Budaya beretika dalam menulis maupun  menyebarkan berita harus ditanamkan sejak dini. Perhatikan prinsip "is it true? Is it necessary? Is it kind?"dalam menulis maupun menyebarkan berita atau informasi.  Tumbuh kembang sosial media di Indonesia bisa menjadi mata pisau yang dapat bermanfaat apabila penggunaannya tepat atau sebaliknya dapat merajam bangsa karena disalahgunakan. Studi yang dilakukan oleh Mark Frohardt dan Jonathan Temim (2007) menunjukan, media tidak hanya mengabarkan terjadianya konflik, tetapi juga memiliki sumbangsih dalam pembentukan konflik meskipun tidak disegaja. Mark dan Jonathan memberi penegasan bahwa fenomena ini rentan di negara multi-etnik (heterogen) dan minimnya daya kritis pembacanya.Â
Masyarakat Indonesia yang multikultural dengan berbagai perbedaan dapat menjadi celah persebaran kebencian melalui berita hoaks. Kebebasan berpendapat di media massa merupakan kondisi yang menjamin individu menyatakan gagasan, bertukar informasi, maupun mencari pengetahuan yang dibutuhkan. Kondisi tersebut secara ideal tercipta jika media massa mampu memunculkan ruang publik dengan mengalirkan arus informasi yang sehat. Pada ranah ini, pembaca dapat berperan dalam memutus mata rantai penyebaran informasi yang mengandung unsur hoaks. Generasi penerus bangsa tidak boleh terus menerus terkungkung dalam satu tempurung informasi, terlebih pada informasi hoaks. Jangan sampai generasi penerus gagap dalam mengolah informasi sehingga ikut serta menyuburkan hoaks.
 Pada April 2017 lalu, ketika pemilihan kepala daerah (Pilkada) Jakarta, banyak sekali berita hoaks yang tersebar baik melalui media sosial atau bahkan media massa. Hoaks  yang disebarkan kebanyakan mengandung unsur SARA yang menyudutkan salah satu calon pemimpin Jakarta tersebut. Kebencian atas nama perbedaan menjalar dari Jakarta hingga pelosok negeri bahkan ke daerah yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pilkada Jakarta. Hal tersebut menimbulkan kesan kacau dan dapat menggoyahkan semangat persatuan bangsa.Â
Berita hoaks tersebut menjadi isu nasional beberapa waktu lamanya dan tidak juga berakhir saat pilkada selesai. Isu terus menjalar ke ranah yang lebih sensitif seperti mengusung berita atas nama agama. Informasi berantai terkirim dari satu media sosial dan menyebar ke seluruh penjuru. Media social yang banyak dipakai untuk menyebarkan hoaks adalah facebook dan twiter. Berita tersebut dikemas dengan berita, gambar, maupun video dan disebarkan secara sistematis dan masif. Penyebaran hoaks juga sering melalui media berkirim pesan seperti Whatsapp. Karena sifatnya yang pribadi dan tertutup, penyebaran hoaks melalui media ini lebih efektif dan cepat. Sebagai generasi yang cerdas dan beretika, ketika mendapat satu informasi dengan judul penuh provokasi yang perlu dilakukan adalah cek silang dengan bacaan lain, cari tahu sumber, serta tidak menyebarkan berita tersebut. Â Jadilah generasi yang gemar membaca, menulis, serta menyebarkan berita-berita positif dan inspiratif. Tularkan budaya tersebut kepada teman, kerabat, keluarga dan lingkungan yang lebih luas agar ideologi persatuan dan kesatuan bangsa tetap dijunjung tinggi.
#antihoax #marimas #pgrijateng
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI