Mohon tunggu...
Trisno  Mais
Trisno Mais Mohon Tunggu... Penulis - Skeptis terhadap kekuasaan

Warga Negara Indonesia (WNI)

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Wujudkan Keadilan Pemilu

8 Maret 2020   22:32 Diperbarui: 9 Maret 2020   10:16 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) serentak akan dilaksanakan pada 23 September 2020. Pilkada kali ini akan menentukan gubernur/wakil gubernur di sembilan provinsi, wali kota/wakil wali kota di 37 kota, dan bupati/wakil bupati di 224 kabupaten. Komisi Pemilihan Umum (KPU) bakal membuka tahapan pendaftaran pasangan calon kepala daerah pada 16-18 Juni 2020 dan ditetapkan pada 8 Juli 2020. Selanjutnya, setiap pasangan calon kepala daerah diberikan waktu kampanye selama 71 hari, mulai dari 11 Juli hingga 19 September 2020. 

Hajatan lima tahun sekali ini tentu bakal menguras banyak energi dan sumber daya. Karena akan ada upaya dan usaha yang dilakukan oleh para kontestan. Apalagi bagi daerah - daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak. Tensi politik bakal jauh lebih tinggi ketimbang daerah yang tidak melaksanakan pilkada. Karena tidak ada pasangan calon yang berharap kalah ketika bertarung. Mereka pasti akan pasang badan supaya dapat melaju sebagai sang juara pada kompetisi tersebut. Tapi untuk mendapatkan hasil yang maksimal, butuh kerja keras dan cerdas. Sebab jabatan politik tidak ada yang kebetulan, semua by design. Strategi? Pasti, dan semua kontestasi politik punya strategi tersendiri. Tapi sayangnya, ada segelintir orang yang merebut kekuasaan dengan cara yang tidak sehat, misalnya melanggengkan politik etnis atau ego primdial, money politic, serta SARA atau sejenisnya. Dampaknya, untuk menduduki jabatan politik kursi menjadi mahal, dan terjadi benturan di akar rumput!

Bruce I. Newman dan Richard M Perloff dalam tulisannya mengurai terkait Political Marketing, (Cangara, 2009). Marketing politik sebagai aplikasi prinsip-prinsip pemasaran dalam kampanye politik yang beraneka ragam individu, organisasi, prosedur-prosedur dan melibatkan analisis, eksekusi dan strategi manajemen kampanye oleh kandidat atau partai politik untuk mengarahkan opini publik.

Belakangan ini, pemilu diasosiasikan dengan praktik politik korup, aneka bentuk kekerasan masal, kekacauan publik serta runtuhnya moral serta kepedulian sosial. Apalagi jika sudah berada di arena yang sangat dinamis ini. Setiap kompetitor hanya diberikan dua pilihan: menang atau kalah! Dengan begitu, rata -- rata para kontestan akan mengabaikan aspek subtansi dalam berpolitik. Implikasinya, praktik politik uang selalu mewabah, SARA, serta politik ego primodial lainnya.

Setuju atau tidak, sesungguhnya pemilu merupakan rill pertarungan kekuataan. Dengan dinamika politik semacam itu, para broker politik tidak mau ketinggalan momen, akhirnya pemilu menjadi bebas nilai. Bagi broker politik itu kesempatan. Akibatnya, relasi antara konstituen dengan calon kepala daerah menjadi sangat jauh. Dampaknya? Tentu itu menjadi mata rantai terjadi ketimpangan, serta berujung pada rusaknya etika politik. Itu masalah klasik!

Padahal pilkada diyakini sebagai wujud eksistensi pemilih dan calon kepala daerah diuji. Integritas semua lapisan, malahan. Mengapa tidak, karena dalam negara demokrasi, pemilu menjadi salah satu sarana untuk mengejawentahkan kedaulatan rakyat.

Publik yang melanggengkan cara dan perilaku politik transaksional jangan berharap bahwa ketika mereka jadi dan tidak korup. Apalagi sistem politik di Indonesia masih terpola dengan sistem politik mobilisasi, bukan partisipatif. Ini ironi, serta mengancam sistem politik di Indonesia.

Perilaku buruk semacam itu berlangsung sudah sejak lama. Saat tahapan pilkada berlangsung, publik telah disuguhi dengan praktik korup, sementara di sisi lain, pemilih tertentu malahan mengambil kesempatan terhadap calon kepala daerah, yaitu menjatuhkan pilihan dengan cara transaksional: pemilih pragmatis. Pilihan karena pertimbangan uang, bukan karena rekam jejak serta kualitas calon kepala daerah. Tragis! Namun itulah fakta sepanjang pemilu.

Kedepan, supaya pemilu dapat menghasilkan kepala daerah yang bersih dan tidak korup, demokrasi diperlukan upaya reinterpretasi, yaitu mendesain kembali demokrasi secara konseptual, dengan mengambil pelajaran dari etika kekuasaan. Meski begitu harus diakui bahwa masalah pokok dalam proses demokratisasi adalah bagaimana merumuskan batas, kadar, tingkatan, serta konteks kebebasan (freedom) sebagai prinsip sentral demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun