KADERISASI di internal Partai Politik (Parpol) bisa disimpulkan masih sangat buruk. Bahkan, boleh disebut bahwa pengkaderan yang dilakukan selama ini hanya sebatas formalitas. Mengapa? Iya, karena faktanya pada beberapa pemilihan legislatif (Pileg) calon kepala daerah (Cakada), kader partai sedikit ditemui diusung oleh partainya.Â
Memang kondisi semacam ini cukup membahayakan masa depan demokrasi yang sudah terbangun lama. Hal ini mengindikasi bahwa proses rekrutmen politik tidak berjalan baik. Bahkan, kelihatannya sistem kepartian semakin terjebak arah pragmatisme. Dan, tentunya praktik semacam ini sangat berpotensi melahirkan pemimpin yang koruptif.Â
Dalam kontestasi politik, konon pada beberapa daerah Pemilu hanya ada calon tunggal, sehingga mereka harus melawan kotak kosong. Miris! Iya memang ini sebuah ironi dan menjadi pukulan telak bagi partai. Dengan sistem multi partai semacam ini, namun Parpol masih miskin kader.
Fenomena ini mestinya partai - partai lebih menyadari letak kesalahannya, dan berbalik ke jalan yang benar: bertobat. Karena ketika partai membangun kesadaran dan mau mengevaluasi proses rekrutmen tersebut, paling tidak partai yang notabanenya sebagai lumbung kader dalam hajatan - hajatan politik kelak, partai tidak kesulitan mencari figur, karena partai telah berupaya mengembalikan fungsi kaderisasi.
Berdasarkan data yang dibeberkan oleh TRIBUNNEWS.COM, dari 171 daerah yang menghelat pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun 2018, dilaporkan terdapat sebanyak 16 pasangan calon kepala daerah yang bertarung melawan kotak kosong.
Data ini menjadi warning bagi Parpol. Dan, tentunya proses pengkaderan di partai perlu terus berjalan. Karena ketika iklim pengkaderan berjalan sesuai harapan, maka tidak menutup kemungkinan partai akan melahirkan figur - figur alternatif yang potensial dan rekomendatif.
Meski begitu, kita seharusnya tidak serta merta kemudian menarik sebuah kesimpulan dengan pendekatan generalisasi: logika pukul rata. Karena harus diakui juga bahwa tidak semua Parpol bermasalah dalam menjalankan fungsi  rekrutmennya. Saya menduga, ada juga partai yang cukup berhasil pada bagian ini.
Meski begitu, ternyata kursi caleg dan cakada sebagian besar diisi oleh pendatang baru. Apakah dengan realitas politik semacam itu lalu kemudian partai dibilang berhasil menjalankan fungsi rekrutmen politik? Saya beranggapan hal itu kurang terlalu tepat. Karena kenyataannya setiap momentum politik, Parpol yang seharusnya menjadi lumbung dan wadah untuk memproduksi kader, malahan cenderung mengemis - ngemis.
Ironinya, figur yang punya segudang finansial berpotensi diusung, ketimbang kader partai yang memiliki segudang pengamalan dan perjuangan dalam membangun kebesaran partai. Ini lah yang saya namai kader berideologi takluk terhadap mereka yang punya segudang rupiah.
Secara teoritis, tanggung jawab Parpol salah satunya melaksanakan rekrutmen politik. Artinya, partai politik berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai. Dalam pengertian ini berarti partai politik turut serta memperluas partisipasi politik terhadap masyarakat.
Usaha rekrutmen politik ini dapat dilakukan dengan banyak cara. Salah satu misalnya, kontak pribadi, persuasi (pendekatan), dan menarik golongan muda untuk dididik menjadi kader yang akan menggantikan pemimpin lama pada masa mendatang.
Kenyataannya Parpol kadung mengusung kadernya sebagai peserta Pemilu. Lantas, apa yang menjadi penyebabnya? Ketika kita melakukan refleksi kritis atas problematika semacam ini, maka banyak faktor tentunya yang menjadi akar persoalan. Mahalnya kursi menjadi penyebabnya. Mahar politik membuat mayoritas peserta mengeluarkan ongkos pilkada yang lebih besar dibandingkan laporan harta kekayaan mereka.
Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, membeberkan kepada BBC Indonesia (12/1/2018), teranyar, kader Gerindra, La Nyalla Mattalitti, menuding partainya meminta uang sebesar Rp40 miliar sebagai syarat mendapatkan dukungan Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto untuk menjadi bakal calon gubernur Jawa Timur.Â
Bisa dibayangkan ketika jumlah uang sebesar itu saat dimintai oleh elit partai lantas tidak dimiliki oleh kader yang maju sebagai peserta pemilu. Pertanyaannya, lalu seberapa besar peluang kader bakalan akan diusung? Bagi saya jawabannya sederhana.
Dalam konteks sistem politik yang transaksional semacam ini, tidak ada yang namanya makan siang secara gratis, semua akan bermuara pada take in give. Jadi, sudah barang tentu figur hanya boleh diusung ketika permintaan elit (mahar politik ) yang dimintai boleh dipenuhi. Konglomerat jauh lebih berpotensi ketimbang kader yang hanya memiliki modal ideologi.
Partai mestinya tidak lagi membebani kader dengan mahar partai. Kementerian Keuangan menetapkan bantuan parpol tiap tahunnya sebesar Rp 1.000 per suara sah atau naik dari sebelumnya Rp 108 per suara sah. Surat penetapan itu tertuang dalam Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017 tanggal 29 Maret 2017.Â
Kebijakan pemerintah dalam menaikan anggaran partai ketika dimanfaatkan dengan baik, pastinya partai tidak akan lagi disibukin dengan persoalan - persoalan ekonomi: finansial kader. Harusnya, partai tinggal memaksimalkan bentuk konsolidasi dan komunikasi politik. Entah itu ditingkatan elit maupun akar rumput. Realitas berkata lain!
Pun, manajerial organisasi kepartaian perlu ada pembenahan. Proses kaderisasi yang berjenjang harus terus didorong. Karena ketika partai menerapkan sistem kaderisasi yang ketat semacam itu, kecenderungan pendatang baru yang meg - iming - imingkan memiliki banyak uang dengan sendirinya tergilas, dan tentunya kecil kemungkinan bisa diusung oleh partai. Karena partai punya banyak stok kader!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H