Pikiran tersebut adalah pikiran yang sesat, ditinjau dari sudut teori kalkulasi harga pokok dengan metode apapun juga.
Tidak ada uang tunai yang dikeluarkan pemerintah karena “subsidi BBM” sebenarnya adalah biaya peluang (opportunity cost) yakni suatu kesempatan mendapatkan keuntungan yang hilang karena keputusan mengambil suatu pilihan.
Sedangkan pilihan pemerintah adalah memenuhi hajat atau kebutuhan rakyat Indonesia sesuai amanat UUD 1945 bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Setelah hajat atau kebutuhan rakyat Indonesia telah terpenuhi maka kelebihannya dijual ke negara lain sesuai dengan harga pasar internasional dan hasilnya diakui sebagai penerimaan negara.
Sedangkan pengendalian konsumsi BBM , salah satunya dengan metode pembatasan mempergunakan teknologi seperti RFID.
Pompa BBM tidak akan mengeluarkan BBM dengan harga dibawah pasar internasional pada kendaraan yang tidak memiliki RFID.
Kemudian konsumsi BBM dibatasi dengan
1. Kuota liter per bulan , misalkan 100 liter per bulan setiap keluarga (kepala keluarga) sehingga bagi keluarga yang memiliki lebih dari satu kendaraan dapat pula dibatasi konsumsinya
2. Pompa BBM tidak akan mengeluarkan BBM dengan harga dibawah pasar internasional bagi nilai kendaraan tertentu seperti nilai di atas 200 juta.
Penerimaan negara bukanlah hasil berdagang hasil bumi pada rakyatnya sendiri.
Sumber-sumber pembiayaan dari dalam negeri diutamakan antara lain dengan pengeloalaan sumber daya alam yang berpihak pada kepentingan nasional. Karena itu, perlu renegosiasi (peninjauan ulang) terhadap kontrak karya di berbagai bidang seperti pertambangan yang tidak menguntungkan kepentingan rakyat.