Mohon tunggu...
Zofrano Sultani
Zofrano Sultani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Historian, Researcher, Research Consultant, and Social Observer

Follow my Instagram: zofranovanova94. The researcher has an interest in the fields of East Asian History, South Asian History, the History of International Relations. and International Political Economy. He is an alumnus Bachelor of Arts in History degree currently pursuing a postgraduate in the field of socio-politics with a hobby of reading books, watching movies, listening to music, and foodies. Education level has taken: Private Kindergarten of Yasporbi II Jakarta (1998-1999), Private Elementary School of Yasporbi III Jakarta (2000-2006), Public Junior High School 41 Jakarta (2006-2009), Private Senior High School of Suluh Jakarta (2009-2012), and Department of History, Faculty of Social Sciences, State University of Malang (2012-2019). He has the full name Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Carut-marut Politik Kesehatan Penanganan Covid-19 di Indonesia

26 Desember 2020   19:41 Diperbarui: 9 Januari 2021   02:54 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak dunia di landa pandemi akibat outbreak COVID-19 (Coronavirus Disease 2019) maka masyarakat global mengalami deglobalisasi. Semua orang harus menstop kegiatan di luar rumah dan berinteraksi dengan orang lain dengan menerapkan work and learn from home berbasis online (daring (dalam jaringan)) melalui internet dan aplikasi e-meeting seperti Google Meet, Zoom Cloud Meeting, Cisco Webex maupun mengirim pesan dan chatting melalui media sosial seperti Line, Twitter, Facebook, Instagram, Telegram, dan WhatsApp. Kalaupun mau berinteraksi dengan orang lain harus menggunakan protokol kesehatan (protkes) COVID-19 dengan menjaga jarak fisik 1-2 meter, memakai masker, tidak berpelukan dan bersalaman, dan sering-sering mencuci tangan dengan sabun dan hand sanitizer. Tidak hanya mengikuti dan mematuhi protokol kesehatan, yang perlu diperhatiin adalah gizi/asupan makanan, istirahat yang cukup, serta olahraga untuk meningkatkan daya imun.

COVID-19 yang pertama kali muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat Cina pada tanggal 26 Desember 2020 berdasarkan data Coronavirus Resource Center Johns Hopkins University & Medicine, secara global telah menjangkit 79.840.206 orang dengan jumlah orang yang meninggal sebanyak 1.750.580. Menurut data Coronavirus Resource Center John Hopkins University & Medicine (2020), 20 negara yang terjangkit COVID-19 dengan jumlah yang terjangkit > 10.000 orang/perhari yaitu Amerika Serikat, India, Brazil, Rusia, Prancis, Inggris Raya, Turki, Italia, Spanyol, Jerman, Kolombia, Argentina, Meksiko, Polandia, Republik Islam Iran, Ukraina, Peru, Afrika Selatan, Belanda, dan Indonesia, yang terakhir terdeteksi adanya COVID-19 yaitu Kepulauan Marshall, Vanuatu, Samoa, dan Kepulauan Solomon. Sejak Republik Rakyat Cina yang menjadi episentrum COVID-19 hingga tanggal 26 Desember 2020 belum ada tanda-tanda di negara di dunia mengalami flatten curve dan terus mengalami peningkatan. Bahkan di Inggris Raya di temukan mutasi COVID-19 sebagai varian baru virus corona (SARS-CoV-2) bernama VUI-202012/01. seperti yang dilansir BBC News.com.

Menteri Kesehatan Inggris Raya Matt Hancock mengatakan, setidaknya 60 otoritas lokal yang berbeda telah mencatat infeksi COVID-19 yang disebabkan oleh varian baru tersebut. Pihaknya juga telah memberitahu World Health Organization (WHO). Sementara itu, para ilmuwan Inggris saat ini sedang melakukan studi terperinci untuk memahami jenis baru tersebut. Hancock mengatakan, sejauh ini varian baru tersebut tidak menyebabkan kondisi penyakit pasien jauh lebih buruk. Prof. Jonathan Ball, Profesor Virologi Molekuler di Nottingham University, mengatakan, informasi genetik pada banyak virus dapat berubah dengan sangat cepat dan terkadang perubahan ini dapat menguntungkan virus. Dengan adanya temuan mutasi COVID-19 maka Prancis, Belanda, Belgia, Italia, Kanada, Amerika Serikat, Irlandia, Islandia, Swiss, Luksembourg, Arab Saudi, Kuwait, Israel, Turki, Yunani, Bulgaria, dan negara-negara lain melakukan travel bans ke Inggris Raya baik melalui jalur darat, jalur udara, dan jalur laut. Artinya, negara-negara masih mengalami deglobalisasi dan memfokuskan pada penyelamatan ekonomi, kesehatan masyarakat, pemberdayaan masyarakat yang terkena dampak pandemi, dan percepatan uji klinis vaksin COVID-19. 

Ada tiga perubahan genetik yang berhasil ditemukan dari karakterisasi tersebut. Mutasi pertama terjadi disekuens asam amino yang punya peranan untuk berikatan dengan reseptor di manusia dan mencit. Mutasi tersebut diidentifikasi sebagai mutasi yang mampu meningkatkan afinitas (kemampuan berikatan) dengan reseptor milik inangnya. Dalam kasus ini adalah manusia dan mencit. Afinitas yang tinggi ini membuat virus menjadi lebih mudah masuk ke host atau sel inang, sehingga berpeluang besar meningkatkan risiko penularannya. Mutasi COVID-19 menyerang penduduk pada usia 11-60 tahun melalui perubahan asam amino pada daerah di dekat gugus fungsi penting protein SARS-CoV-2. Menurut dokumen Public Health Ontario Kanada, nilai ambang batas Ct di atas 40 mengindikasikan orang tersebut negatif COVID-19. Pasalnya setidaknya butuh 40 kali siklus amplifikasi materi genetik patogen untuk mendeteksi virus Corona tersebut benar-benar ada. Apabila seseorang yang dites PCR dan mendapati nilai Ct berada di bawah 40 maka bisa dikatakan positif. Namun ada juga yang disebut sebagai indeterminate zone ketika nilai Ct di bawah 40 tetapi mendekati ambang batas tersebut mulai dari 38,1 - 39,9. Untuk membuktikan apakah orang tersebut benar-benar terinfeksi COVID-19 atau tidak maka spesimennya harus dicek ulang. Bahkan jika perlu dilakukan pengambilan sample ulang.

Namun menurut dr. Ardiana Kusumaningrum, Sp.MK yang merupakan Dokter Mikrobiologi Klinik, Rimah Sakit Universitas Indonesia, apabila nilai Ct>34 maka dikatakan sudah tidak lagi menimbulkan infeksi. Orang yang positif COVID-19 dengan nilai Ct tinggi bisa menjalani isolasi mandiri tanpa perawatan. Sampai saat ini belum ada laporan komprehensif yang membahas keterkaitan antara varian baru COVID-19 ini dengan kemungkinan virusnya tidak terdeteksi mengingat tes PCR pun tidak bersifat mutlak dikotomis positif atau negatif. Oleh karena itu WHO merekomendasikan untuk benar-benar teliti dalam melakukan tes.

Pandemi tahun 2020 membuat negara-negara harus mengalokasikan anggaran negara untuk bantuan sosial, ketahanan ekonomi, dan ketahanan kesehatan masyarakat supaya roda aktivitas sosial-ekonomi masih berjalan meskipun pertumbuhan ekonomi global mengalami perlambatan bahkan mengalami kontraksi > -1% hingga -30%. Ketika dunia sudah mulai terjangkit, dengan gagahnya Indonesia menyangkal bahwa tidak mungkin COVID-19 bisa masuk ke Indonesia, itu pun dilontarkan oleh pejabat negara yang notabene merupakan stakeholders perumus kebijakan publik dan komunikasi massa terhadap mitigasi bencana. Sementara negara lain sekawasan ASEAN seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam telah berhasil menekan dan mengendalikan kurva pandemi dan perlahan bangkit kembali ke arah Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB), angka kasus di Indonesia terus melejit, angka kematian terus memecah rekor, dan setiap hari semakin banyak tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia yang gugur dan terpapar dalam menjalankan tugas. Dokter Indonesia yang gugur mencapai 180 orang dokter umum dan spesialis dalam menjalankan tugas. Hal itu dapat mengganggu pengobatan medis non COVID-19 seperti jantung, mata, gigi dan mulut, urologi, rehabilitasi medis, kasus kecelakaan, ortopedi, gerontologi, penyakit kulit dan kelamin, diabetes, dan lain-lain karena fasilitas kesehatan di RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah), RSUP (Rumah Sakit Umum Pusat), RSUTPOL (Rumah Sakit Umum Tentara dan Polisi), dan RSUS (Rumah Sakit Umum Swasta) mengalami full capacity. Belum lagi sarana infrastruktur di ibukota Jakarta, dengan daerah-daerah sesama di Pulau Jawa dan luar Jawa begitu gap. Ini seharusnya menjadi perhatian serius dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat bahwa COVID-19 bukanlah konspirasi dan belajarlah dari SARS (2002-2004).

Berbagai kebijakan publik yang diambil sejauh ini terbukti gagal dan carut-marut menurunkan laju penyebaran infeksi di masyarakat. Sebaliknya, banyak kebijakan dan pernyataan pejabat pemerintah pusat dan daerah, termasuk Presiden Joko Widodo, justru kontradiktif dan kontraproduktif terhadap upaya pengendalian wabah, menyepelekan bahaya bagi kesehatan masyarakat, menimbulkan kebingungan dan keresahan, dan pada saat yang sama juga rasa aman semu. Penolakan untuk menerapkan karantina wilayah, pelaksanaan pembatasan sosial skala besar yang terlambat, setengah hati dan tidak menyeluruh gagal memberi dampak pengendalian wabah yang diinginkan, padahal telah menimbulkan kerugian ekonomi dan pukulan psikis yang tidak kecil pada masyarakat. Absennya kepemimpinan yang memahami keilmuan dan mempercayai sains serta ilmuwan sosial dan kesehatan, memiliki kepekaan krisis, berempati, tanggap dan konsisten dalam membuat dan melaksanakan kebijakan publik. Sejak awal pandemi sampai hari ini, terlihat jelas bahwa narasi yang didengungkan pemerintah, khususnya pesan-pesan publik yang disampaikan Presiden Joko Widodo, tidak mengutamakan perlindungan kesehatan masyarakat dan tidak menciptakan rasa aman sesuai yang diamanatkan konstitusi terlebih pesan untuk mengutamakan ekonomi dan kesehatan masyarakat yang selalu di dengung-dengungkan begitu paradoksal. Antara menyelamatkan pertumbuhan ekonomi supaya unemployment rate tidak terus bertambah atau menekan supaya tenaga kesehatan tidak banyak yang bertumbangan dan angka kematian yang terus bertambah, malah disibukkan dengan tata bahasa dan diksi penggunaan kata "New Normal" vs Adaptasi Kebiasaan Baru, Karantina Wilayah vs Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), efek kejut, efek domino, dan lain-lain.

Jangankan memilih kesehatan dan ekonomi nasional yang semestinya berjalan seimbang, bantuan sosial dan realokasi anggaran tiap-tiap daerah tidak semua serempak melakukannya. Terlebih yang membuat masyarakat miris yaitu saat penangkatan Juliari Pieter Batubara, Menteri Sosial RI yang melakukan korupsi bansos sungguh menyayat nurani di masa-masa panceklik sosial dan kesehatan seperti sekarang. Bantuan sosial seharusnya cash transfer atau bantuan langsung tunai sebesar 650 ribu rupiah bukan dengan sembako karena rentan diselewengkan dan di korupsi. Pengawasan dan implementasi kebijakan pencegahan dan pengendalian COVID-19 di lapangan cenderung dilakukan oleh aparat pemerintah yang tidak memiliki kompetensi dalam hal isu kesehatan masyarakat. Ini dapat dilihat dari peran Badan Intelejen Negara (BIN) untuk menyelenggarakan tes PCR yang bukan merupakan kompetensi lembaga tersebut, seharusnya yaitu Kementerian Kesehataan Republik Indonesia bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, Ilmu Keolahragaan, dan Keperawatan se-Indonesia di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Selain itu, penempatan personel gabungan TNI dan Polri dalam mengawal pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan keputusan yang tidak tepat. Hal ini menyebabkan, tugas polisi dan tentara semakin bertambah karena mengurusi protkes COVID-19 seharusnya melibatkan komunitas sosial seperti ketua RT/RW, Camat, Lurah, agamawan, mahasiswa Ilmu Sosial dan Budaya, mahasiswa Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, volunteers, social workers and analyst, seniman, public figure, Dewan Kesenian dan Balai Bahasa dan Sastra, Dinas Kesehatan, dan Dinas Sosial setempat dalam mengedukasi masyarakat mengenai COVID-19 dan penyaluran bantuan sosial ataupun sembako. Akibatnya, masyarakat bingung dan memutuskan melakukan karantina wilayah mandiri sejak pertengahan Maret-Mei 2020 guna memutus penyebaran COVID-19 menyebar ke wilayahnya. Apalagi, komunikasi massa yang disampaikan pemerintah masih kurang maksimal hanya sekedar himbauan untuk melakukan protkes COVID-19 tetapi bantuan sosial dan pengadaan dapur umum gratis untuk memberi makan kepada masyarakat tidak dijalankan dengan baik sebagai upaya stabilisasi ekonomi dan kesehatan nasional 2020 oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kota), swasta dan/atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Pemberdayaan masyarakat melalui komunitas sosial dalam penanganan COVID-19 seperti yang dilakukan Kota Surabaya, Kota Bogor, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Sumatera Barat sangat membantu percepatan program stabilisasi ekonomi dan kesehatan nasional 2020 kepada masyarakat yang terdampak oleh pandemi tanpa harus mengeluarkan peraturan yang begitu birokratis dan administratis dan saling salah-menyalahi.

Buruknya komunikasi ini memperparah koordinasi, sehingga upaya mitigasi COVID-19 yang seharusnya terintegrasi dan responsif menjadi terpecah, lamban, bahkan sia-sia dan kontraproduktif. Yang muncul adalah suatu pola penyangkalan yang terorganisir (organized denial) di mana komunikasi pemerintah ke rakyat Indonesia hanya berpindah dari satu penyangkalan ke penyangkalan yang lain.  Kegagalan komunikasi risiko dan koordinasi ini membuat publik semakin bingung dalam menghadapi dan beradaptasi dengan situasi pandemi, menciptakan persepsi risiko yang sangat rendah dan menurunkan kewaspadaan pada tingkat individu. Jangan salahkan masyarakat kalau sekarang sudah mulai jenuh dan abai terhadap protkes COVID-19 dan mengkambinghitamkan tenaga kesehatan Indonesia. Fungsi pemantauan, pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian yang diambil juga terkesan tergesa-gesa untuk segera di eksekusi. Ini bisa dilihat dari tidak adanya pengawalan dan pengawasan yang jelas terhadap segala kebijakan penanganan COVID-19 yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. DPR RI misalnya, alih-alih fokus mengawasi tindakan dan kebijakan pemerintah eksekutif, justru memilih 'membuat gaduh' dengan membahas beberapa rancangan undang-undang yang bermasalah seperti RUU Omnibus Law Cipta Kerja, RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP), dan lain-lain.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia tampaknya tidak begitu mendengar dan memperhatikan masukan-masukan dari lembaga negara lainnya yang memiliki fungsi pengawasan dan pelaksana dalam permasalahan COVID-19 dan kesejahteraan ini, seperti Ombudsman RI, Komnas HAM, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ahli Kesehatan Masyarakat, Apoteker, Kebidanan, dan Keperawatan Indonesia serta Ahli Sosiologi dan Antropologi Indonesia. Yang terjadi adalah kebijakan penanganan COVID-19 oleh pemerintah Indonesia terus berjalan sendiri begitu saja tanpa kontrol dan kendali. Namun hingga hari ini, kebijakan penangggulangan wabah pandemi COVID-19 di Indonesia terkesan dirumuskan dan dijalankan secara satu arah dari pemerintah tanpa melibatkan partisipasi publik. Di sisi lain, nampaknya tak ada kanal pengawasan formal yang bisa dijadikan wadah dan acuan warga untuk mengevaluasi secara berkala kebijakan penanggulangan wabah pandemi COVID-19 yang dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo dan K.H. Ma'ruf Amin. Terlebih lagi tidak menggunakan sistem informasi dan jaringan komputer dalam pemetaan dan koordinasi antarlembaga pemerintah yang menjadi basic big data kesehatan nasional menghadapi bencana alam dan kesehatan masyarakat.

Apalagi mengenai masalah tes COVID-19, Indonesia merupakan negara terburuk dalam pengelolaan dan penanganan kesiapsiagaan pandemi COVID-19. 65 Negara di dunia melakukan travel bans bagi orang Indonesia yang hendak ke negara mereka karena pelaporan dan penggunaan tes yang njelimet menggunakan Rapid Test Antibodi bukan menggunakan PCR Swab Test Antigen. Termasuk beberapa bulan baru-baru ini, Jepang dan Arab Saudi meragukan tes dari Indonesia sehingga menangguhkan visa bagi orang Indonesia yang berkunjung ke negeri mereka hingga waktu yang tidak ditentukan. Seperti kasus di Jawa Timur yang ditulis Ardiansyah Fajar yang dilansir oleh IDN Times Jatim, infrastruktur pengetesan belum siap. Sebab tidak banyak laboratoriun yang mampu melakukannya. Ditambah lagi jumlah reagen masih terbatas dan harus memesan dari luar negeri menyebabkan pengetesan di Indonesia sangat mahal mulai dari 150 ribu hingga 500 ribuan lebih tergantung berada di fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta. Dan pertanggal 18 Desember 2020 berubah lagi kebijakan publik di bidang transportasi yang mengharuskan menggunakan Rapid Test Antigen dan PCR Swab Test saat ke luar kota baik melalui pesawat terbang, kapal laut, bis, maupun kereta api, sehingga kembali lagi masyarakat dibuat bingung. Sudah selayaknya, pemangku kepentingan di negeri ini merumuskan kebijakan publik jauh-jauh hari kemudian di sosialisasikan melalui media massa, media sosial, radio, pamflet, dan televisi supaya masyarakat tahu apa yang hendak dilakukan untuk pergi ke luar kota ataupun ke luar negeri. Selayaknya pemerintah Indonesia belajar dari Korea Selatan, Jepang, Selandia Baru, dan Singapura dalam penanganan kesehatan masyarakat dan ekonomi di masa pandemi COVID-19 dengan menunda pembangunan infrastruktur yang masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional 2019-2024 untuk dialokasikan kepada bantuan sosial, pengadaan PCR dan sistem Real Time m2000, pengaplikasian daring UMKM Indonesia, 

Meskipun begitu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia dan Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Republik Indonesia segera mengeluarkan Addendum Surat Edaran No. 3 tahun 2020 tentang protokol kesehatan perjalanan orang selama libur hari raya natal dan menyambut tahun baru 2021 dalam masa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang mengharuskan PCR Swab Test bagi orang asing selama 2x24 jam dari tanggal keberangkatan dalam memperketat pengawasan terhadap kedatangan pelaku perjalanan WNA dan WNI dari Inggris Raya, Eropa, dan Australia akibat merebaknya mutasi COVID-19 di Inggris Raya. Akan tetapi, alangkah sebaiknya pemerintah Indonesia menutup penerbangan, kapal laut, dan jalur darat serta perbatasan dengan negara-negara yang dilaporkan telah terjangkit mutasi COVID-19 dan masyarakat tidak melakukan traveling ke luar kota dan ke luar negeri dalam tindakan keterdesakan atau sekedar hiburan karena lelah harus work and learn from home. Tidak hanya disitu saja, pemerintah juga mempersiapkan lahan-lahan pertanian dan hasil perikanan melalui budidaya perikanan untuk memenuhi kebutuhan pangan di perkotaan dan ekspor perdagangan karena entah sampai kapan pandemi ini akan berakhir, masyarakat membutuhkan asupan makanan yang bergizi dengan pemantauan distribusi dan ketersediaan serta harga yang terjangkau selain perlu olahraga di ruang terbuka dengan mematuhi protokol kesehatan COVID-19. 

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) merekomendasikan kepada seluruh stakeholders dan pejabat negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah memastikan tata kelola politik penanganan wabah yang sepenuhnya berlandaskan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance): responsif, akuntabel, transparan, partisipatif, dan menjunjung tinggi kesetaraan dan inklusivitas. Secara khusus,  mendesak pemerintah melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Melengkapi aturan-aturan hukum pelaksana dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dalam bentuk peraturan pemerintah, yang mana ia menjadi dasar acuan untuk pelaksanaan penerapan kebijakan Karantina Mandiri (Self-Isolation), Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Karantina Wilayah.
  2. Menunda pelonggaran status PSBB dan/atau kebijakan sejenis untuk membantu menekan laju transmisi virus corona. Pemerintah harus kembali menutup aktivitas kerja non esensial dan menerapkan evaluasi keputusan pelonggaran harus didasarkan pada parameter kesehatan, seperti rasio test minimum 1/1000 penduduk perminggu, serta kesiapan masyarakat yang diukur berdasarkan persepsi risiko mereka. Ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah mengubah paradigma penanganan wabah dengan mengedepankan aspek kesehatan masyarakat dan keselamatan sebagai prasyarat untuk menjamin kelangsungan ekonomi, bukan sebaliknya.
  3. Melakukan komunikasi risiko pandemi publik yang benar dan konsisten. Pemerintah wajib menciptakan rasa aman yang didasarkan pada pemahaman risiko pandemi dan pengetahuan---bukan rasa aman palsu---sebagai hal yang fundamental. Pastikan pesan yang disampaikan berempati, konsisten mengedepankan aspek keselamatan dan kesehatan publik, dan membangun kewaspadaan berlandaskan ilmu pengetahuan dan data yang benar, bukan pseudosains. Pastikan juga agar semua elemen pemerintah memiliki pemahaman yang benar dan tidak menyimpang dari pesan tersebut.
  4. Transparansi Data Penanganan COVID-19. Perumusan kebijakan penanganan dan pengendalian wabah yang efektif dan efisien hanya bisa dilakukan dengan menggunakan data yang benar. Oleh karena itu, pemerintah harus berani jujur membuka data COVID-19 yang sebenarnya ke publik. Pemerintah tidak perlu menutupi data kematian akibat belum adanya kesempatan mendapatkan akses tes COVID-19 yang berbasis molekuler, atau PCR. Semua pasien yang meninggal akibat  COVID-19 baik suspek maupun probable harus diumumkan secara resmi setiap hari
  5. Meningkatkan kapasitas tes-lacak-isolasi dan menghentikan penggunaan rapid test untuk diagnosis dan sebagai syarat administratif perjalanan. Kapasitas tes-lacak-isolasi yang memadai adalah penting untuk menekan penyebaran wabah dan memberikan gambaran utuh mengenai kondisi pandemi terkini. Pemerintah harus meningkatkan kapasitas tes PCR melebihi anjuran rasio minimum 1/1000 penduduk setiap minggu (atau sekitar 40,000 tes per hari), menjadi 300.000 per hari. Pemerintah juga harus meghentikan kebijakan keliru penggunaan rapid test untuk diagnosis dan sebagai syarat administratif perjalanan dan masuk kerja dan/atau prosedur. Merebaknya penggunaan rapid test yang menjadi lahan bisnis justru berdampak pada turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap upaya pemerintah untuk melakukan pelacakan secara masif. Dan juga keterlibatan masyarakat Indonesia dalam melakukan pelacakan dan isolasi terhadap pasien COVID-19 yang bergejala ringan dan sedang atau orang tanpa gejala (OTG) bahwa COVID-19 bukanlah aib buruk bagi penyintas COVID-19.

Tentunya yang dilupakan Walhi adalah 6. Perbaikan Data Transaksi Bantuan Sosial yang mesti berbasis digital dan melibatkan Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, ahli sosiologi, ahli sistem informasi dan jaringan komputer, ahli teknik informatika dan telekomunikasi, dan ahli statistika, serta pekerja dan analis sosial budaya dalam rangka merealisasikan ketahanan sosial kepada masyarakat yang terdampak pandemi dan unemployment di masa-masa ketidakpastian hingga tahun 2021; 7. Penyediaan dapur umum, sanitasi, Rumah Sakit Darurat, dan tempat isolasi mandiri bagi pendatang ataupun pengunjung dengan pendanaan dari realokasi APBD, swasta, patungan dari masyarakat maupun secara sukarela. Faisal Basri Batubara, Ekonom INDEF di dalam Tirto.id mengungkapkan "Jadi kita tidak pernah tahu sampai puncaknya itu kapan. Dan ongkosnya semakin besar. Dan kita tidak punya kemampuan untuk mem-backup ekonomi kita supaya tidak turun terlalu tajam". Pemerintahan yang baik adalah mengatasi problematika dengan pendekatan sains dan mengedepankan aspek keselamatan warga negaranya tanpa tergesa-gesa untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi nasional yang -3,49% di kuartal 3 tahun 2020. Di tahun 2020 ini, pemerintahan Joko Widodo dan K.H. Ma'ruf Amin beserta jajaran pemerintah daerah diuji oleh sentimen masyarakat terhadap kepercayaan kepada pemerintah dalam penanganan COVID-19 dan keseriusan mengatasi masalah ekonomi dan kesehatan masyarakat nasional tahun 2020-2021.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun