizen, kok yang berani bohong bukan cuma saya (dulunya). Anak-anak jaman sekarang juga berani bohong. Belum tarawih, sudah diisi aja itu TTD nya. 

Contoh, adiknya yang komen, langsung TTD selama seminggu di rumah imam tarawihnya. Juga, ada yang langsung TTD sampai hari ke-10. 

Hal itu sudah cukup menandakan kalau murid bisa traumatis. Takut pas disetor ke gurunya, catatannya kok banyak kosongnya? Bayangkan, murid menipu gurunya, mengisi TTD lebih awal akibat guru bikin catatan kepada muridnya. 

Narasi sederhana buat guru yang bikin catatan tarawih

Dengan rendah hati, saya ingin bertanya ke pihak sekolah yang bikin catatan tarawih. Apakah nggak ada cara lain 

untuk melihat keaktifan muridnya melakukan tarawih selain bikin catatan yang bikin ketakutan? Dan apakah hal itu wajib ada setiap Ramadan? Jika misalkan ditiadakan, bagaimana? 

Bayangkan, murid jadi takut terlihat bolos dan terpaksa berbohong mengisi TTD nya. Guru, penting menyadari hal itu: bagaimana bisa di bulan puasa yang penuh ampunan dan limpahan rahmat dari-Nya ini, murid sejak dini malah sudah belajar berbohong kepada gurunya, dan itu lantaran ada buku catatan yang guru bikin! 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun