[caption id="attachment_367126" align="aligncenter" width="630" caption="Ilustrasi (Sumber: megapolitan.kompas.com)"][/caption]
Di artikel ini saya ingin menuliskan pendapat saya mengenai pemberitaan yang sebenarnya sudah agak basi. Artikel ini sudah saya tulis dua bulan lalu, tapi baru sempat posting sekarang :(
------
Arya Bagus, cowok imut-imut berusia 14 tahun ini sudah mengenyam bangku pendidikan kuliah di Universitas Gadjah Mada. Pertama kali baca berita ini saya yakin banyak yang berkata "wow, ini anak dikasih makan apa sama orang tuanya, masih kecil sudah bisa jadi mahasiswa." Sama, saya juga berpikiran sama.
Bagaimana bisa si Arya ini masuk perguruan tinggi di usia yang sangat muda? Ceritanya dia masuk program akselerasi dua kali, waktu SMP dan SMA. Saat masuk SD pun dia baru berusia 4 tahun.
Program akselerasi merupakan program yang sangat populer. Siswa bisa lulus SMP/SMA dalam waktu 2 tahun sehingga bisa menghemat waktu. Mereka juga memiliki kesempatan untuk sukses lebih cepat dibanding teman-teman sebayanya.
Melihat Arya Bagus, saya jadi teringat pada diri saya sendiri. Memang saya belum jadi mahasiswa di usia 14 tahun, tapi saya masuk universitas di usia yang cukup muda yaitu 16 tahun.
Selama satu tahun ini saya sering merasa iri dengan teman-teman saya. Mereka masih bermain-main dengan teman-teman, hang out, nonton bioskop, nongkrong, dan sebagainya. Sementara saya sudah harus bolak-balik rumah-kantor setiap hari. Satu lagi yang seringkali saya alami adalah ketika stress datang saya berpikir untuk bersantai sejenak. Toh, saya masih muda, dulu saya sudah bekerja keras, tidak ada salahnya saya istirahat sebentar. Itu pikiran yang buruk, syukur-syukur saya tidak tidak benar-benar melakukan itu. Saya tetap bekerja keras.
Kembali lagi ke masalah Arya Bagus. Cowok imut ini kini sudah memulai kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah yang berisi mahasiswa berusia sekitar 17-18 tahun dan sudah memiliki KTP. Saya rasa, pergaulan anak 14 tahun dengan anak usia 17 tahun tentu berbeda. Bisa jadi omongan mereka nggak nyambung. Belum lagi, Arya sejak 4 tahun sudah masuk SD sehingga bisa jadi dari sananya dia memang lebih suka belajar ketimbang menyanyikan lagu anak-anak. Mahasiswa gila belajar seperti Arya ini akan selalu diacungi jempol oleh teman-temannya. Tapi dia bukan tipe orang yang enak diajak bergaul. Mahasiswa gila belajar yang sebaya saja kadang nggak asyik diajak ngobrol, apalagi yang tiga tahun lebih muda. Seperti yang saya bilang tadi, bisa-bisa omongan mereka nggak nyambung. Arya belum bisa mereka ajak bicara mengenai percintaan, dia juga masih mengalami masa puber. Dia masih di bawah umur, sehingga tidak bisa pulang malam. Dia juga belum punya SIM sehingga belum bisa pergi kemana-mana bersama teman-teman. Bahkan Arya belum bisa menonton film rated R sehingga susah diajak nonton bareng. Yang sedikit menakutkan, Arya bisa jadi lebih mudah dipengaruhi oleh oknum-oknum jahat yang sering berkeliaran di kampus.
Di paragraf di atas, saya tidak bermaksud untuk mengatakan Arya tidak mampu berdaptasi dengan lingkungannya kini. Tapi, kampus adalah dunia yang sangat berbeda dengan sekolah. Mahasiswa sudah mulai merasa bebas melakukan apa pun yang ia mau. Mereka juga sudah bebas memilih dengan siapa mereka akan bergaul. Mahasiswa yang kaku akan ditinggalkan, mahasiswa yang 'asyik' akan didekati. Mahasiswa yang 'asyik' pun bisa berkonotasi positif dan negatif. Di sekolah, guru turut mengawasi tingkah laku murid, sementara di kampus, mahasiswa bisa bertingkah seenaknya. Merokok silakan, mengecat rambut silakan, pulang malam silakan, bergaul dengan siapa saja silakan, bahkan (maaf) seks bebas pun silakan.
Bagi anak usia 14 tahun seperti Arya, kehidupan kampus akan menjadi culture shock. Wah, jangankan Arya, saya saja masuk kampus sudah culture shock sekali. Bertemu dengan orang dari berbagai daerah dengan berbagai budaya membuat saya kembali mempertanyakan mana yang benar dan mana yang salah.
Saya tidak mengenal Arya secara langsung, tapi berdasarkan pengalaman saya sendiri, saya merasa Arya yang bercita-cita meraih gelar Doktor di usia 24 tahun ini akan merasa kesulitan dalam berteman. Ia akan kebingungan antara berteman dengan usia sebaya atau berteman dengan yang tiga tahun lebih tua dari dia. Dan pada akhirnya dia tidak berteman dengan siapa-siapa. Sekali lagi, saya mengatakan ini berdasarkan pengalaman saya.
Mau masuk kelas akselerasi atau reguler, mau jadi mahasiswa di usia berapapun, itu terserah masing-masing orang. Tapi kalau saya sih mau menyarankan ke orang tua supaya tidak terobsesi menyekolahkan anaknya di usia muda dan memaksa mereka untuk segera menyelesaikan sekolahnya. Ada hal lain yang sama pentingnya dengan pendidikan, yaitu bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H