Kesadaran Kolektif
Dalam teori klasik yang disebutkan Aristoteles, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Pernyataan ini memiliki relevansi dengan kedaulatan politik rakyat yang dimiliki bangsa ini, salah satunya pemilu sebagai wujud demokrasi yang bertujuan suci. Â
Dalam buku berujudul "Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep, dan Isu Strategis" yang ditulis Labolo, Muhadam dan Teguh Ilham pada 2017. Menyebutkan dalam kehidupan politik modern yang demokratis, pemilu berfungsi sebagai suatu jalan dalam pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika.
Artinya, pemilu sebagai ruang dialektika politik, dimana rakyat ikut terlibat langsung memberikan suaranya, tidak bisa digunakan hanya sebagai alat mencapai kekuasaan saja. Namun juga digunakan sebagai alat mencapai kebaikan, keadilan dan kesejahteraan melalui jalan regulasi dan tindakan politik yang bermoral dan beretika.
Namun mirisnya, praktek demokrasi yang tampak penuh amoral dan jauh dari etika bahkan tak patuh kepada regulasi  sudah mendarah daging, sehingga memunculkan kesan bahwa politik hanya semata-mata merebut kekuasaan dengan jalan apa saja boleh dilakukan termasuk melalui jalan politik identitas-agama, dengan mengabaikan  dampak-dampak krusial.
Catatan hitam demokrasi dalam kepemiluan inilah yang perlu ditekan oleh pengaruh keterlibatan penyelenggara. Karena selain memiliki tugas dan wewenang juga tersedia fasilitas, sarana dan prasarana untuk mengedukasi untuk menciptakan kesadaran kolektif para elit parpol, ormas, pemuda, dan elit lainnya  melalui pendekatan yang edukatif. Bahkan bila cara tersebut belum mampu dimaksimalkan, penyelenggara masih memilki kewenagan melalui penindakan hukum yang tegas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H