Kemenangan Donald Trump dari Partai Republik (Republican Party/Grand Old Party (GOP)) membawa kelompok marjinal yang selama masa kepemimpinan Barack Obama tersingkirkan oleh kekuatan orang-orang kaya dan oligarkhi. Para pemilih AS yang muak dengan status quo dan mencari seorang juara, mereka menemukan seorang ahli pemasaran yang bombastis yang menghabiskan karirnya untuk mempromosikan dirinya sendiri. dan menjanjikan untuk "Membuat Amerika Hebat Lagi (Make American Great Again/MAGA)". Seiring waktu habisnya masa jabatan Barack Obama, para pemilih tersebut merasakan sedikit loyalitas kepada sebuah partai yang semakin mengandalkan dukungan mereka di tahun-tahun pemilihan tetapi sebaliknya hanya memberi mereka sedikit perhatian kepada urusan perekonomian domestik dan lapangan pekerjaan.
Fokus historis Partai Republik pada ekonomi sisi penawaran di bawah Trump yaitu pemotongan pajak bagi mereka yang berpenghasilan tertinggi sebagai cara untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Partai Demokrat, yang pernah menjadi rumah politik bagi buruh dan serikat pekerja selama masa Barack Obama, telah berkembang menjadi koalisi yang lebih perkotaan, pesisir, dan berpendidikan perguruan tinggi, merangkul basis baru pemilih perempuan dan populasi minoritas sosial dan seksual yang terus bertambah di negara itu. Para pemilih kelas pekerja, terutama laki-laki, merasa semakin terpinggirkan memilih Donald John Trump yang mewakili gender mereka karena sejak 1950 cara hidup (way of life) AS semakin buruk yang menyebabkan hegemoni ekonomi dan politik AS di tingkat global merosot (lihat gambar 1). Menurut Haley Barbour (seorang former Mississippi governor dan Republican National Committee chairman), terpilihnya Trump merupakan "the manifestation of people's anger"
Ahli politik Amerika, Eric Lipton dan Danielle Ivory, yang di lansir di New York Times.com (December 10, 2017) mengatakan kalau Presiden Trump menerapkan proteksionisme perdagangan melalui tarif, terutama pada impor dari Cina sebagai bagian dari strategi "America First" yang menyediakan lapangan kerja, perputaran uang, konsumsi, cinta produk dalam negeri, dan menggairahkan industri dan teknologi AS dari gempuran produk made in China. Dengan membuat kebijakan ekonomi politik domestik yang berpihak kepada kelompok yang termarjinalkan oleh kekuasaan Partai Demokrat, Trump mampu memainkan narasi pembangunan AS melalui populisme dan sentimen nasionalisme kepada warga negara AS, sebuah langkah yang menaikkan harkat martabat AS di tengah ekspansi dan aneksasi hegemoni Cina di Asia-Pasifik dan Afrika.
Bersamaan dengan itu, gerakan feminis dan LGBTI mendapatkan momentumnya, dan seiring dengan gerakan hak-hak sipil satu dekade sebelumnya, perhatian politik semakin terfokus pada kaum minoritas sosial, imigran dan perempuan. Faktor-faktor itu membuat Partai Demokrat kelas pekerja kulit putih tradisional, yang perjuangan ekonominya telah mulai menurun selama beberapa dekade, merasa tidak pada tempatnya di partai tersebut. Tulisan ini bertujuan mengevaluasi dan menganalisis kebijakan nasional populisme ekonomi Donald John Trump sebagai strategi politik ekonomi domestik "American First" yang mengokestrasikan dan meningkatkan kapabilitas industri dan teknologi melalui ilmuwan, praktisi, dan stakeholders (pemangku kebijakan) menghadapi gempuran produk impor dari Cina.
Sepak Terjang Kebijakan Politik Ekonomi Domestik Trump dari Partai Republik
Di era kepemimpinan Trump sejak terpilih pada Pemilu 2016, kepemimpinannya mewarisi komponen ekonomi seperti jumlah orang yang memiliki pekerjaan, pendapatan rumah tangga rata-rata riil, kekayaan bersih rumah tangga, dan pasar saham tingkat, yang di era Obama komponen-komponen tersebut tidak terlalu diutamakan di dalam kebijakan nasional AS. Dari data yang dilaporkan The Congressional Budget Office (CBO) (2017), pada Januari 2017 dengan asumsi kelanjutan kebijakan Obama, pertumbuhan PDB riil akan menjadi 1,8% pada 2017 dan 2,3% pada 2018, dan pengangguran akan terus turun menjadi 4,4% pada 2018, karena perekonomian mencapai lapangan kerja penuh melalui pengoptimalan pertukaran pendapatan dan arus uang yang diarahkan kepada produktivitas pengembangan industri, pertanian, teknologi, dan pariwisata.Â
Bagian penting dari strategi ekonomi Trump adalah untuk sementara waktu meningkatkan pertumbuhan melalui pemotongan pajak dan pengeluaran tambahan, dengan kesuksesan yang beragam. Membandingkan periode 2014-2016 (tiga tahun terakhir kepemimpinan Presiden Obama) dengan periode 2017-2019 (tiga tahun pertama kepemimpinan Presiden Trump), hasil aktual dari laporan Heather Long di dalam The Washington Post yang berjudul The Trump vs Obama economy in 15 charts dan laporan Brooks Jackson di dalam FactCheck.org yang berjudul Trump's Numbers January 2020 Update mencakup beberapa variabel yang melanjutkan tren peningkatan sebelumnya, seperti tingkat pengangguran, yang telah menurun sejak 2010 untuk semua kelompok etnis.Â
Beberapa variabel lain membaik, misalnya, pertumbuhan PDB riil dan pertumbuhan upah nominal; sementara yang lain memburuk, misalnya, inflasi dan pertumbuhan upah riil. Komponen yang berkontribusi pada peningkatan kinerja ekonomi tersebut adalah defisit anggaran tahunan yang besar sebesar US$ 779 miliar pada 2018 dan US$ 984 miliar pada 2019, sekitar 60% di atas perkiraan 10 tahun CBO bahkan lebih besar jika bukan karena serangkaian pemotongan suku bunga yang dilakukan pada tahun 2019 oleh Federal Reserve, yang membantu menekan biaya utang pemerintah yang baru turun, berita tersebut di tulis oleh Jim Tankersley di laman New York Times.com (January 13, 2020).Â
Ekspansi ekonomi yang berkelanjutan secara historis menurunkan defisit, menunjukkan tingginya tingkat bantuan stimulus ekonomi di bawah Trump, yang dijelaskan oleh CBO bahwa defisit anggaran mencapai rata-rata 1,5% dari PDB (Produk Domestik Bruto) selama 50 tahun terakhir ketika ekonomi "relatif kuat ".  Namun, John Cassidy (2020) melalui The New Yorker yang berjudul New reports show that Trump's economic promises were empty memaparkan defisit anggaran adalah 4,6% PDB pada tahun fiskal 2019 dan diperkirakan mencapai rata-rata 4,8% PDB selama periode 2021-2030.Â