Mohon tunggu...
Zofrano Sultani
Zofrano Sultani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Historian, Researcher, Research Consultant, and Social Observer

Follow my Instagram: zofranovanova94. The researcher has an interest in the fields of East Asian History, South Asian History, the History of International Relations. and International Political Economy. He is an alumnus Bachelor of Arts in History degree currently pursuing a postgraduate in the field of socio-politics with a hobby of reading books, watching movies, listening to music, and foodies. Education level has taken: Private Kindergarten of Yasporbi II Jakarta (1998-1999), Private Elementary School of Yasporbi III Jakarta (2000-2006), Public Junior High School 41 Jakarta (2006-2009), Private Senior High School of Suluh Jakarta (2009-2012), and Department of History, Faculty of Social Sciences, State University of Malang (2012-2019). He has the full name Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Miss Continental 2014 dan Representatif Ruang Sosial bagi Kontestan Drag Queen

16 Februari 2021   08:40 Diperbarui: 16 Februari 2021   23:05 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Miss Continental adalah sistem kontes peniruan identitas wanita tahunan yang didirikan pada tahun 1980 oleh Jim Flint. Ini berlangsung di Baton Show Lounge di Chicago, Illinois, Amerika Serikat dan biasanya diadakan selama akhir pekan Hari Buruh Internasional. Pada tahun 1991, Miss Continental Pageantry System menciptakan Miss Continental Plus untuk pesaing ukuran plus dengan berat 225 pound atau lebih. Miss Continental Elite diciptakan pada tahun 2004 untuk penghibur dan penonton berusia empat puluh tahun ke atas. Miss Continental Plus dan Miss Continental Elite diadakan setiap tahun selama akhir pekan Paskah di Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Mr. Continental dibentuk pada tahun 2003 untuk penghibur dan penonton pria/laki-laki semacam L-Men dan pageant lainnya yang sejenis untuk mewadahi gender laki-laki.

Lihat video 1 berikut ini untuk mendapat gambaran tentang Miss Continental yang memberi ruang sosial bagi Drag Queen:


Kontes internasional dianggap sebagai yang paling bergengsi dan terkadang paling kejam dari jenisnya. The Queens membawa pemirsa/penonton ke dalam subkultur glamor dan ilusi yang kurang dikenal ini yang menarik ribuan pesaing di seluruh dunia. Disalahpahami atau ditolak oleh sebagian masyarakat arus utama, para kontestan berlomba-lomba memperebutkan mahkota, tetapi juga untuk penerimaan, validasi, dan rasa hormat kepada minoritas seksual seperti Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, and Intersexual (LGBTI). Ketika masyarakat bergumul dengan masalah penerimaan dan pemahaman transgender, The Queens membawa pemirsa keluar dari politik dan ke atas panggung dengan tampilan eksklusif di dalam kontes kecantikan pertama yang memungkinkan peniru wanita transgender untuk berpartisipasi. Lahir dari diskriminasi dari arus utama heteroseksual, kontes Miss Continental sekarang menjadi salah satu kontes utama dari jenisnya di Amerika Serikat seperti Miss Intercontinental, Miss Universe, Miss Grand International, Miss International, Miss World, Miss Supranational, Miss Earth, dan lain-lain, yang menarik para pesaing dari seluruh dunia untuk mengasah public speaking, knowledge, nerve, talent, and uniqueness.

Drag adalah singkatan dressed resembling as girl, dipakai sastrawan William Shakespeare untuk menggambarkan para pria yang memakai kostum wanita di panggung teater. Dulu pada zaman sebelum Revolusi Prancis 1789, saat hak-hak perempuan masih terbatas termasuk tampil di atas panggung, para pria diperkenankan memerankan karakter di atas panggung asalkan memakai kostum dan wig. Oleh karena itu, drag queen melekat sebagai profesi seniman pertunjukan di bidang teater, tari, drama, musik, fashion, dan komedi. Dengan adanya kontes kecantikan seperti Miss Continental dan ajang pencarian bakat televisi, RuPaul's Drag Race (RPDR) maka transgender memandang ajang tersebut merupakan pernyataan sosial dan sikap terhadap budaya dominasi patriarki dan perlawanan terhadap budaya maskulinitas yang tidak memberi mereka ruang untuk menunjukkan eksistensinya melalui bakat dan kompetisi (Kahn, Goddard, & Coy, 2013). Di dalam perjalanan sejarah sosial Eropa dan Amerika, Homoseksualitas lebih dulu dibenturkan dengan nilai-nilai heteronormatif sebagai nilai mayoritas karena dianggap tabu dan menyimpang dari arus utama dan di dominasi oleh nilai-nilai dan norma agama Kristen.

The Queens mengeksplorasi subkultur kehidupan transgender yang kompleks dan relatif tidak dikenal ini. Film dokumenter pada video 1 berusaha membantu pemirsa memahami mengapa para pesaing kontes kecantikan ini dari drag queen (waria) begitu bersemangat dan berdedikasi dalam pencarian mereka untuk mahkota, terlepas dari umur panjang dan prestise Miss Continental dalam dunia peniruan identitas wanita,setidaknya ajang tersebut mewadahi ruang sosial bagi drag queen. Tentu Miss Continental menjadi bagian yang tidak terpisahkan di dalam pageant lovers yang dibentuk oleh dunia industri media dan telekomunikasi pasca Perang Dunia II dalam menampung ruang sosial bagi LGBTI terutama drag queen.

Miss Continental sebagai Negasi dan Diskursus Wacana Gender di dalam Budaya Maskulinitas dan Patriarki

Kontes ini selain membawa dampak positif yang mengasah keterampilan dalam bentuk bakat dan minat, juga memiliki dampak negatif bagi kontestan. Ini menyelidiki mengapa dan bagaimana dan bahaya dari perubahan fisik yang dilakukan banyak pesaing pada tubuh luar mereka seperti suntikan silikon, implan payudara, diet ketat, rekonstruksi wajah, dan lain-lain untuk tampil beauty. Tubuh bagian dalam mereka (terapi hormon), dan keputusan mereka untuk tidak mengikuti melalui operasi konfirmasi gender sebagai bentuk negasi dirinya terhadap peraturan kontes/ajang kompetisi dengan budaya maskulinitas yang bisa mewakilkan kefeminiman mereka sebagai drag queen. Beberapa melakukannya untuk mematuhi aturan ketat Miss Continental dan beberapa peserta serta penonton itu mengatakan aturan kuno yang mendefinisikan apa yang dimaksud dengan peniru wanita  menentukan siapa yang berhak, dan tidak, untuk bersaing dan tampil dengan dibumbui drama. Kontes ini kesulitan yang dihadapi banyak peniru wanita transgender dalam menemukan hubungan romantis yang sejati dan langgeng sebagai penolakan yang dialami banyak orang dari keluarga, serta perubahan pendapat masyarakat tentang penerimaan individu transgender pada umumnya saat ini. Dengan ribuan penonton bersorak, ada air mata kebahagiaan bagi mereka yang berkembang di bawah lampu panggung Miss Continental memiliki cerita yang tersembunyi yaitu ketika pertunjukan berakhir, ada air mata patah hati dalam bayang-bayang, bagi mereka yang sulit menemukan kemenangan dan mempertahankan ke-famous-annya.

Bagi beberapa orang luar, dan orang-orang yang tidak tahu apa-apa, rutinitas yang diselaraskan dengan bibir dan gaya berlebihan di Miss Continental mungkin tampak sembrono, bahkan mungkin tidak ada gunanya. Tapi The Queens akan menunjukkan kepada Anda mengapa menciptakan ilusi ini dan mistik ini adalah cara hidup bagi para pemain ini, serta ribuan orang lain seperti mereka dan penggemar setia mereka di seluruh Amerika Serikat dan dunia. Tahun demi tahun, dekade demi dekade, pertunjukan itu harus terus berlanjut.

Awal 1900-an adalah masa kehadiran subkultur homoseksual yang terus berkembang di dalam kota-kota besar di AS seperti New York, Chicago, Los Angeles, dan San Francisco. Mencoba untuk menemukan "ruang aman" di mana orang-orang tersebut dapat berkumpul tanpa rasa takut akan diskriminasi dan penganiayaan, beberapa bar dan klub sosial, biasanya melayani anggota yang mengidentifikasi dirinya gay dan lesbian, diciptakan (Luksevica, 2019: 10). Dengan maraknya fenomena tersebut, selanjutnya muncul pula implementasi undang-undang dan tindakan yang semakin menyerang masyarakat melalui sweeping. Citra politik waria, bagaimanapun, mulai lebih menonjol selama kerusuhan Stonewall pada 1960-an. Roger Baker, Peter Burton, dan Richard Smith  (1994) mencatat bahwa pada tahun 1960-an terjadi "pengurangan kendala yang diberlakukan kepada homoseksualitas" akibat kerusuhan Stonewall 1960-an (hlm. 199). Kerusuhan tersebut merupakan persekusi kepada kelompok minoritas seksual, LGBTI terjadi peningkatan militansi di Amerika Serikat pada tahun 1969, yang berfokus pada kerusuhan di Stonewall Inn di New York City, New York yang memprotes pelecehan oleh NYPD (The New York Police Department) terhadap pria gay dan waria yang sering mengunjungi bar. 

Pelecehan tersebut sangat memalukan bagi pembentukkan masyarakat heterogenitas Amerika Serikat modern. Berawal dari sejarah tersebut maka, Padahal penggerebekan di tempat-tempat ini seperti klub dan bar tidak jarang, suatu malam di tahun 1969 mengubah rute komunitas LGBTI, sekarang, juga termasuk pemain drag melalui seni pertunjukkan dan hiburan untuk melepas stigma buruk mereka yang tidak baik oleh masyarakat seperti haus seks, suka clubbing dan dekat dengan narkoba, bibit penyakit kelamin, dan lain sebagainya. Meskipun ini benar, pria gay dilecehkan
karena penyamaran mereka selaku minoritas seksual karena pakaian silang mereka tampak bukan penyamaran daripada ekspresi mereka yang penyimpangan asli dari cara kerja masyarakat dan alam terhadap pembentukkan konsep dan ideologi feminisme dan maskulinisme.

Barrett (2017: 1) menjelaskan drag queen (waria) terbagi menjadi beberapa subkultur dalam pembentukan sistem sosial dan budaya Amerika Serikat modern. Subkultur waria, misalnya, mencakup sejumlah subkultur berbeda, seperti ratu glam (glam queen) (yang memproyeksikan citra kelas atas yang canggih), ratu sampah atau ratu badut (trash queen or clown queen) (yang melakukan rutinitas komik dan berpakaian keterlaluan, berlebihan kostum), dan ratu jalanan (street queen) (yang terutama bekerja di prostitusi dan berpakaian sesuai). Dalam kasus Miss Continental, kategorisasi Rusty Barrett termasuk ke dalam glam queen yang memproyeksikan kontes/ajang kecantikan dengan meniru seperti wanita pada kalangan kelas atas. Terdapatnya wadah bagi waria di dalam kontes Miss Continental memunculkan analisis bahwa kontes ini berusaha menantang asumsi heteronormatif kelas dan jenis kelamin sementara juga menantang norma laki-laki gay tentang daya tarik fisik dan keinginan seksual.

Subkultur ini sama sekali tidak mewakili spektrum penuh dari berbagai subkultur laki-laki gay, tetapi telah dipilih untuk memberikan seperangkat studi kasus yang representatif untuk memeriksa cara-cara di mana bahasa dan narasi ke-drag queen-an berfungsi untuk mendukung dan menantang berbagai pemahaman dominan tentang gender dan identitas laki-laki gay yang masih diselubungi oleh maskulinisasi. Oleh karena itu, di dalam perkembangan drag queen Amerika Serikat pasca Perang Dingin dan era globalisasi, kelompok sosial ini menciptakan bahasa slang khusus untuk komunikasi sesama drag queen yang kemudian berkembang dan diterima di masyarakat yang heteroseksual dan heteronormatif. Analisis Greaf (2016) adalah seorang individu baik untuk merujuk bentuk-bentuk feminitas untuk menyampaikan identitas gay atau untuk menghindari penggunaan penanda feminitas untuk menantang stereotip yang berlaku terutama dari arus utama maskulinitas yang berusaha memiliki jalan tengah di dalam mewadahi keidentitasan laki-laki kefeminiman/flamboyan.

Wacana sosial menawarkan serangkaian  referensi budaya yang menginformasikan ekspresi identitas individu karena keterkaitan yang erat antara wacana (interaksional) dan wacana kemasyarakatan, diskursus tentang drag queen seringkali mencoba untuk mengkaji cara-cara di mana individu menggunakan ruang sosial yang semakin tidak tersekat-sekat untuk mengkonstruksikan dirinya sebagai aktor sosial dalam konteks budaya tertentu. Greene (2020) pun melihat drag queen sebagai cara individu menegaskan identitas melalui performativity show dan ruang sosial di dalam memperebutkan feminitas menyoroti pertanyaan tentang bagaimana kiasan budaya mempengaruhi konstruksi sosial identitas dan cara bahasa digunakan untuk menyampaikan makna sosial.

Ciri-ciri seperti tangguh, penurut, pemarah, dan alami  yang secara stereotip diasosiasikan dengan kategori sosial gender juga spesifik konteks sehingga persona gender akan ditafsirkan sesuai dengan ekspektasi normatif mengenai sikap interaksional yang terkait dengan konteks tertentu. Ini termasuk ekspektasi mengenai sikap afektif dan epistemik yang diharapkan terkait dengan peran partisipan gender tertentu. Norma-norma ini biasanya digunakan sebagai dasar kesimpulan mengenai karakter pribadi bahwa ciri-ciri yang terkait dengan feminitas atau maskulinitas tidak seragam di berbagai kelompok sosial. 

Pada dasarnya, penampilan waria mengungkapkan ketegangan antara drag sebagai tindakan menumbangkan tradisi heteroseksual gender dan drag sebagai pertunjukan yang memperkuat biner gender. Melihat hambatan sebagai tindakan subversi mengasumsikan bahwa hambatan menjatuhkan standar gender dan seksualitas yang dikenakan pada tubuh performatif para kontestan Miss Continental. Namun, melihat drag sebagai kinerja yang memperkuat biner gender mengasumsikan bahwa aspek kinerja drag mungkin mencerminkan asumsi normatif yang terkait dengan gender. Rupp, Taylor, dan Shapiro (2010) mencoba memberi alternatif untuk memahami pelapisan ganda gender, seks, dan seksualitas yang terjadi secara seret pada waria. Kategorisasi dan pelabelan kepada waria dalam dominasi budaya maskulinitas berarti menanyakan apakah seorang pria gay banci yang melakukan feminitas yang tertarik pada pria maskulin normal atau lesbian maskulin yang menginginkan transmen melanggar kategori heteroseksualitas dan homoseksualitas dalam merajut interaksi sosial dan cinta. 

Negasi dan diskursus mengenai waria pada ruang sosial masyarakat Amerika Serikat di era globalisasi, Greene (2020) menggangap bahwa waria yang merambah ke kontes/ajang bakat dan kecantikan seperti Miss Continental maupun RuPaul Drag Race mengarah kepada identitas mereka yang terbuka tentang seksualitas karena waria menanggung stigma feminitas laki-laki gay. Cristy Dougherty (2017: 26) malah memberikan analisis yang berseberangan mengenai upaya waria dalam merebut ruang sosial melalui kontes kecantikan dan bakat bahwa waria merupakan feminitas laki-laki gay sebagai tindakan mengambil atribut feminin yang ditentukan secara sosial, sambil tetap mengidentifikasi sebagai laki-laki entah mereka menyukai sesama laki-laki atau menyukai wanita meskipun beratribut feminin dan berdandan seperti wanita. Waria sebagai drag performers menantang skrip sosial gender dan seksualitas yang heteroseksual dengan memaksa penonton untuk mempertanyakan dan benar-benar mengalami seksualitas mereka sendiri dengan cara yang sama seperti yang harus dilakukan oleh pria gay yang feminin.

Secara khusus, waria memiliki badan yang tidak seperti wanita secara biologis memiliki payudara atau tampil sebagai identitas yang diharapkan dari mereka mungkin mengalami ketegangan yang terkait dengan penampilan gender mereka sendiri dan ekspektasi orang lain atas kinerja gender mereka. Maka tidak heran kalau Kevind D. Nixon (2009) menyebutnya sebagai karakteristik normatif kewanitaan untuk menyenangkan penonton, yang pada akhirnya menganut biner gender. Seperti pada kasus Miss Continental, para drag queen secara tidak sadar menegasikan dirinya pada ruang sosial yang menganut biner gender terlepas sebagai performers ataupun identitas. Kahn, Goddard, dan Coy (2013) mengkritisi bahwa waria melakukan gender secara tidak memadai dan sebaliknya berharap untuk berasimilasi ke dalam struktur gender biner yang tidak memungkinkan untuk jenis kelamin dan variasi gender.

Brooke Lynn Hytes sebagai Representatif Drag Queen dalam Merebut Ruang Sosial di Ajang Kompetisi Bakat dan Kecantikan Miss Continental 2014


Sebelum memulai karir drag-nya, Brooke Lynn Hytes berada di Sekolah Balet Nasional Kanada (Canada's National Ballet School). Pada 2013, ia menjadi "Penghibur Kota Derby Tahun Ini (Derby City Entertainer of the Year)", pengganti pertama untuk "Penghibur Tahun Ini (Entertainer of the Year)" 2013, "Miss Michigan Continental" yang dinobatkan, dan pengganti pertama untuk "Miss Continental" pada tingkat nasional. Pada tahun 2015, dia menjadi "Miss Continental" dan "Miss Canada Ultimate", serta 6 gelar lainnya pada saat itu. Setelah itu, Brooke ditawari pekerjaan di PLAY Dance Bar di Nashville, Tennessee, Amerika Serikat sampai dia harus pergi untuk mulai syuting untuk musim ke-11 dari "RuPaul's Drag Race (RPDR)" dan di tahun 2020 dipercaya menjadi dewan juri di kontes Canada's Drag Race Season 1 (lihat gambar 1).

Gambar 1. Brooke Lynn Hytes menjadi Dewan Juri Canada's Drag Race Season 1 (2020).
Gambar 1. Brooke Lynn Hytes menjadi Dewan Juri Canada's Drag Race Season 1 (2020).

Brooke Lynn Hytes yang memiliki nama asli Brock Edward Hayhoe merupakan pria dengan identitas dan performa drag queen kelahiran 10 Maret 1986 memiliki slogan #QueenofNorth. Pertunjukan besar pertamanya sebagai seniman adalah dengan Cape Town City Ballet di Afrika Selatan, di mana dia menghabiskan dua tahun sebelum pindah ke New York City, New York, Amerika Serikat untuk bergabung dengan rombongan drag ballet yang semuanya pria, Les Ballets Trockadero de Monte Carlo. Akhirnya, Hayhoe secara permanen menukar sepatu pointe miliknya dengan platform. Di Les Ballets Trockadero de Monte Carlo, Brooke Lynn Hytes bersandar pada latar belakang baletnya untuk rutinitas kompetisinya yakni nomor bertema Arabian Nights dengan penari di pointe.

Langkah selanjutnya untuk Miss Hytes adalah mendapatkan visa kerja Amerika Serikat (AS) sehingga dia dapat melakukan tur dan tampil di seluruh AS untuk mempromosikan sirkuit kontes Miss Continental. Sebagai mantan penari balet profesional, sebagian besar gaya tarik Brooke berpusat pada tarian, gerakan, dan fakta bahwa dia adalah pemenang kontes bergengsi beberapa kali, salah satunya RPDR Musim 11 sebagai runner-up ke-2. Dia mempesona para dewan juri seperti RuPaul, Ross Mathews, dan Michelle Visage dengan polesan yang sama yang dia bawa ke lantai dansa, mengantongi 3 kemenangan tantangan utama sepanjang kompetisi RPDR Musim ke-11 sebagai perwakilan dari ratu Kanada yang mengikuti kontes bakat di Amerika Serikat (AS) (lihat gambar 2). Menurutnya, Miss Continental menjadi langkah awal karirnya dalam seni pertunjukan dan hiburan di Amerika Serikat, "Being Miss Continental to me means having a platform to motivate and inspire a whole group of entertainers who don't believe that Miss Continental is possible for them. I am here to say it is possible for anyone who puts in the hard work and dedication" (Salerno, 2014).

Gambar 2. Brooke Lynn Hytes dengan bakat Balletnya.
Gambar 2. Brooke Lynn Hytes dengan bakat Balletnya.

Pengalaman dan Karir Brooke Lynn Hytes:

  • Brooke Lynn Hytes is the first Canadian contestant in RuPaul's Drag Race.
  • Hytes won the Miss Continental pageant in 2014, one year after she was first runner-up to Season 8 contestant Naysha Lopez.
  • She and Yvie Oddly are the seventh pair to lip-sync (lips synchronization) against each other twice. The other pairs are BenDeLaCreme and Darienne Lake, Katya and Alaska, BenDeLaCreme and Shangela, Eureka and Aquaria, Eureka and Kameron Michaels, and Monique Heart and Trinity The Tuck.
  • She is the 2nd contestant to go on to win the 1st main challenge and be in the bottom for the second challenge (excluding "All Stars"), the first being Kim Chi on Season 8.
  • Her favorite past-contestant is Roxxxy Andrews.
  • She was paired with Ongina for Season 11's first mini-challenge, a photoshoot.
  • She and Sahara Davenport are the only two contestants to ever walk the runway and lipsync while en pointe.
  • She and Vanessa Vanjie Mateo are the first-ever contestants to have a romance or "showmance" as referred to by some during the show.
  • She is the first contestant to win the first maxi challenge, the ball challenge, and the makeover challenge in a single season.
  • Her favourite song to lip-sync to is 'Partition' by Beyonc.
  • She is the sixth queen to win both the first and last Maxi Challenges, after Sharon Needles (Season 4), Violet Chachki (Season 7), Kim Chi (Season 8), Monique Heart (All Stars 4), and Trinity The Tuck (All Stars 4).
  • She is tied with Jinkx Monsoon for the most cumulative weeks spent at the top, with 9 weeks.
  • She is the first and so far only queen to be eliminated fourteenth, due to Season 11 being the only season with 15 contestants.
  • She is the first queen to become a judge on the franchise, as she is a judge on Canada's Drag Race Season 1 (2020).
  • On September 29, 2019, she reached 1 million followers on Instagram.
  • She is the queen who beat the most contestants in a Maxi Challange, beating the other 14 queens on Episode 1.
  • On an Instagram live with Joey Jay (RPDR Season 13), Brooke revealed that she would eventually be open to doing All-Stars.

Miss Continental adalah salah satu gelar drag circuit yang paling didambakan dan salah satu acara paling populer di kehidupan malam Chicago yang aneh yang bersentuhan dengan diskotek, seks, hangover, dan drama kehidupan. Kontes itu adalah upaya kedua di mahkota Miss Continental untuk Miss Brooke Lynn Hytes, yang telah bekerja sebagai penampil drag selama sembilan tahun dalam meniti karirnya di bidang kesenian, media, dan komunikasi. Imbuhnya, Miss Continental merupakan:

"Kontes Miss Continental benar-benar membuat saya menjadi penghibur yang lebih baik dan lebih berkelas. Setelah berkompetisi tahun lalu untuk pertama kalinya, dan melakukannya dengan sangat baik, itu benar-benar menyalakan api di bawah saya dan membuat saya bertanya pada diri sendiri bagaimana saya bisa menjadi lebih baik"

Miss Continental membuat Brooke Lynn Hytes mampu mendialogkan antara negasi dan diskursus tentang wacana gender dalam budaya maskulinitas dan patriarki. Dia (dalam Salerno, 2014) berkata "Even if you try and you don't win, if you are smart and have the right attitude, you learn so much about this art form and it is such an opportunity to grow as an entertainer". Keikutsertaan Brooke Lynn Hytes di RPDR Musim 11 merupakan strategis pemasaran komunikasi dan media massa untuk menggaet penonton arus utama dengan cara merekrut waria paling populer dalam bisnis ini. Paula Ulrika Luksevica (2019: 13) mengungkapkan keikutsertaan waria paling populer seperti kasus Brooke Lynn Hytes adalah orang-orang paling relevan, yang menarik khalayak luas dengan mengejar karir mereka dalam kombinasi dengan gaya tarik, apakah itu industri musik, tata rias, aktivisme, komedi, atau mode (fashion). Mereka telah menembus pasar arus utama yang didominasi budaya maskulinitas seperti X Factor dan American Idol, masih mempertahankan cara berekspresi awal mereka sebagai minoritas seksual, dengan menekankan nilai-nilai komunitas LGBTI.

Tampilan gender dapat dipahami sebagai mencerminkan asumsi ideologis normatif tentang bagaimana gender disampaikan, sehingga penampilan gender merujuk pada penampilan gender lainnya, yang tidak ada yang dihasilkan dari sumber asli mana pun. Jadi tampilan gender bukanlah bawaan, tetapi individu dianggap sebagai "feminin" atau "maskulin" melalui pengulangan tanda atau perilaku yang secara normatif terkait dengan feminitas atau maskulinitas. Fenton Litwiller (2020) memberi analisisnya bahwa individu tidak secara statis diposisikan pada titik tertentu dalam perkembangan linier dari feminin ke maskulin, melainkan terus bergerak di antara titik-titik yang tidak akan bersebelahan pada kontinum gender yang dibayangkan. 

Kevin D. Nixon (2009) mengungkapkan bahwa jika penonton juga menanggapi dengan baik tindakan performatif hegemoni drag queen, mereka yang menampilkan gender non-normatif mungkin merasa dibatasi oleh skrip gender yang dikonstruksi secara sosial antara feminisme dan maskulinisme. Begitu seseorang mulai memeriksa berbagai macam tanda yang berpotensi gender yang muncul bersamaan dalam interaksi tertentu antarindividu yang beragam macam karakter, menjadi jelas bahwa kategorisasi gender secara menyeluruh hanya sebagai "feminin" atau "maskulin" tidak menangkap kompleksitas situasi dari keberagaman karakter individu termasuk menjelaskan drag queen, termasuk LGBTI pada posisi patologi atau social deviation dan/atau sebatas menengahi dan mendobrak budaya maskulinitas di masyarakat?.

Daftar Rujukan

Baker, Roger, Peter Burton, & Richard Smith. 1994. Drag: A History of Female Impersonation in the Performing Arts. New York: New York University Press.

Barrett, Rusty. 2017. From Drag Queens to Leathermen: Language, Gender, and Gay Male Subcultures. New York: Oxford University Press.  

Dougherty, Cristy. 2017. Drag Performance and Femininity: Redefining Drag Culture through Identity Performance of Transgender Women Drag Queens. Thesis M.A. unpublished. Mankato, Minnesota: Department of Communication, Minnesota State University.

Greaf, Caitlin. 2016. Drag queens and gender identity. Journal of Gender Studies, Volume 25 Issue 6 (2016), pp. 655-665.  

Greene, Laurie A. 2020. Drag Queens and Beauty Queens: Contesting Femininity in the World's Playground. New Jersey: Rutgers University Press.

Kahn, Jack S., Lynsey Goddard, & Jamie M. Coy. 2013. Gay men and drag: Dialogical resistance to hegemonic masculinity. Culture & Psychology, Volume 19 Issue 1 (2013), pp. 139-162., (https://doi.org/10.1177/1354067X12464984), diakses tanggal 14 Februari 2021.

Litwiller, Fenton. 2020. Normative drag culture and the making of precarity. Leisure Studies, Volume 39 Issue 4 (August 2020), pp. 600-612.

Luksevica, Paula Ulrika. 2019. How has drag culture evolved through popular culture and how is it propelled by the use of social media within the USA nowadays?. Thesis M.A. unpublished. Malmo: Department of Culture, Collaborative Media and Creative Industries Malmo University.

Nixon, Kevin D. 2009. Are Drag Queens Sexist? Female Impersonation and the Sociocultural Construction of Normative Femininity. Thesis M.A. unpublished. Ontario, Canada: Department of Anthropology, University of Waterloo.

Rupp, Leila J.,Verta Taylor, & Eve Ilana Shapiro. 2010. Drag Queens and Drag Kings: The Difference Gender Makes. Sexualities, Volume 13 Issue 3 (2010), pp. 275-294.

Salerno, Rob. 2014. Brooke Lynn Hytes wins Miss Continental competition., (https://www.dailyxtra.com/brooke-lynn-hytes-wins-miss-continental-competition-63533), diakses tanggal 14 Februari 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun