Mohon tunggu...
Pestalozzi E.Z.
Pestalozzi E.Z. Mohon Tunggu... Relawan - pelajar fulltime

sedang belajar banyak hal

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Romantisme Fotografi Analog, Keprihatinan Fotografi Digital

15 Oktober 2010   06:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:24 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya belajar fotografi sejak di bangku SMP, sekitar tahun 2002, sejak saat itu saya jatuh cinta pada bidang ini. Ketika itu masih jaman analog, kamera digital belum booming seperti saat ini. Kamera digital saat itu kalau tidak salah masih 1 megapixel, harganya belasan dollar AS, dan praktis hanya dipakai oleh para jurnalis foto profesional.

Saya ingat kamera pertama saya itu adalah kamera pinjaman on saya. Mereknya Braun, tipenya sr2000. Lensanya 24-70, lupa bukaan maksimal berapa. Ketika itu rasanya ada power yang sangat besar di tangan saya, banyak yang bisa saya buat dengan kamera tersebut. Ketika mulai aktif motret, awal SMA, tahun 2002 itu, rasanya cool banget nenteng kamera, jadi seksi dokumentasi acara-acara SMA saya. Fotografer lebih dipandang daripada ketua acaranya sendiri hehehe. Tanpa disadari megang kamera dengan tag Panitia Dokumentasi menjadi semacam sex appeal sendiri bagi para fotografer hahaha.

Belajar fotografi jaman analog menjadi suatu pengalaman yang sangat mengesankan, banyak suka dukanya. Belajar reload roll film, belajar baca lightmeter, mengerti fungsi Fstop, speed dan ISO, cara nyetak, cari tempat nyetak yang bagus, berburu roll film yang aneh-aneh. Belum lagi deg-degan nunggu cetakan foto selesai, pake lup buat liat foto di contactprint. Mengingat-ingat balik jaman analog memang penuh cerita. Pernah sekali, baru belajar motret, dari 36 film, hanya 5 yang layak cetak, mas tukang cetak dengan lantangnya berkata,"yang lain ngga saya cetakin mas, semuanya kalo ngga under banget, ya over banget" malunya ga ketulungan hahahaha....

Kurang lebih begitukan jaman analog? saya memang belum lama pegang kamera dibanding bang Arbain Rambey, Julian Sihombing, Darwis Triadi, Deniek Sukarya, atau siapalah senior-senior lain yang lebih pengalaman. Satu yang saya syukuri adalah saya mulai motret dari jaman analog.

Jaman analog menurut saya adalah jaman dimana fotografi lebih dihargai atau diapresiasi. Mengapa? Menurut saya karena jaman analog, fotografi dianggap susah, teknis sekali pemakaiannya, penggunanya dianggap harus seorang yang teknikal, penuh perhitungan matematis yang sedemikian rupa. Sehingga pelaku fotografi masuk ke suatu strata atas dalam hal profesi maupun hobi.

Keadaan berubah drastis ketika fotografi digital menjadi boom. Dunia fotografi bukan menjadi "monopoli" kalangan terbatas. Siapapun yang mempunyai uang, bisa membeli kamera. Pada awalnya, kamera digital compact laris manis, konsumennya paling besar keluarga. Makin kesini, orang tidak puas dengan digital compact atau pocket camera, pilihan merambah ke ranah DSLR. Produsen pun menanggapi dengan mengeluarkan kamera DSLR "entry level". Seketika itu pula, terbukalah dunia fotografi bagi semua orang.

Saya bukan tidak mendukung atau anti dengan semua orang mempelajari fotografi, apa urusannya? siapa saya? Hanya saja ada beberapa hal yang menarik, ketika saya, sebagai orang yang "bisa fotografi" menjadi tempat belajar bagi beberapa teman yang mulai mendalami dunia foto. Saya melihat beberapa kecenderungan.

Pertama, dengan teknologi digital, orang cenderung ingin serba instan, meskipun dalam memakai DSLR bukan pocket. Mereka cenderung peduli setan dengan settingan kamera, lebih suka pakai P atau Auto, langsung jepratjepret sini sana. Kalau jelek...delete... Entah kenapa, miris saya melihatnya. Tidak sedikit para pemula tidak mengerti hubungan FStop-Speed-ISO, dan sedikit keingintahuannya tentang hal tersebut. Konsep dasar tentang Depth-of-Field (sempit-luas), FreezeFrame, Panning,dll pun mereka tidak mengerti.

Kedua, perilaku jepret-delete-jepret-delete, menurut saya membuat fotografer sekarang menjadi taking-for-granted terhadap "sebuah frame/eksposure". Ketika jaman analog, seorang fotografer, sangat menghargai sebuah frame atau exposure. Tiap frame dikalkulasikan sedemikian rupa, settingannya, komposisinya, focal lengthnya, garis horisonnya dll. Tiap frame menjadi suatu buah konsep dari apa yang diingini fotografernya. Jadilah tiap frame, suatu karya seni fotografi. Sekarang, seorang fotografer, ya yang saya katakan pemula, dengan berbekal CF atau SD card 4 GB dengan asyiknya motret sampai "ratusan juta" foto, tapi ngga tau yang mau difoto apa, jadinya kaya apa. Sempat saya mengasuh ekstrakurikuler fotografer di almamater SMA saya, kalau ditanya kenapa motret kaya gini, jawabnya dengan mudah, candid...atau snapshot...yang lebih konyol lagi jawabannya adalah, tapi keren kan kak hasilnya....?             -________________-""""

Hal photoshop pun membawa fenomena yang unik. Orang awam cenderung mempunyai pengertian, yang penting motret dulu, jelek bagus belakangan, bisa diphotoshop. Om-om dan teman-teman senior pun pasti tidak sependapat dengan hal ini. Sedemikian rupa saat kita memotret, hasil eksposure yang kita hasilkan, sedikit mungkin mengalami proses post-production. Lain kasusnya apabila, foto tersebut menjadi objek untuk digital imaging, dengan begitu proses post production jadi perlu dan penting.

Berikutnya, dengan lahirnya fotografi digital, semua orang sedikit lebih menggampangkan dunia fotografi. Ini pendapat saya dari sudut pandang profesional. Nilai suatu pekerjaan fotografi menjadi tersepelekan. Alasan kasarnya, semua orang juga bisa motret kalau ada kameranya, ga usah pake lo (fotografer profesional) juga gue bisa motret. Padahal bagi fotografer yang benar-benar mengerti dan mendalami dunia fotografi, suatu kegiatan foto bukanlah asal jepret atau asal motret. Pekerjaan memotret adalah suatu pekerjaan yang sangat delicate bisa dibilang, bukan asal pendokumentasian momen.

Secara pribadi saya senang dunia fotografi menjadi seperti sekarang ini. Tak bisa disangkal, fotografi digital membuat segalanya menjadi mudah. Bagi saya fotografi menjadi semakin menarik dan mudah di eksplor. Kemampuan fotografi saya pun bisa dibilang semakin bertambah, dan semakin baik, ketika jaman digital tiba. Digitalisme fotografi lebih dari sekedar mempercepat workflow fotografer tapi juga membuka ruang kreatifitas yang semakin luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun