Mohon tunggu...
ZONANDA BIO ALFARIZZY
ZONANDA BIO ALFARIZZY Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membangun Kota dengan Sentuhan Kreatif

15 November 2024   14:32 Diperbarui: 15 November 2024   14:46 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ekonomi kreatif telah menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi di banyak kota di seluruh dunia. Pendekatan ini semakin berkembang dengan mengintegrasikan konsep "place-making" atau pembangunan berbasis tempat yang menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang menarik dan memiliki identitas yang kuat. Berdasarkan analisis dalam materi "Place and the Creative Economy" dua mekanisme utama yang menjelaskan hubungan antara ekonomi kreatif dan tempat adalah melalui konsentrasi aktivitas kreatif di lokasi tertentu dan pengembangan ekonomi berbasis tempat yang memanfaatkan "sense of place".

Konsep "sense of place" mengacu pada rasa keterikatan emosional dan identitas yang dirasakan individu terhadap suatu lokasi. Ini bisa bersifat universal, seperti landmark yang terkenal, atau sangat personal, seperti sudut jalan dengan nilai historis bagi seorang individu. Pengakuan akan pentingnya "sense of place" ini mendorong pengembangan ekonomi kreatif berbasis tempat yang tidak hanya berfokus pada peningkatan ekonomi, tetapi juga pada pembangunan identitas komunitas yang kuat. Misalnya, Hollywood di Los Angeles bukan hanya sebagai pusat industri film, tetapi juga membangun ekosistem kreatif yang menciptakan peluang kerja dan menarik investasi.

Kekuatan Ekonomi Kreatif Berbasis Tempat

Ekonomi kreatif berbasis tempat bertujuan untuk menciptakan pusat-pusat aktivitas yang mendorong interaksi sosial, inovasi, dan pertumbuhan ekonomi melalui seni, budaya, dan kerajinan lokal. Sebagai contoh, kawasan District 798 di Beijing mentransformasi area industri yang terbengkalai menjadi pusat seni kontemporer. Dengan ratusan galeri, studio seniman, dan ruang pertunjukan, kawasan ini menjadi magnet bagi wisatawan dan pelaku seni, yang pada akhirnya meningkatkan daya tarik ekonomi dan sosial kawasan tersebut.

Pengembangan ekonomi berbasis tempat juga terlihat dalam contoh Philadelphia Avenue of the Arts. Koridor budaya ini mengubah area yang sebelumnya mengalami kemunduran menjadi pusat seni dan budaya yang dinamis. Inisiatif ini berhasil menarik investasi baru dan menciptakan lapangan kerja di sektor kreatif. Selain itu, kota-kota seperti Denver telah menunjukkan bagaimana district seni, seperti Denver Performing Arts Complex, dapat menjadi katalis pembangunan urban yang lebih luas. Dengan menarik wisatawan dan menciptakan ruang publik yang menarik, kompleks ini telah berhasil mendorong pengembangan ekonomi daerah sekitar melalui peningkatan aktivitas bisnis dan pariwisata.

Tantangan dan Potensi Gentrifikasi

Meskipun pembangunan ekonomi kreatif berbasis tempat memiliki banyak manfaat, terdapat tantangan signifikan yang perlu dihadapi. Salah satu tantangan terbesar adalah potensi gentrifikasi yang sering kali terjadi ketika suatu area menjadi lebih menarik dan harga properti meningkat. Fenomena ini dapat menyebabkan perpindahan penduduk lokal, terutama kelompok berpenghasilan rendah dan seniman yang justru menjadi bagian dari identitas budaya tempat tersebut. Potensi gentrifikasi ini dapat mengancam keaslian budaya dan menghilangkan karakter lokal yang menjadi daya tarik utama bagi pengembangan ekonomi berbasis tempat.

Tantangan lainnya adalah masalah autentisitas dan keterlibatan komunitas dalam proyek-proyek "creative placemaking". Meskipun banyak proyek bertujuan untuk inklusif dan melibatkan berbagai bentuk seni dan budaya, sering kali ada kesenjangan dalam representasi dan partisipasi komunitas lokal. Beberapa proyek cenderung fokus pada elemen estetika tanpa mempertimbangkan sejarah dan identitas komunitas setempat, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan rasa keterasingan di kalangan penduduk lokal. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis komunitas dalam setiap proyek pembangunan berbasis tempat.

Creative Placemaking sebagai Solusi

Creative placemaking telah muncul sebagai strategi utama dalam pengembangan ekonomi kreatif berbasis tempat. Pendekatan ini melibatkan kolaborasi antara sektor publik, swasta, dan masyarakat untuk membentuk karakter fisik dan sosial suatu tempat melalui kegiatan seni dan budaya. Tujuannya untuk menciptakan ruang publik yang tidak hanya indah tetapi juga fungsional dan dapat menimbulkan rasa keterikatan emosional bagi masyarakat. Salah satu contoh sukses dari pendekatan ini ialah proyek-proyek seni publik yang melibatkan komunitas lokal dalam proses perencanaan dan pelaksanaanmya, seperti mural di jalan-jalan kota yang menceritakan sejarah lokal atau instalasi seni interaktif dan mengajak partisipasi dari masyarakat.

Dalam praktiknya, creative placemaking sering kali melibatkan penggunaan kembali bangunan lama atau area yang kurang dimanfaatkan. Contohnya adalah transformasi kawasan industri tua menjadi pusat kegiatan seni, seperti yang terjadi di Lincoln Center, Manhattan. Di sini, pembangunan distrik budaya besar di atas area perumahan berpenghasilan rendah berhasil menciptakan daya tarik ekonomi baru, meskipun mendapat kritik karena dampak sosialnya yang kontroversial. Pendekatan yang lebih kontemporer, seperti festival marketplace yang dipopulerkan oleh James Rouse, juga menunjukkan bagaimana pengembangan ekonomi berbasis tempat dapat berhasil mengintegrasikan elemen sejarah lokal dan arsitektur postmodern untuk menciptakan destinasi wisata baru yang menarik.

Strategi Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Tempat

Strategi pembangunan ekonomi kreatif berbasis tempat membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan inklusif. Salah satu elemen kuncinya ialah melibatkan komunitas lokal dalam proses perencanaan dan pengembangan. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan rasa memiliki dan keterlibatan masyarakat, tetapi juga memastikan bahwa proyek yang dihasilkan mencerminkan identitas dan kebutuhan komunitas. Misalnya, festival seni dan pasar lokal yang melibatkan pelaku usaha kecil setempat dapat menjadi platform yang efektif untuk mempromosikan produk lokal dan menarik pengunjung dari luar daerah.

Selain itu, kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan ekonomi berbasis tempat, seperti insentif untuk seni publik dan pembentukan distrik budaya, dapat membantu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan ekonomi kreatif. Kolaborasi antara sektor publik, swasta, dan nirlaba dalam proyek-proyek creative placemaking juga menjadi faktor penting untuk keberhasilan. Dukungan dari yayasan nasional, lembaga pemerintah, dan kelompok kepentingan khusus dapat memberikan pendanaan dan sumber daya yang diperlukan untuk proyek-proyek ini, serta membantu mengatasi tantangan seperti gentrifikasi dan kurangnya keterlibatan komunitas.

Oleh karena itu Ekonomi kreatif berbasis tempat menawarkan peluang besar bagi kota-kota untuk mengembangkan identitas unik dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui konsep "sense of place" dan creative placemaking, kota-kota dapat menciptakan lingkungan yang menarik bagi penduduk, pengunjung, dan investor. Namun, untuk memaksimalkan manfaat ini, perlu adanya pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan yang melibatkan partisipasi aktif dari komunitas lokal. Tantangan seperti gentrifikasi dan keterlibatan komunitas harus diatasi melalui strategi yang lebih berfokus pada "place-keeping" yang mengintegrasikan sejarah, budaya, dan identitas lokal dalam setiap tahap pengembangan.

Melalui upaya kolaboratif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, ekonomi kreatif berbasis tempat dapat menjadi alat yang kuat untuk merevitalisasi kota dan menciptakan lingkungan yang lebih manusiawi, berkelanjutan, dan berdaya saing. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya akan menguntungkan ekonomi lokal tetapi juga memperkaya kehidupan sosial dan budaya komunitas yang terlibat di dalamnya.

Referensi :

1. Markusen, A., & Gadwa Nicodemus, A. (2010). Creative Placemaking. Washington, DC: National Endowment for the Arts.

2. Pearsall, H. (2014). Superfund Me: A Study of Resistance to Gentrification in New York City. Urban Studies International Research, 37(8), 740-770.

3. Bedoya, R. (2013). Placemaking and the Politics of Belonging and Dis-Belonging. GIA Reader, 24(2).

4. Michigan Municipal League (2017). A Decade of Placemaking in Michigan. Ann Arbor.

5. Bloom, N. D. (2004). Merchant of Illusion: James Rouse, America's Salesman of the Businessman's Utopia. Columbus: Ohio State University Press.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun