Mohon tunggu...
Zofrano Sultani
Zofrano Sultani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Historian, Researcher, Research Consultant, and Social Observer

Follow my Instagram: zofranovanova94. The researcher has an interest in the fields of East Asian History, South Asian History, the History of International Relations. and International Political Economy. He is an alumnus Bachelor of Arts in History degree currently pursuing a postgraduate in the field of socio-politics with a hobby of reading books, watching movies, listening to music, and foodies. Education level has taken: Private Kindergarten of Yasporbi II Jakarta (1998-1999), Private Elementary School of Yasporbi III Jakarta (2000-2006), Public Junior High School 41 Jakarta (2006-2009), Private Senior High School of Suluh Jakarta (2009-2012), and Department of History, Faculty of Social Sciences, State University of Malang (2012-2019). He has the full name Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Vanda Miss Joaquim: Drag Queen dari Singapura dan Representasi Budaya Pop di dalam Gender di Asia

6 April 2021   07:05 Diperbarui: 10 April 2021   18:42 975
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Vanda Miss Joaquim sebagai Drag Queen Peserta Drag Race Thailand Season 2

RuPaul menggelar acara kompetisi RuPaul's Drag Race (RPDR) yang meliputi negara Amerika Serikat, Belanda, Chili, New Zealand dan Australia, Spanyol, Inggris Raya, dan Thailand. Acara kompetisi tersebut diikuti oleh dan bagi transgender, perempuan, interseksual, homoseksual, dan lesbian. Salah satu acara kompetisi RPDR di luar non Eropa-Amerika yaitu Drag Race Thailand sangat menarik perhatian kajian Gender dan Tata Busana. Mengapa menarik perhatian? karena Drag Race Thailand (DRT) merupakan wadah artform bukan tentang seks atau gender, tetapi tentang penampilan dan membuat orang lain bahagia. Drag queen dan "ladyboy"adalah hal yang sama bagian dari 18 gender yang diakui oleh masyarakat Thailand, bahwa Thailand benar-benar menerima gadis transeksual.

Pertunjukan di Thailand, yang mengikuti format yang sama, menghadirkan kontestan berusia 18 hingga 37 tahun yang bersaing memperebutkan hadiah uang tunai 500.000 baht (US$ 16.000). "Drag Race Thailand" memulai debutnya bulan lalu dan Pan Pan aka Pangina Heals (dalam DeccanChronicles.com, 2018) memuji pertunjukan tersebut karena membantu adegan drag Thailand berkembang yang dipromosikan media dan telekomunikasi. Penggunaan kata "Drag" terdokumentasi paling awal dari pertengahan abad ke-19 dalam konteks yang lebih modern berasal dari Reynold Newspaper pada tanggal 29 Mei 1870, menurut Oxford English Dictionary (OED) (dalam Im, 2018) bahwa di dalam koran tersebut memuat "kami akan menyeret" adalah penggunaannya, tetapi tidak ada spesifik lain yang diberikan mengenai hal itu berkaitan tentang gender.

Itu berarti mungkin bahasa gaul yang berasal dari pertengahan abad ke-19 pasca Revolusi Industri pertama di Eropa. Menurut Jimmy Im (2018), penggunaan drag paling awal dengan koneksi apa pun ke komunitas gay ditemukan merujuk pada artikel dari Sunday Express tertanggal 13 Februari 1927 di dalam Oxford English Dictionary. Budaya drag menjadi terkait erat dengan komunitas gay mulai tahun 1930-an. Menurut Joe E. Jeffreys (dalam Im, 2018) menjelaskan waria pertama yang benar muncul dari bar gay, seperti Jose Sarria di San Francisco Black Cat pada 1950-an. Sejak itu, drag telah menjadi kekuatan budaya di TV dan film dalam mempromosikan artform dan budaya pop di dalam gender. Sehingga Drag adalah pesta gaduh yang dihadiri oleh "pria tidak normal" yang berpakaian dalam pakaian feminin yang minim, menyanyikan lagu-lagu jazz dengan suara falsetto tinggi dan sinkronisasi bibir. Film ikonik budaya khususnya telah menangkap esensi drag selama beberapa dekade, termasuk "Pink Flamingos" (1972); "The Rocky Horror Picture Show" (1975); "Paris is Burning" (1990); "The Adventures of Priscilla, Queen of the Desert" (1994); "The Birdcage" (1996); "My Life in Pink" (1997); "Hedwig and the Angry Inch" (2001), dan "Kinky Boots" (2005) (Im, 2018).

Sebelum Drag Race Thailand ada, di Thailand sendiri telah mengadakan acara yang sejenis terutama dengan mempopulerkan acara kontes Miss Tiffany bagi waria atau ladyboy. Samuel Leighton-Dore (2019) menyebutkan bahwa DRT menjadi ruang publik yang terrepresentatif untuk membuka pintu bagi bio queens dan drag king (cewek tomboy) di seluruh dunia untuk lebih diterima dan dicintai. Salah satu ikon waria Thailand yang terkenal adalah Pangina Heals. Pangina Heals merupakan pemenang kompetisi drag TV pertama di Thailand T-Battle sebelum adanya dan berlangsungnya Drag Race Thailand (DRT) Season 1 dan 2. Heals menjadi host/pembawa acara DRT Musim 1 dan Musim 2. Kehadiran DRT di Thailand ini bukan untuk melindungi hak-hak transgender atau LGBTI melainkan ingin mendorong kesetaraan di setiap bidang, terutama kesetaraan ekonomi warga negara tanpa memandang gender. Keterlibatan transgender di dalam pembangunan Thailand yang menuangkan minat dan bakatnya pada acara kompetisi Drag Race Thailand menjembatasi hak, kewajiban dan aspirasi dari minoritas seksual dalam upaya dekriminalisasi pekerja seks. Dengan mengakuinya sebagai profesi yang berhak atas hak dan kesejahteraan, pekerja drag queen bisa terlindungi dari pelecehan dan penganiayaan secara fisik, mental, dan seksual.

Selain itu, menjadi lembaga dan organisasi sosial budaya di Thailand untuk mendorong lebih banyak dukungan untuk seni dan budaya di negara ini. Menurut Tanwarin Sukkhapisit (dalam Mahavongtrakul, 2019) merasa bahwa Thailand tidak memiliki budaya menonton film yang kuat dan ingin mendorong orang untuk menonton semua jenis film dan merangkul keragaman dalam hiburan sehingga bisa menjadi lebih dari sekedar kesenangan sesaat yaitu sebagai bentuk bisnis. DRT yang disiarkan oleh Line TV terbagi ke dalam 2 musim, yaitu Musim 1 tahun 2018 dan Musim 2 tahun 2019. Pada Musim 2 DRT yang menarik adalah keikutsertaan orang Singapura beretnis Melayu dan Muslim yaitu Vanda Miss Joaquim yang di dalam entrance and promo look menggunakan identitas Melayu Singapura.

Namun, orang bertanya-tanya akan jadi apa dia di era saat ini (Revolusi Industri 4.0), dimana waria tidak lagi hanya meniru bintang layar kecil tetapi mereka adalah bintang layar kecil sebagai entertainment show di media dan telekomunikasi. Dan itu semua berkat satu fenomena budaya pop pada representasi Asia di dalam gender. Tulisan ini bukan membela kelompok minoritas seksual tetapi memberikan gambaran bahwa mereka [drag queen] menuangkan bakat dan minat melalui acara kompetisi seperti Drag Race Thailand yang betul-betul mewakili budaya pop gender Asia yang menggambarkan bahwa Asia adalah budaya feminin diskursus dari budaya Eropa-Amerika yang maskulin.

Vanda Miss Joaquim: Drag Queen dari Singapura

Vanda Miss Joaquim adalah nama panggung Azizul Mahathir, kontestan dari musim kedua Drag Race Thailand asal Singapura berhasil menempati posisi ke 5. Nama panggung sebenarnya adalah Papilionanthe "Miss Joaquim", umumnya dikenal sebagai Vanda Miss Joaquim. Dia menggunakan nama "Vanda" yang berasal dari anggrek vandaceous hibrida yang merupakan bunga nasional Singapura. Vanda adalah ibu dari Haus of Miss Joaquim, dengan enam anggota lainnya yaitu Miss Dahlia Rose, Anna Stacia, Eriana Conda, Tiara Sorrel, Farrah Shamrock dan Opal Ophelia yang menaungi sesama drag queen di bawah satu manajemen dan rumah produksi Vanda Miss Joaqui. Dia adalah ratu Muslim pertama yang bersaing dalam Drag Race Franchise, diikuti oleh Mercedes Iman Diamond, kontestan RuPaul's Drag Race (RPDR) Season 11 (2019) kelahiran Kenya. Vanda memiliki softskill bilingual, yaitu bisa berbicara bahasa Inggris dan Melayu dan dia adalah kontestan ketiga yang fasih berbahasa Inggris di Drag Race Thailand (DRT), bersama dengan Genie dan Mocha Diva dari Hongkong, Cina. Dia juga seniman drag Muslim pertama di dunia dari ASEAN yang berkompetisi secara internasional, yang tentunya membantu menempatkan scene drag di Singapura di peta budaya pop gender.

Vanda Miss Joaquim
Vanda Miss Joaquim

Lester Tan (2019) mendeskripsikan mengenai Vanda Miss Joaquim bahwa Vanda menganggap serius aksinya di bawah Haus of Miss Joaquim. Dia mencampur musik dan koreografinya sendiri untuk gerakan tariannya sendiri untuk penampilannya, dan sangat berhati-hati dalam mempersiapkan kostumnya tergantung pada tema dan tempat pertunjukannya. Latihan berlangsung tiga kali seminggu, setiap sesi berlangsung tiga jam. Vanda Miss Joaquim memberikan opininya mengenai drag:

"People are generally not into drag shows now somehow. They'd rather watch topless male and go-go dancers. He remembered a time when places like Boom Boom Room, Avalon, and Play were hot venues to perform at. [Here], in one month, I get two to three bookings. In Thailand, it's almost every day."

Menurut Vanda sendiri, drag diperlakukan dengan hina oleh sebagian komunitas LGBT karena flamboyan dan kefeminim-feminiman. Ini adalah sikap yang mungkin setara untuk beberapa segmen masyarakat arus utama heteroseksual, tetapi cukup mengejutkan datang dari komunitas LGBT. Pengalaman malam itu lebih dari sekadar membuka mata dirinya pada subkultur, bahwa dia melihat langsung bagaimana hal itu sebenarnya mencerminkan cermin bagi masyarakat dalam bertahan hidup pada permainan manusia.

Representasi Budaya Pop di dalam Gender di Asia

Kehadiran DRT di Thailand menurut Simon Doonan (2019) merupakan ledakan energi baru sebagian untuk 'efek RuPaul', tetapi juga faktor-faktor lain seperti representatif budaya pop di dalam gender di Asia dan kebangkitan media sosial yang mewadahi kelompok minoritas seksual. Drag sangat cocok untuk bentuk artform karena visual dan sangat berbasis humor dan nakal yang begitu dramaturgi.

Selain itu, di dalam budaya pop gender di Asia terutama Thailand ada revolusi gender yang luar biasa baru dan mengasyikkan, dimana para pemain trans dan non-biner mengguncang pola drag lama seorang pria cisgender (pria yang jenis kelaminnya cocok dengan jenis kelamin mereka saat lahir) mengenakan gaun. Waria di zaman Revolusi Industri 4.0 diremajakan dan dihidupkan kembali sehingga bentuk-bentuk baru datang, dan ada yang mengembangkan lini praktik kinerja yang sama sekali baru misalnya menampilkan skill menyanyi, burlesque, dancing, fashion, stand up comedy, comedy, desaigner, dan lain-lain.

Doonan (2019) pun melihat keberadaan drag khususnya drag queen menjadi role model budaya pop di dalam gender bagaimana pengaruhnya sama sekali positif, dengan jajaran ratu dan penampilannya memberikan "buku pegangan" untuk generasi baru penampil yang dapat melihat "genre” yang mungkin, dan terinspirasi olehnya. Para kontestan setiap episode dibangun untuk putaran runway mode klimaks, yang pasti memberikan penekanan pada daya tarik fisik konvensional dan gaya glossy yang mengarah kepada look queens. Dengan demikian, sebaliknya juga telah didorong oleh kebangkitan Instagram, dengan banyak seniman drag muda didorong pertama dan terutama untuk mengekspresikan diri mereka melalui gambar fotografi melalui pertunjukan langsung yang diupload di media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Facebook.

Sebab, apa yang diutarakan oleh Mark Edward (dalam Montgomery, 2019) itu menciptakan estetika drag lini produksi, dimana seorang pelaku drag tidak divalidasi karena mereka tidak terlihat membentuk seperti yang seharusnya, atau riasan mereka tidak memiliki estetika yang tepat atau mereka dianggap drag 'jadul' yang performing dari bar ke bar. Keikutsertaan Vanda Miss Joaquim pada Drag Race Thailand Season 2 yang menampilkan identitasnya sebagai orang Melayu Singapura adalah untuk mengekspresikan diri dan menemukan keyakinan yang tidak dimiliki dalam mengeksplorasi identitas gender dan budaya Asia terutama Asia Tenggara yang Melayu.

Al-Kadhi (2020) mengungkapkan jumlah bakat yang dibutuhkan dan apa yang harus dilalui dalam hidup kontestan untuk menjadi seorang ratu, tetapi hal itu juga membuat penonton arus utama memiliki ekspektasi yang sempit tentang apa yang harus dilakukan seorang waria, yang menyanyi secara melakukan sinkronisasi bibir dan melakukan peniruan selebritas adalah keduanya merupakan keterampilan yang diuji oleh ratu Drag Race. Selain paradigma drag yang dipromosikan Drag Race, telah lama ada perdebatan tentang siapa yang dapat mengambil bagian dalam parade mewahnya. Revolusi gender yang di dalamnya terdapat representasi budaya pop gender bukanlah sesuatu yang benar-benar diperhitungkan oleh pertunjukan, sebab sebagian besar kontestan tetap pria cisgender yang tampil sebagai karakter wanita, sebagaimana ditegaskan oleh fakta keharusannya yang terkenal tetap tidak berubah. Sudah pasti belum ada drag king, atau pemain dengan persona maskulin atau perempuan, di acara itu yang memenangi kompetisi.

Keberadaan Vanda Miss Joaquim dan DRT sebetulnya barisannya mayoritas non berkulit putih yang selama ini termarjinalisasi oleh marketing produk-produk yang menampilkan orang kulit putih yang maskulin, muscle, sixpack, dan menggairahkan. Hal itu selalu memahami drag sebagai sesuatu yang inheren mengganggu dan kontra-budaya. Sebagai seorang pemuda (Vanda), dia juga membenamkan dirinya dalam gerakan kemanusiaan dan idealisme semangat anarkisnya memengaruhi pekerjaan penampilannya untuk tetap menjadi seorang performa dan drag queen meskipun dihujat oleh arus utama yang heteroseksual dan heteronormatif. Jadi hanya dengan melakukannya, di masa lalu, waria termasuk LGBTI akan melanggar tabu, tetapi sekarang kelompok sosial ini memastikan tabu tersebut tidak dipulihkan.

Menurut Doonan (2019), hal itu karena [politik] mengenakan rok dan berjalan di jalan, sama seperti politik bagi wanita untuk mengenakan jas dan berpakaian seperti seorang pria sehingga ada kesetaraan gender yang revolusioner. Juga tidak dapat disangkal bahwa bagi beberapa pemirsa LGBTI, memiliki acara yang sangat berpusat pada LGBTI yang diberi platform budaya arus utama yang dibungkus artform telah menjadi hal yang monumental dalam membuat mereka merasa 'dilihat' dan masih terasa revolusioner. Dengan cara yang sama, Doonan (2019) percaya bahwa dampak sosial yang dimiliki Drag Race dalam mendidik penonton non-LGBTI tentang komunitas berbasis identitas seksual sangat dalam menyoroti, melalui kontestan dan cerita latar mereka, masalah dari citra tubuh hingga perjuangan untuk hak-hak sipil dan kekerasan homofobik yang masih menjadi steriotip arus utama heteroseksual dan heteronormatif. Dengan adanya Drag Race Thailand (DRT) ini menjangkau dan mengkhotbahkan ke khalayak luas dari orang-orang yang mau tidak mau menjadi lebih menerima.

Tetapi sementara dapat diperdebatkan bahwa visibilitas yang ditawarkannya kepada seniman LGBTI yang membungkus artform di dalam budaya pop melalui media dan telekomunikasi menjadi kontraproduktif. Menjadi kontraproduktif karena apakah pertunjukan itu sebenarnya "membuat orang-orang langsung melakukan tokenising dan kemudian datang ke pertunjukan drag dan ingin hanya menonton seseorang melakukan split dan lip syncs. Mereka yang menjadi drag queen tidak melihat gagasan drag menjadi arus utama sebagai kekhawatiran tentang hal itu yang dipermudah dalam prosesnya. Jika itu arus utama heteronormatif, tetapi masih memiliki pengaruh politik dan budaya, maka itu bagus, tetapi jika itu hanya menyeret ratu yang berdiri di atas kendaraan hias untuk dekorasi, maka perlu dikritisi bahwa hanya berpikir mengosongkan itu dari politik heteronormatifnya. DRT ingin seorang waria tampil di TV dan mengatakan sesuatu dan berdramatisasi/acting yang akan menaikkan rating perusahaan TV itu dan mengungkapkan tidak hanya tampil cantik dan luar biasa. Bahwa penampil waria harus selalu uptodate dan jika tidak, maka penonton tidak terlalu tertarik.

Mungkin Hugh Montgomery (2019) merekomendasikan harus mengguncang formula kompetisi agar tetap segar dan mungkin itulah sebabnya pada akhirnya, media dan telekomunikasi seperti Line TV yang menayangkan Drag Race melakukan lebih baik pada keragaman hanya akan menjadi naluri bisnis yang baik. Artinya, saat pemilihan ratu menjadi semakin akrab, acara tersebut mungkin menyadari bahwa memperluas kumpulan bakatnya adalah kunci kelangsungan hidup drag queen dan LGBTI di tengah arus utama heteroseksual dan heteronormatif.Ini sangat rumit karena ketika berbicara tentang drag, lapisan yang berbeda ini dan itu hanya lebih dari sekadar hiburan dan tidak mampu menjangkau politik suatu negara seperti Asia (Asia Tenggara) yang mengedepankan aspek religiusitas. Drag adalah semacam aktivisme yang menantang steriotip heteroseksual terhadap kelompok minoritas seksual seperti drag queen yang ngondek dan kefeminim-feminiman atau flamboyan.

Dan kenyataannya adalah dalam budaya tradisional Barat dan di banyak budaya lainnya seperti Asia, dalam masyarakat heteronormatif, orang-orang yang heteroseksual, mereka biasanya tidak selalu menantang status quo seperti halnya gay atau lesbian atau biseksual atau orang-orang yang bukan non gender mengikuti atau melakukan transgender. Menurut Shubham Bhatia (2019), keberadaan drag queen menantang status quo dan stereotip gender secara berbeda dari rata-rata orang heteroseksual. Titik lemah dan keunggulan drag queen sangat berbeda. Di satu sisi melihat drag sebagai alat menampilkan artform. Sementara di sisi lain, orang-orang di komunitas LGBTI dan seniman drag melihatnya sebagai alat untuk membongkar patriarki dan maskulinitas.

Munculnya DRT dan acara Drag Race di berbagai negara menghasilkan ekosistem ekonomi makro dengan terbentuk perusahaan manajemen, agen pemesanan, rilis musik, peluncuran produk, kampanye komersial, dan ikatan merek yang ke semuanya telah muncul sebagai aspek dari industri drag baru abad 21. Komunitas LGBTI selalu ada dan akan selalu ada di setiap negara dan budaya, tetapi di Asia seperti di Asia Tenggara, dimana diskriminasi, kekerasan, dan kebencian telah mewabah terhadap kaum gay, banyak yang memilih untuk tetap tidak terlihat untuk bertahan hidup dan menikah dengan perempuan yang tidak dicintainya. Acara kompetisi ini memberikan kesempatan untuk mengetahui lebih banyak tentang komunitas drag, untuk mendobrak pantangan. Menurut RuPaul Andre Charles (2010), drag adalah lelucon sarkastik tentang budaya populer, yang memungkinkan menertawakan diri kita sendiri, tetapi dengan cara yang melibatkan semua orang dibungkus dengan artform. Jika dipikir-pikir, kecanggungan pria berbusana wanita secara alami menawarkan banyak potensi komedi fisik di dalam DRT. Untuk apa nilainya, hanya sedikit orang yang dapat melakukan apa yang dilakukan seniman drag untuk hidup jujur, apalagi melakukannya malam demi malam. Dan ini bukanlah kiasan 'seniman yang berjuang', tetapi gaya hidup yang melampaui beberapa jam yang dihabiskan di atas panggung untuk "menghibur" penonton yang datang melihat performing para drag queen.

Apa pun nasib Drag Race Thailand, satu hal yang pasti sebuah bentuk seni yang selalu didasarkan pada gagasan fluiditas akan terus berkembang dan selalu ada bentuk baru yang muncul. Yang jelas sejak RuPaul's Drag Race (RPDR) yang mewadahi drag queen dan LGBTI, tetapi itu akan berubah menjadi komoditas fashion dan styles dan akan mulai mendapatkan pengakuan di seluruh dunia. Peppermint yang diwawancarai oleh Shubham Bathia (2019) menjelaskan bahwa dirinya tidak tahu apakah stakeholders Drag Race akan mengundang orang-orang internasional untuk datang untuk membuat versi Amerika, tetapi orang Eropa-Amerika telah melihat versi yang sangat sukses di Thailand (Drag Race Thailand) dalam mendobrak dominasi heteroseksual, patriarki, dan maskulinitas.

Al-Kadhi, Amrou. 2020. Life as a Unicorn: A Journey from Shame to Pride and Everything in Between. New York City, New York: HarperCollins Publishers.

Bhatia, Shubham. 2019. Drag is a sort of activism, it challenges stereotypes: New York City's famous drag queen and activist Peppermint is in India for a three-city tour. Newslaundry Media Private Limited, 30 March 2019., (https://www.newslaundry.com/2019/03/30/drag-is-a-sort-of-activism-it-challenges-stereotypes).

Charles, RuPaul Andre. 2010. Workin' It! RuPaul's Guide to Life, Liberty, and the Pursuit of Style. New York City, New York: HarperCollins Publishers.

DeccanChronicle.com. 2018. Drag Queens Hoping New TV Show Will Bring LGBT Acceptance in Thailand., (https://www.deccanchronicle.com/lifestyle/viral-and-trending/260318/drag-queens-hoping-new-tv-show-will-bring-lgbt-acceptance-in-thailand.html)

Doonan, Simon. 2019. Drag: The Complete Story (A Look at the History and Culture of Drag). London: Laurence King Publishing.

Im, Jimmy. 2018. How 'RuPaul's Drag Race' helped mainstream drag culture and spawned a brand bringing in millions., (https://www.cnbc.com/2018/09/28/rupauls-drag-race-inspired-multimillion-dollar-conference-dragcon.html).

Leighton-Dore, Samuel. 2019. 'Drag Race Thailand' features the first-ever cisgender female contestant. SBS News, 15 January 2019., (https://www.sbs.com.au/topics/pride/fast-lane/article/2019/01/15/drag-race-thailand-features-first-ever-cisgender-female-contestant).

Mahavongtrakul, Melalin. 2019. The politics of change: Ahead of the general election, Life talks to LGBTI candidates. Bangkok Post, 18 March 2019., (https://www.bangkokpost.com/life/social-and-lifestyle/1646492/the-politics-of-change).

Montgomery, Hugh. 2019. Is RuPaul's Drag Race good for drag?. BBC, 3 October 2019., (https://www.bbc.com/culture/article/20191002-is-rupauls-drag-race-a-good-thing-for-drag).

Tan, Lester. 2019. Entering Singapore's Drag Culture with Drag Queen Vanda Miss Joaquim. Augustman, 3 December 2019., (https://www.augustman.com/sg/culture/vanda-miss-joaquim-singapore-drag-culture/).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun