Mohon tunggu...
Zubairi
Zubairi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Artikel Ringan

Orang Kampung

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Pilihan

Di Sumenep, Siswa Tauladan Bisa Bikin Harta Orang Tua Sekarat!

14 Agustus 2023   06:07 Diperbarui: 14 Agustus 2023   07:38 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: area Taman Adipura dan Masjid Agung Sumenep/dok.pribadi

Kemarin lusa, saya pergi ke acara silaturahmi di salah satu desa asal Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Banyak topik perbincangan yang dibahas setelah acara selesai. Namun, ada salah satu hal yang menarik perhatian dari obrolan itu. Adalah tentang betapa terkurasnya harta orang tua jika anaknya di sekolah, berhasil dinobatkan sebagai siswa Tauladan. 

Di Desa Campaka, Kecamatan Pasongsongan adalah satu contoh nyata tentang hal di atas. Jika anaknya di sekolah (madrasah) berhasil menjadi siswa Tauladan, orang tuanya tentu terharu. Namun, keterharuan itu belum tentu sepenuhnya diimbangi dengan kenyamanan di hati mereka pasca anaknya turun panggung membawa piala sekolah. 

Lha, kok bisa?

Siswa dapat piala, orang tuanya selain jadi repot, bisa mengeluarkan biaya banyak

Kenapa nggak nyaman? Ini jawabannya. 

Sebab, setelah anaknya dinobatkan menjadi siswa Tauladan, siap-siap harta orang tuanya terkuras. Karena begini, jika misalkan tahun ini, salah satu siswa menjadi bintang Tauladan, maka tahun depan orang tuanya, mau nggak mau harus merayakannya. 

Konsep perayaannya kek mana, Cong? 

Orang tua harus mengundang kuda main. Untuk ditunggangi anaknya saat pawai. Anaknya, jelas nggak pakai baju seragam sekolah. Melainkan berpakaian ala pengantin yang penuh dengan tata rias. Juga, kalau tidak mengundang grup tong-tong ya mengundang grup drumband. Untuk apa? Untuk mengiringi sang anak yang menunggangi kuda, yang sambil memegang piala sekolah yang didapat tahun lalu itu saat pawai. 

Tak berhenti sampai di sini. Orang tua siswa itu, masih membawa aneka ragam jajanan ke sekolah. Juga, mengundang orang yang punya sound system. Lengkap dengan terop nya. Apa yang kau pikirkan? Ini resepsi pernikahan. Bukan, Paman. Tapi, ini perayaan siswa Tauladan yang memang nyaris dengan resepsi pernikahan. Saking mewahnya perayaannya.  

Itulah yang saya maksud siswa dapat piala sekolah, orang tuanya akan repot. Karena, ya itu semua butuh biaya besar. Kalau hidupnya sederhana, tingkat ekonominya menengah ke bawah, apa nggak terlilit hutang itu orang tua siswa? Ya jelas. 

Kebiasaan yang sudah mengakar kuat

Saya sempat bertanya ke teman saya, yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari lembaga madrasah di Desa Campaka, mengapa sampai semewah itu? Ya, memang begitulah kebiasaan masyarakat di sana ketika anaknya menjadi siswa Tauladan. 

Saya sempat bertanya lagi, apakah guru nggak memberikan himbauan agar nggak dirayain kayak gitu? Belum terjawab, teman yang lain bilang bahwa, kebiasaan lama memang tak mudah dihilangkan. Misalkan gurunya sudah memberikan larangan demi pengiritan uang dan orang tua agar nggak repot, besar kemungkinan tetap akan repot. 

Pasalnya, kebiasaan seperti itu, sama hal nya dengan orang sakit yang dirawat di rumah sakit. Ada uang atau tidak, mau tak mau harus mengeluarkan biaya gede. 

Jika tidak dirayakan, maka bakal diomongin tetangga

Kata teman saya tadi, di Desa Campaka, ada salah satu tetangganya nggak merayakan anaknya yang sedang lulus sekolah, malah jadi omongan seksi para tetangga. Lha kok malah lulus sekolah? 

Kata dia, lulus sekolah atau siswa Tauladan di madrasah sana, sama-sama dirayakan. Sama-sama kayak di atas. Ujungnya, orang tua akan menghabiskan biaya besar. 

Jika orang tuanya enggan merayakan hal itu, maka akan diomongin tetangga macam tetangga dia. Padahal, meski dia nggak merayakan anaknya yang lulus, dia sudah  menanggung biaya sang penceramah di malam puncak haflatul imtihannya. Lha, masih diomongin kok. 

Apalagi anaknya dinobatkan sebagai siswa Tauladan, dapat piala, berkalung bunga melati diiringi instrumen dan puisi sedih waktu di atas panggung, terus nggak akan dirayakan? Ya bakal jadi bahan ngibah orang-orang di sekitarnya. 

Lha, ya gimana? Wong yang lain lazimnya kek gitu, situ malah nggak? 

Dengan begitu, saya malah teringat dengan film di YouTube Mata Pena. Puddin saat mengendarai motor, berhenti di depan gardu (macam pos ronda) yang di sana, ada Mat Tinggal. Lalu Puddin bilang, yang kalau dibahasa-indonesiakan dan isyarat tangannya dipahami maka kira-kira begini: sering-seringlah ngomongin tentang saya, Mat. Asalkan, jangan sampai saya tahu. Biar saya dan kamu tetap jadi kawan! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun