Mohon tunggu...
Zofrano Sultani
Zofrano Sultani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Historian, Researcher, Research Consultant, and Social Observer

Follow my Instagram: zofranovanova94. The researcher has an interest in the fields of East Asian History, South Asian History, the History of International Relations. and International Political Economy. He is an alumnus Bachelor of Arts in History degree currently pursuing a postgraduate in the field of socio-politics with a hobby of reading books, watching movies, listening to music, and foodies. Education level has taken: Private Kindergarten of Yasporbi II Jakarta (1998-1999), Private Elementary School of Yasporbi III Jakarta (2000-2006), Public Junior High School 41 Jakarta (2006-2009), Private Senior High School of Suluh Jakarta (2009-2012), and Department of History, Faculty of Social Sciences, State University of Malang (2012-2019). He has the full name Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Raya and The Last Dragon" dan Relevansi Kebudayaan Asia Tenggara

28 Mei 2021   01:36 Diperbarui: 29 Maret 2022   13:43 1978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 2. Raya (Kiri) dan Namaaria (Kanan). Sumber: https://www.idntimes.com

Raya and the Last Dragon merupakan film produksi Walt Disney Pictures yang rilis pada tanggal 3 Maret 2021 di Indonesia dan 5 Maret 2021 di Amerika Serikat. Film ini disutradarai Don Hall dan Carlos Lpez Estrada. Naskah film ini ditulis oleh Qui Nguyen dan Adele Lim. Film ini dibintangi oleh Kelly Marie Tran dan Awkwafina (Nora Lum). Awkwafina (Nora Lum) merupakan aktor yang pernah bermain di film Ocean 8 (2018). Film Raya and the Last Dragon awalnya dijadwalkan akan ditayangkan pada 25 November 2020 di Amerika Serikat (AS). Namun, dengan adanya pandemi COVID-19 dan banyaknya film yang dijadwalkan ulang pada akhir tahun 2020 maka Walt Disney Pictures menunda penayangannya hingga 12 Maret 2021 (Radulovic, 2021).

Film ini merupakan film yang diproduksi Walt Disney Pictures setelah Mulan (2020), Frozen II (2019), Ralph Breaks the Internet (2018), Moana (2016), dan Zootopia (2016) memperoleh pendapatan box office sebesar 91,8 juta dollar Amerika Serikat. Raya and the Last Dragon diproduksi oleh Walt Disney Pictures (WDP) berusaha menggambarkan kebudayaan dan masyarakat Asia Tenggara. Tapi, pertanyaan penulis adalah mungkinkah ini juga menghentikan identitas "Asia" sebagai sebuah kategorisasi budaya yang dominasi budaya Eropa-Amerika?.

Sebagai kata sifat yang berlaku untuk 60% populasi dunia, dari Palestina hingga India, Cina, dan Jepang, kata "Asia" tidak sesuai untuk tujuannya sebagai kebudayaan. Mengapa begitu? karena Asia identik sebagai unit geopolitik yang digambarkan oleh bangsa Barat sejak kolonialisme dan imperialisme sebagai bangsa minor. Pada film Raya dan the Last Dragon menggambarkan betapa tidak membantu deskripsi itu bisa menggambarkan kebudayaan Asia Tenggara secara utuh. Hal itu diatur dalam dunia fiksi Kumandra, yang sangat Asia Tenggara. Seniman Walt Disney meneliti budaya di seluruh wilayah Asia Tenggara seperti Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Indonesia. Karya itu berusaha menampilkan kebudayaan dan masyarakat Asia Tenggara yang tercermin dalam detail visual film yang sangat teliti yaitu arsitektur, lanskap, makanan, persenjataan, kostum, dan warna. Bagi orang non Asia, setidaknya, hal itu tampaknya dilakukan dengan rajin dan penuh hormat di dalam penggambaran kebudayaan Asia melalui film oleh Walt Disney Pictures yang selama ini film produksi mereka dominan mengangkat tema budaya Hispanik (Amerika Tengah-Selatan dan Spanyol), Eropa, Indian Amerika, dan Amerika. Baru pada bulan Desember 2016, Walt Disney Pictures mengangkat tema budaya Oseania/Pasifik melalui Moana (2016).

Film ini menampilkan pengisi suara yang penuh dengan selebriti Asia-Amerika seperti Awkwafina (Nora Lum), Sandra Oh, dan Gemma Chan. Ada yang perlu dikritisi dari film ini bahwa sebagian besar peran pembicara utama diberikan kepada pemeran yang berasal Asia Timur. Namun, yang luput dari perspektif orang non Eropa-Amerika terhadap film animasi Raya menunjukkan bahwa Kelly Marie Tran adalah salah satu dari sedikit aktor Asia Tenggara yang memerankan Raya dalam film animasi buatan Walt Disney Pictures (WDP). Dari masalah tersebut, jelas kebudayaan Asia tidak bisa digambarkan secara satu frame pada film ini, karena memang Asia itu beraneka ragam mulai dari Arabia, Turki-Levant, Indian, Mongolian, Persian, Sino-Tibetan, Melayu-Austronesian, hingga Papua-Austromelanesian.

Namun, orang luar Asia melihat Asia itu Asia Timur, Asia Barat, dan Asia Selatan dari segi geografi, ekonomi, politik, budaya, film, dan agama. Jadi, Asia Tenggara sangat kurang menonjol dalam membentuk perspektif orang luar Asia terhadap identitas ke-Asia-an Segi geografi, Asia Timur meliputi Mongolia, Korea Utara, Korea Selatan, RRC, dan Jepang sedangkan Asia Selatan meliputi India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, Afghanistan, Nepal, dan Bhutan. Untuk Asia Barat mencakup Turki, Yordania, Israel, Palestina, Lebanon, Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Uni Emirat Arab (UEA), Oman, Yaman, Qatar, Irak, dan Iran  Dari segi agama, Asia Barat diwakilkan oleh masyarakat yang mayoritas beragama Islam, Asia Selatan didominasi oleh penduduk beragama Hindu, dan Asia Timur didominasi penduduk yang mayoritas beragama Konfusianisme (Konghucu) dan Buddha.

Sementara itu, dari sisi ekonomi, sejak 1990an hingga 2017, Asia Timur menyumbangkan pertumbuhan pendapatan perkapita global dari 3,54% (1990)-4,051% (2017) meliputi Republik Rakyat Cina, Hongkong, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan (World Bank, 2018). Dari sisi politik, Asia Timur lebih menonjol di dalam membangun kerja sama multilateral melalui IIAB (Infrastructure International Asian Bank) (Cina) dan ADB (Asian Development Bank) (Jepang). Dari segi budaya, pengaruh Indianisasi, Islamisasi, dan Cinanisasi di dalam kuliner Asia sangat menonjol seperti kari, nasi kebuli, mie, bakso, dan lain-lain. Di sisi film, produksi film lebih banyak dilakukan oleh Bollywood dari India, Cina melalui Meteor Garden, Korea Selatan melalui Korea Drama (K-Drama), Jepang melalui Anime dan Hentainya. Aktor Asia Tenggara juga sangat kurang di Hollywood, sehingga ini juga menjadi kekurangan Raya and the Last Dragon di dalam menonjolkan kebudayaan Asia Tenggara. Satu surat terbuka untuk Disney dari universitas di California (dalam Rose, 2021) menolak Raya sebagai bukan representasi nyata kebudayaan Asia Tenggara.


"... as you join us today from Indonesia, we have a small favour to ask to provide high-impact reporting that can counter misinformation and offer an authoritative, trustworthy source of news for everyone. With no shareholders or billionaire owner, we set our own agenda and provide truth-seeking journalism that's free from commercial and political influence...

We aim to offer readers a comprehensive, international perspective on critical events shaping our world from the Black Lives Matter movement, to the new American administration, Brexit, and the world's slow emergence from a global pandemic. We are committed to upholding our reputation for urgent, powerful reporting on the climate emergency, and made the decision to reject advertising from fossil fuel companies, divest from the oil and gas industries, and set a course to achieve net zero emissions by 2030 (Rose, 2021)".

Diego Luna, Oscar campaign manager (dalam Silva, 2021) mengomentari tentang film ini: "setiap negara di bawah Asia Tenggara sangat unik. Anda tidak bisa menghampiri kami dan mengatakan bahwa orang dari Thailand sama dengan orang dari Indonesia. Kami berbicara dalam bahasa yang berbeda dan memiliki kebiasaan yang berbeda". Berdasarkan perspektif antropologi, usaha Walt Disney Pictures melalui Raya and the Last Dragon sebagai budaya Asia Tenggara dinamakan monolithic Asian identity. Monolithic Asian identity adalah persepsi bahwa semua warga Asia sama saja dari budaya mana pun mereka berasal. Sementara Juliana Wijaya, ahli bahasa dari Center for Southeast Asian Studies University of California Los Angeles (UCLA) (dalam Dwiastono, Iman, & Wicaksana, 2021) mengatakan sebagian representasi talenta terwujud melalui kedua penulis scenario Raya and the Last Dragon, Qui Nguyen dan Adele Lim, yang sama-sama keturunan Asia Tenggara. Qui Nguyen dengan darah Vietnam, dan Adele Lim yang lahir dan besar di Malaysia.

Distorsi dan Wacana Kebudayaan pada Film Raya and the Last Dragon

Raya and the Last Dragon, merupakan persembahan terbaru Disney kepada penonton setianya untuk menghibur selama masa pandemi COVID-19. Film ini mengisahkan seorang gadis bernama Raya (Kelly Marie Tran) dari negeri Heart dalam upayanya untuk mengumpulkan permata naga yang retak akibat perebutan Talon, Sphine, Tail, dan Fang untuk menyelamatkan orang-orangnya dari Droon, si wabah yang benar-benar membuat penduduk negeri menjadi batu. Di tengah perjalanan, dia bertemu dengan Sisu (Awkwafina/Nora Lum), naga terakhir yang masih hidup melalui peribadatan dan penghormatan kepada arwah leluhur naga Kumandra di daerah Tail, yang menemaninya dalam perjalanannya.

Dengan makhluk seperti serangga pil raksasa bernama Tuktuk (Alan Tudyk), sebuah nama yang diambil dari transportasi di Thailand. Sebuah anggukan kepada becak otomatis eponim yang umum di Asia Tenggara, dan sahabat karib yang berbinar-binar  termasuk seorang penipu bayi bernama Little Noi (Thalia Mare Tran) dari wilayah Talon. Film ini beramai-ramai memanjakan mata mengenai kebudayaan dan sosial masyarakat Asia Tenggara melalui penamaan tokoh fiksi di film tersebut. Meskipun plotnya bergetar ke arah yang bisa diprediksi, pada akhirnya Raya and Last Dragon adalah kesenangan yang kaya akan budaya Asia Tenggara layak ditonton selama pandemi COVID-19.

Namun, film tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dan distorsi seputar relevansinya mengangkat kebudayaan Asia Tenggara. Meskipun mungkin tidak sepenuhnya adil untuk membuat film yang menyenangkan untuk anak-anak dengan beban politik dan identitas Asia Tenggara, kekurangan film Asia-Amerika memaksa masalah ini untuk diulas di dalam wacana dan distorsi budaya film dan media.

Pertimbangan mengapa film ini menjadi wacana dan distorsi yang perlu diperdebatkan, misalnya, cara Raya and Last Dragon menawarkan pengisi suara mayoritas Asia-Amerika tetapi gagal untuk mencatat bahwa pemeran tersebut sebagian besar terdiri dari aktor-aktor Asia Timur-Amerika, meskipun ceritanya terinspirasi dari Asia Tenggara. Meskipun akting suara adalah industri dimana ras berpotensi untuk dikaburkan, Raya and the Last Dragon adalah film yang memasarkan dirinya sebagai kemenangan representasional budaya Asia khususnya Asia Tenggara di dalam film dan media Barat. Tampaknya film ini berkata kepada pemirsanya, "Lihat! Ada orang Asia di layar dan di belakangnya, yang membuat penggabungan berbagai pengalaman Asia-Amerika melalui pembuatan film oleh Walt Disney (Fuster, 2020)".

Yang membuat film ini sebatas wacana yang mengangkat budaya Asia Tenggara secara nyata adalah tanah fiksi Kumandra, tempat film itu berlangsung. Seharusnya merupakan campuran dari negara-negara Asia Tenggara yang tak terhitung jumlahnya (Thailand, Laos, Kamboja, Indonesia, Myanmar, Malaysia, Singapura, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Filipina), orang tidak bisa tidak bertanya-tanya mengapa semua negara ini harus dilemparkan ke dalam fiksi "Kumandra"?. Selanjutnya yang menjadi distorsi adalah apakah tidak mungkin untuk membayangkan seluruh cerita berlatar di Thailand atau Filipina saja?. Pendekatan umum untuk seluruh wilayah geografis berisiko meratakan budaya yang berbeda di Asia Tenggara, oleh sebab itu sangat bahaya memetakan terlalu rapih ke dalam tuduhan rasis yang dilontarkan secara umum tentang monolit kebudayaan, bahwa "semua orang Asia adalah sama".

Sebenarnya, pengalaman Asia-Amerika sangat bervariasi. Distorsi terbentuk pada film ini ketika orang Asia-Amerika terus menjadi populasi imigran yang tumbuh paling cepat di Amerika Serikat (AS) tetapi tidak memiliki mayoritas negara asal yang berusaha menyeragamkan Asia Tenggara menjadi khayalan fiksi terasa terlalu blak-blakan melalui film dan media. Masalah representasi yang bernuansa "budaya Asia" ini cocok sekali dengan masalah kelangkaan Disney untuk menampilkan budaya non kulit putih. Disney telah lama memberikan peran satu ukuran untuk semua untuk karakter bukan kulit putih, misalnya Mulan. Mulan memang merupakan film animasi yang dibuat Disney tahun 1998 dan sukses menggambarkan budaya dan sosial masyarakat Asia Timur sebagai representatif budaya non kulit putih.

Distorsi berikutnya adalah menyaksikan Raya bergulat dengan saingannya Namaaria yang diperankan oleh Gemma Chan dalam adegan perkelahian yang mengalir yang menunjukkan keindahan film secara keseluruhan. Apakah layak ditonton oleh anak-anak usia dini dan sekolah dasar?. Di samping itu, penulis naskah berupaya menampilkan narasi di saat orang Asia dan Asia-Amerika semakin menjadi sasaran rasisme dan lainnya akibat pandemi COVID-19, apa gunanya membuat cerita berlatar dunia fantasi Asia yang terbatas, terutama untuk anak-anak Asia-Amerika yang tinggal di negara kehidupan nyata yang heterogen. yang menggunakan heterogenitas itu sebagai hierarki kebudayaan di dalam film dan media?.

Agak sickening ketika film ini menggambarkan negeri-negeri yang terpecah di Kumandra tidak mewakilkan budaya dan ekologi Asia Tenggara seperti negeri Tail digambarkan tandus mirip gurun pasir, dan negeri Sphine mirip perkampungan Viking Eropa, lengkap dengan lanskap bersalju. Tetapi negeri Talon, Fang, dan Heart berdasarkan analisis penulis malah mewakili Kamboja, Myanmar, dan Thailand. Namun, menurut Zornia Harisantoso (2021), negeri Fang, bagian negeri dari Kumandra yang terkenal maju di bidang ekonomi, sosial, dan militer yang dipimpin oleh ratu yang diperankan Sandra Oh, memiliki bangunan beratap ala rumah gadang. Sementara itu, Boun yang diperankan oleh Izaac Wang mewakili budaya Lao-nya dengan mengenakan pah bieng, aksesori upacara tradisional Laos.

Lantas dimana perwakilan Indonesia di dalam wacana budaya Asia Tenggara pada film Raya and the Last Dragon? Apakah dari nama "Raya" atau dari kuliner?. Di telusuri oleh Naufal Al Rahman (2021), Walt Disney sengaja menggambarkan budaya Asia Tenggara melalui makanan dan kuliner seperti tom yam (Thailand), sayur rebung (Indonesia dan Malaysia), dendeng nangka (Indonesia, Malaysia, dan Brunei), Shrimp congee (Singapura), Bun bo hue (mie sapi pedas) (Vietnam), sate bumbu kacang (Indonesia, Singapura, dan Malaysia), buah naga (Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Vietnam), dan Kelengkeng (Malaysia dan Indonesia) (lihat gambar 1).

Gambar 1. Ketika Raya, Tong, Little Noi, Boun, dan Tuktuk menyantap makanan khas Asia Tenggara. (Sumber: https://www.idntimes.com)
Gambar 1. Ketika Raya, Tong, Little Noi, Boun, dan Tuktuk menyantap makanan khas Asia Tenggara. (Sumber: https://www.idntimes.com)

Meskipun memang film Raya and the Last Dragon memiliki kekurangan dan polemik di dalam penggambaran kebudayaan Asia Tenggara, tetapi film ini menurut Maria Rosari Dwi Putri (2021) menampilkan nilai dan norma dari kebudayaan Asia Tenggara yaitu nilai gotong royong, kebersamaan, saling percaya, dan kepercayaan. Tetapi nilai dan norma yang ditampilkan di film tersebut ketika Raya bertemu Boun, Little Noi, dan kawan barunya dalam perjalanan ke negeri Fang menyatukan permata naga berwarna biru tidak bisa digeneralisir sebagai unit kebudayaan Asia. Meskipun nilai dan norma dari kebudayaan Asia Tenggara tidak dapat digeneralisir, selama petualangan mencari permata naga, Raya bertemu dengan orang-orang asing dari sepenjuru Kumandra yang justru membantunya. Mereka adalah Boun (Izaac Wang), Tong (Benedict Wong), dan Little Noi (Thalia Tran) (Ginandjar, 2021). Pada film tersebut, terdapat wacana budaya Asia Tenggara bagi pendidikan karakter learners Indonesia ketika Raya harus memilih, apakah teguh pada pendiriannya untuk tetap bekerja sendiri atau mengalahkan egonya dengan belajar percaya lagi pada orang asing.

Tidak lupa pula film ini mengajarkan adat istiadat ketimuran seperti melepas sepatu mereka sebelum memasuki rumah seseorang atau tempat suci mana pun. Begitu juga ketika Raya memasuki negeri Talon, bertemu Little Noi menggambarkan nilai-nilai keluarga ketika Raya, Boun, dan Tong bernasib sama seperti yang dialami oleh keluarga Little Noi yang menjadi batu akibat Droon, dan komunitas geng Ongisnya yang menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Asia Tenggara yang komunal, tradisional, dan separuh modern. Adele Lim, yang besar di Malaysia (dalam Koeppel, 2021; Silva, 2021; Coomes, 2021) karakter Raya dan Namaaria dengan ketangguhan perempuan Asia Tenggara memunculkan karakter yang seharusnya ditonjolkan oleh perempuan Asia Tenggara yaitu kepemimpinan dan keberanian, cinta keluarga, serta tanggung jawab untuk orang lain.

Relevansi Budaya Asia Tenggara dalam Film Raya and the Last Dragon

Liputan6.com (2021) melansir bahwa di film Raya and the Last Dragon memamerkan seni bela diri dari Asia Tenggara seperti Pencak Silat (Indonesia dan Malaysia), Arnis (Filipina), Muay Thai (Thailand), dan Dau Vat (Vietnam). Selain itu, film ini menampilkan visual yang mengagumkan sekaligus membumi khas Asia Tenggara seperti kain bercorak, makanan penuh warna, candi kaya relief, dan pemandangan alam khas negara tropis.Walt Disney berusaha mendeskripsikan budaya Asia Tenggara pada Raya and the Last Dragon terutama feminisme pada tokoh Raya dan Namaaria. Penggambaran kedua karakter perempuan juga patut diapresiasi karena dua sosok yang menggerakkan cerita yang sama-sama tangguh, mandiri, dan kuat. Menurut Lindsey Bahr, pengamat feminisme dari Associated Press (dalam Jeremy Fuster, 2020), menyebut Raya and the Last Dragon sebagai salah satu film bernuansa feminis terbaik setelah Mulan, Cinderella, Rapunzel, Pocahontas, dan lain-lain. Mengapa terbaik? karena menggambarkan kedua perempuan yang berbeda karakter, di satu sisi berkarakter feminin dan tangguh (Raya) dan di sisi lainnya berkarakter tomboy, pantang menyerah, dan kuat (Namaaria) (lihat gambar 2).

Gambar 2. Raya (Kiri) dan Namaaria (Kanan). Sumber: https://www.idntimes.com
Gambar 2. Raya (Kiri) dan Namaaria (Kanan). Sumber: https://www.idntimes.com

Relevansi dari Raya and the Last Dragon yaitu pertama, Raya memiliki karakter yang luar biasa dalam lanskap etnis Asia Tenggara karena berkulit kuning langsat/sawo matang yang berusaha mengaburkan film Asia yang menampilkan putri Asia untuk anak-anak Asia. Kedua, menggambarkan rangkaian pengalaman orang Asia-Amerika di dalam mengimajinasikomunitaskan identitas Asianya sebagai, keragaman karakter dan cerita tentang individu non kulit putih untuk merasakan kebebasan dalam identitas ke-Asia-annya dan pendobrak budaya Amerika-Eropa yang maskulin. Ketiga, penulis naskah dan pembuat lanskap ekologi dan antropologi Asia Tenggara pada film ini berupaya memposisikan tentang pahlawan wanita pemberani dan penyayang yang mempelajari pelajaran berharga tentang kepercayaan dan kasih sayang di sepanjang jalan terutama ketika Raya bertemu Boun, Little Noi, Tong, dan musuh bebuyutan negeri Heart, Namaaria.

Keempat, representasi dari identitas ke-Asia-an dalam momen sejarah meningkatnya sentimen dan kekerasan anti-Asia tahun 2020-2021 yang menunjukkan kepada kita cerita apa yang diberi kekuatan di dunia mengenai bayangan masa depan yang luas dan/atau dapat menggarisbawahi keberadaan yang sempit tentang globalisasi dan masyarakat transnasional (Coomes, 2021). Kelima, keniatan Walt Disney untuk menarasikan budaya Asia Tenggara lewat filmnya dengan membentuk story trust dari pakar budaya Asia Tenggara, termasuk koreografer, musisi, ahli bahasa, arsitek, pakar budaya, seniman bela diri, dan antropolog.

Keenam, inspirasi Asia Tenggara tertuang melalui negeri-negeri di Kumandra yang disintesis menjadi sesuatu yang fiksi dan makanan sebagai jalanan terbaik di dunia, sebagai elemen yang berbeda, bersatu, dan menciptakan sesuatu yang transenden kebudayaan. Ketujuh, aspek keaslian budaya film yang mungkin tidak terlihat oleh penonton Barat adalah karakter Sisu yang dijelaskan Koeppel (2021) bahwa Sisu merupakan naga yang dikenal sebagai dewa air yang membawa keberuntungan yang besar yang di dalam kehidupan nyata masyarakat Asia Tenggara, naga identik sebagai dewa air berbanding terbalik dengan kepercayaan masyarakat Asia Timur mengenai naga yang menyemburkan api atau masyarakat Eropa yang mengenal naga sebagai tokoh antagonis pelengkap fighting bagi kesatria Eropa.

Pelajaran yang dapat diambil dari film ini adalah yang terbaik dalam diri orang-orang yang menurut Anda telah mengecewakan Anda dan mengkhianati Anda yakni dengan bersatu, memaafkan, mengiklaskan luka yang pernah terjadi di masa lampau, dan benar-benar melewatinya melalui lembaran baru, "That dreams eventually became real, if you stand still without ever starting to walk".

Penulis: Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani, Ar Rizal Fikri Firdaus, dan Yolanda Willy Pratama

Daftar Rujukan

Al Rahman, Naufal. 2021. 9 Makanan Asia Tenggara di Raya and the Last Dragon. IDN Times.com., diakses tanggal 27 Mei 2021.

Coomes, Nina Li. 2021. Raya and the Last Dragon's representation dilemma. diakses tanggal 17 April 2020.

Dwiastono, Rivan, Dhania Iman, & Rendy Wicaksana. 2021. Raya and the Last Dragon: Representasi Asia Tenggara yang Setengah-setengah?. VOA Indonesia, 23 Maret 2021. diakses tanggal 17 April 2020.

Fuster, Jeremy. 2020. Disney Moves 'Soul,' 'Raya and the Last Dragon' Release Dates". The Wrap, 13 April 2020. diakses tanggal 11 April 2020.

Ginandjar, Dhimas. 2021. Raya and the Last Dragon yang Kental Budaya Asia Tenggara: Pencarian Naga Terakhir dan Rasa Percaya. Jawapos.com. diakses tanggal 27 Mei 2021.

Harisantoso, Zornia. 2021. Mencari Jejak Indonesia dalam Raya and the Last Dragon. diakses tanggal 27 Mei 2021.

Koeppel, Kari. 2021. Southeast Asian Cultural Representation in Disney's Raya and the Last Dragon

Liputan6.com. 2021. 4 Seni Bela Diri Asia Tenggara dalam Film Disney's Raya and the Last Dragon. diakses tanggal 27 Mei 2020.

Putri, Maria Rosari Dwi. 2021. Ragam Budaya Asia Tenggara Jadi Inspirasi Raya and the Last Dragon. Antara News.com. diakses tanggal 27 Mei 2020.

Radulovic, Petrana. 2019. Disney announces Raya and the Last Dragon as next animated film. Polygon, 24 August 2019. diakses tanggal 13 April, 2020.

Rose, Steve. 2021. Raya and the Last Dragon: why it's time to retire 'Asian' as a film category. The Guardian, 8 March 2021. diakses tanggal 15 April 2020.

Silva, Cynthia. 2021. Disney's 'Raya and the Last Dragon' sparks mixed reactions on Asian representation. diakses tanggal 17 April 2020.

World Bank. 2018. GDP per capita growth (annual %) - East Asia & Pacific. diakses tanggal 27 Mei 2021.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun