Harus diakui bahwa dengan bantuan beras murah yang pemerintah salurkan untuk warganya di tengah kelangkaan harga beras yang sulit terjangkau, merupakan salah satu langkah yang patut diapresiasi. Meski ya, memang seharusnya seperti itu. Tapi setidaknya, kita jadi paham kalau pemerintah punya "kepedulian" yang tinggi kepada masyarakatnya. Dari sini, kata "peduli", kita kunci.Â
Namun, di lain sisi saya sangat menyayangkan di saat warga mau menerima bantuan beras, acapkali warga harus mengalami kekacauan dan kejadian yang tak diinginkan. Contohnya, di Probolinggo, Bojonegoro, Parepare dan Gowa, emak-emak terlihat kewalahan hingga mengalami pingsan. Lebih menyedihkan lagi, bayi pun ikutan terjepit.Â
Kembali ke paragraf pertama, kepedulian dari pemerintah adalah suatu hal. Namun, apabila melihat peristiwa di paragraf kedua, kesejahteraan adalah hal yang lain. Lantas, apa yang istimewa dari adanya kepedulian dari pemerintah jika tak beriringan dengan kesejahteraan bagi rakyatnya?
Mendalami makna "sejahtera"
Kata sejahtera, punya arti aman sentosa dan makmur, selamat (terlepas dari segala macam gangguan), (KBBI V). Kita gali lagi makna aman dalam kata sejahtera, maka punya makna tidak meragukan atau khawatir. Tapi, peristiwa di Gowa, Sulawesi Selatan itu, justru bikin warga merasa tidak aman.Â
Kenapa? Selain ibu-ibu mengalami pingsan dan bayi terjepit, dalam benak mereka timbul rasa khawatir. Apa yang dikhawatirkan? Takut tidak kebagian kupon bantuan beras murah. Kenapa takut? Karena adanya kupon pengambilan beras dinilai tidak merata, sehingga mereka terpaksa harus rebutan dan berdesakan agar kebagian beras.Â
Lalu, kita telisik lagi makna selamat dalam kata sejahtera. Jelas, keselamatan jadi tidak terpenuhi. Kok bisa? Ya karena penerima bantuan sering mengalami petaka (pingsan), pemberian bantuan beras menjadikan mereka dan bayinya juga malah tidak baik-baik saja (terjepit). Dan kejadian itu jelas tidak diinginkan oleh semua orang.Â
Padahal, kenyamanan dan keselamatan bersama, dalam berbagai kondisi, jelas diutamakan.Â
Jangan salahkan emak-emak
Misalkan ada yang bilang begini, "salah emak-emaknya sendiri yang maksa berdesakan, toh juga bakal kebagian."Â
Mohon maaf, Kak, saya nggak sepakat. Kita nggak pantas menyalahkannya. Lagian ya, wong sama kupon saja mereka takut nggak kebagian, gimana mau dapat beras? Sementara beras, didapat dari kupon.Â
Begitu pula dengan bayi yang tertindih di tengah keramaian yang sangat padat. Maka saya nggak sepakat jika Anda berkata "ngapain juga bawa-bawa bayi segala."Â
Bukan, saya rasa bukan ibunya yang nggak mementingkan keselamatan bayinya. Terkadang, kita perlu memahami keadaan mereka di luar sana.
Saya punya contoh konkret tentang itu.Â
Beberapa bulan yang lalu, ibu dan tetangga saya menyambangi balai desa untuk menerima bantuan beras dan sembako lainnya. Ibu saya membawa adik dan tetangga juga membawa anak kecil.Â
Kenapa membawa anak kecil?Â
Kita mesti paham dulu kalau yang menerima bantuan itu kan orang yang tergolong nggak mampu. Keluarga nggak mampu, dalam satu keluarga ya lazimnya orang desa, petani. Petani ya lumrahnya pergi ke sawah.Â
Maka, jawaban kenapa ibu saya membawa adik saya saat mau menerima bantuan ya karena di rumah nggak ada orangnya, bapak saya sedang ke tegal. Pun dengan tetangga yang nekat membawa anak kecilnya ke balai desa, ya barangkali di rumahnya juga sedang nggak ada yang mau menjaga anaknya.Â
Itulah yang saya maksud kenapa kita penting nggak menyalahkan kaum ibu-ibu yang rela berdesakan dan nekat membawa anaknya saat mau menerima bantuan.Â
Untuk mengakhiri tulisan pendek ini, saya ingin berkata bahwa, dari adanya peristiwa emak-emak dan bayi yang menjadi korban ketidaknyamanan saat mau mengambil bantuan beras dan semacamnya, saya rasa pemerintah  selaku pemangku kebijakan dan orang yang cerdik punya cara tersendiri agar hal itu tak terulang lagi.Â
Pemerintah, yang dipilih oleh warganya yang diprediksi mampu membuat kesejahteraan dan kenyamanan bagi warganya, saya yakin punya ide-ide cemerlang gimana caranya penerima bantuan betul-betul aman dan nyaman.Â
Caranya gimana? Hayya nggak tahu. Rakyat sudah susah begini, ya jangan disuruh mikir cari solusi sama hal-hal kek gitu, lha. Tugasmu itu lho, Pak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H