Mohon tunggu...
Yahya Kus Handoyo
Yahya Kus Handoyo Mohon Tunggu... Konsultan - Chief Digital Strategy

Say, "He is Allah, who is One, Allah, the Eternal Refuge. He neither begets nor is born, Nor is there to Him any equivalent."

Selanjutnya

Tutup

Gadget Pilihan

Surat Terbuka untuk KPAI

4 Mei 2016   13:15 Diperbarui: 4 Juli 2019   18:34 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beredar kabar tentang pemblokiran beberapa game yang dilakukan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebelum terlalu jauh menghakimi efek Video Game, sebaiknya kita semua menyadari dari sudut pandang mana kita menilai..

Link Berita : Disini

Video game pertama kali dikenal secara luas pada taun '80 hingga '90 an (bisa disebut "Generasi Y"), sehingga yang menikmatinya sebagian besar merupakan generasi Y. Orang-orang yang lahir di bawah tahun '70 an (bisa disebut "Generasi X"), dan pada kenyataanya mereka tidak mengenal video game ketika kecil.

Generasi X atau para Orang Tua ini tidak merasakan langsung video game saat kecil, dan hanya melihat video game sebatas anak-anak mereka yang memainkannya. Hal ini membuat mereka punya paradigma yang berbeda mengenai video game. Segala sesuatu yang tidak dimengerti bagi manusia cenderung akan dibenci. Maka, tidak heran orang-orang tua yang termasuk Generasi X ini banyak yang membenci video game, karena memang mereka tidak mengerti tentang video game.

Dalam ilmu psikologi beberapa kali pernah dikaji penelitian mengenai video game. Dari beberapa penelitian, memang ada yang menghubungkan video game dan kekerasan. Namun, penelitian tersebut TIDAK memasukkan variabel lainnya seperti POLA ASUH anak, TRAUMA yang pernah dialami, dsb. Penelitian tersebut hanya menghubungkan tindak kekerasan dengan frekuensi bermain video game. Salah satu pemicu agresivitas yang utama justru tidak dilihat, yang terutama adalah POLA ASUH ORANG TUA.

Sebagai contoh kasus, Fajar merupakan salah satu murid SMP B. Fajar memiliki tingkat agresivitas yang tinggi, dapat dilihat dari seringnya Fajar memukul teman-temannya hanya karena Fajar tidak suka sama mereka. Setelah diperiksa, ternyata Fajar hampir setiap hari bermain Grand Theft Auto V yang mengandung unsur kekerasan. Para guru akhirnya mengambil kesimpulan bahwa karena Fajar sering bermain Grand Theft Auto, maka Badu memiliki tingkat agresivitas yang tinggi.

Contoh kasus di atas merupakan pengambilan kesimpulan yang SALAH. Karena, kita tidak bisa mengambil kesimpulan hanya dari satu sudut pandang saja. Kita harus melihat dari segal sisi dan kemungkinan. Contoh, ternyata semua murid di SMP X bermain Grand Theft Auto, namun, kenapa hanya Fajar saja yang memiliki tingkat agresivitas yang tinggi? Setelah diperiksa kembali oleh seorang psikolog, ternyata di dapat informasi bahwa Fajar memiliki pengalaman bahwa ia sering DIPUKULI dan DIMARAHI oleh ayahnya sendiri dari usia 3 tahun, dan kekerasan pada anak ini tidak terjadi pada teman-teman Fajar. Hal inilah yang ternyata membuat Fajar memiliki tingkat agresivitas yang tinggi.

Saya sendiri termasuk Generasi Y yang saat ini berumur dikisaran 28th - 30th an dan sekarang sudah menjadi seorang ayah dengan 3 putra yang berumur 7th, 3th dan 1th. Dan anak-anak saya tiap hari bermain game online di rumah dan tentu saja dengan pengawasan saya, karena saya sendiri bermain game game tersebut. Berikut daftar game online yang dimainkan anak saya:
1. Counter Strike
2. Point Blank
3. Elsword
4. Orcs Must Die Unchained
5. Heroes of the Storm
6. World of Warcraft
7. Dota 2

Apakah dengan daftar game tersebut kemudian anak saya berperilaku aggresif seperti yang di takutkan KPAI? Sama sekali tidak, bahkan anak saya mempunyai daya tangkap yang tergolong lumayan dari anak-anak yang satu kelas denganya. Jadi apakah masih relevan penilaian ‪‎KPAI‬ yang terburu-buru tersebut?

Saya sendiri bisa terhitung sebagai seorang ‪‎Gamer‬, dan banyak teman-teman saya yang juga gamer. Saya dan teman-teman saya tidak pernah melakukan kekerasan apapun yang ditakutkan oleh KPAI ini. Bahkan, banyak di antara teman-teman gamer saya yang dapat kuliah di perguruan tinggi ternama dan dapat bekerja perusahaan yang cukup bergengsi, seperti harapan para orang tua masing-masing. Walaupun, sampai detik ini kami masih bermain video game bersama2. Saya merasa justru video game membantu seseorang dalam proses belajar, terutama proses problem solving, yang membuat seseorang semakin dapat mengasah daya pikir.

Juga tolong diingat dewasa ini Game sudah menjadi industri yang luar biasa besar bahkan eSport dunia sudah berkembang sangat pesat, tidak seperti 5th apalagi 10 tahun lalu. Banyak gamer yang sudah tergolong seperti atlet profesional dengan meraup puluhan milyar karena profesionalitas mereka dalam industri eSport. 

Betapa industri eSport dunia sudah berkembang sangat pesat, contoh kecil adalah berita tentang nilai transfer seorang gamer sebesar 11 Milyar Rupiah. Dan Indonesia sendiri yang di sini di wakilkan oleh pemerintah oleh IESPA sudah mulai beranjak dari tidurnya. Di tahun 2016 ini sudah banyak kegiatan yang mengarah pada pembentukan karakter eSport di Indonesia dan itu cukup menjanjikan.

Saya sendiri sebagai saksi betapa banyak anak muda indonesia terjun langsung dalam industri game dengan menjadi Developer atau Pembuat game itu sendiri dan mulai berani masuk dan bersaing di kancah internasional seperti Vainglory Game, Terdampar 3D, Falkana Studio,Ghost Parade, Nusakana, Killer Dash. Belum lagi bicara team profesional eSport dari dalam negeri seperti Mahameru.ID, Team nxl>, Rex Regum Qeon dll,

Apakah mimpi mereka akan terkubur dengan keputusan KPAI yang terburu-buru itu?

Kalau orang tua cerdas sebenarnya sudah bisa melihat pada game-game tersebut sudah terdapat ‪RatingGame‬ pada masing-masing kemasanya. Dan disini peran orang tua yang sebenarnya apakah bisa menjadi penyaring atau tidak. Dan dari pada hanya berpikir blokir, kenapa pemerintah tidak menerapkan sistem pembuatan ID game yg lebih dipersulit contohnya korea, mereka cukup ketat menyeleksi pemain yang bisa bermain dan mereka mengeluarkan regulasi umur dibawah sekian tahun pada jam sekian tidak bisa mengakses game apapun.

Seharunya yang dilakukan KPAI bukan memblokir game-game tersebut tapi lebih sosialisasi kepada orang tua untuk lebih awas dalam melihat RATING game. Karena "BLOKIR" saya melihat hanya sebagai jalan pintas dan mengorbankan kemajuan industri game itu sendiri dalam skala nasional.

Maksud dari tulisan saya di atas adalah, mohon bagi para pembaca, terutama pemerintah atau KPAI yang membuat kebijakan seperti "rencana pemblokiran 15 game yang berbahaya bagi anak-anak karena dianggap mengandung konten kekerasan" tolong kaji ulang dengan diteliti yang dengan orang yang memang ahli di bidangnya, baik itu psikolog ataupun memang peneliti.

Sebagai bahan pertimbangan, seharusnya orang tua juga aware dengan adanya sistem "Rating Game Online" yang sudah di buat oleh pemerintah.

Akhir kata, semoga tulisan saya ini bisa bermanfaat dan bisa sampai kepada para pembuat kebijakan.

Hormat Saya
"Generasi Y"
(Anak dari Generasi X)
(Orang Tua Generasi Z)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun