Mohon tunggu...
Zofrano Sultani
Zofrano Sultani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Historian, Researcher, Research Consultant, and Social Observer

Follow my Instagram: zofranovanova94. The researcher has an interest in the fields of East Asian History, South Asian History, the History of International Relations. and International Political Economy. He is an alumnus Bachelor of Arts in History degree currently pursuing a postgraduate in the field of socio-politics with a hobby of reading books, watching movies, listening to music, and foodies. Education level has taken: Private Kindergarten of Yasporbi II Jakarta (1998-1999), Private Elementary School of Yasporbi III Jakarta (2000-2006), Public Junior High School 41 Jakarta (2006-2009), Private Senior High School of Suluh Jakarta (2009-2012), and Department of History, Faculty of Social Sciences, State University of Malang (2012-2019). He has the full name Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masyarakat Global Memasuki Masa Kedigdayaan Cina dalam Era Disrupsi Revolusi Industri 4.0: Paradoksal Pertikaian dan Hegemoni Cina dengan Amerika Serikat

4 Desember 2020   01:45 Diperbarui: 5 Februari 2021   01:33 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 2. Skema Jalur Sutra Cina Abad 21.

Membendung hegemoni Cina di Asia-Pasifik, Menteri Pertahanan Amerika Serikat Mark Esper mengunjungi Republik Palau menemui Presiden Tommy Remengesau atas desakannya kepada Amerika Serikat mendirikan pangkalan militer di Palau melawan pengaruh Cina di kawasan Pasifik (CNN Indonesia, 2020). Kegusaran Palau didasari atas kegundahannya kepada proyeksi Cina di Asia Tenggara mengenai pembongkaran fasilitas yang didanai Amerika Serikat di pangkalan Angkatan Laut Ream, Provinsi Preah Sihanouk tanggal 26 Juli 2019 memperburuk ketakutan sebelumnya tentang kemungkinan pemberian hak pangkalan kepada Angkatan Laut Cina oleh Kamboja. Terobosan Cina dalam hubungan pertahanan dengan negara-negara Asia Tenggara selama dekade terakhir atau lebih, sangat penting untuk kepentingannya sendiri, mulai dari mekanisme penjaga pantai baru Cina-Filipina, pembangunan markas dan pangkalan militer di Laut Cina Selatan hingga pembelian Malaysia yang belum pernah terjadi sebelumnya atas kapal angkatan laut Cina.

Reaktivasi pangkalan AS di Filipina dan desakan Presiden Palau Remengesau kepada AS membangun pangkalan militernya selain di Guam, menunjukkan angin segar kalau AS berusaha merebut kembali hegemoninya di Asia-Pasifik dan Afrika dari Cina. Dengan masih kuatnya kepentingan AS di Asia-Pasifik, akan sangat sulit bagi Cina untuk mempertahankan pasar yang telah didapatnya seperti Asia Tenggara. Untuk itulah, Cina perlu mengeluarkan banyak inisiatif multilateral untuk membendung skenario multilateral AS di kawasan termasuk pendanaan investasi untuk pembangunan negara mitra melalui AIIB. Negara-negara yang menginginkan pendanaan Cina menyambutnya sebagai sumber investasi dalam infrastruktur antara Cina dan Eropa melalui Timur Tengah/Asia Barat Daya, Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Tengah dan Selatan, dan Afrika. Mereka yang takut terhadap Cina seperti Jepang, Korea Selatan, Australia, Uni Eropa, dan AS melihatnya sebagai proyek yang menyeramkan yang berupaya untuk menciptakan tatanan dunia baru sebagai new emerging power pasca Tiananmen 1989 dan 9/11. Jaeho Hwang dan Chen Dongxiao (2010) China's Harmonious Asia Strategy di dalam International Area Studies Review Journal Volume 13 Issue 2 (June 2010) halaman 109-110 menuliskan Cina menantang AS dan Uni Eropa melalui viewpoint terhadap wilayah Asia sebagai saluran strategis untuk merangkul masyarakat transnasional, dengan prinsip hexie yazhou yakni “Asia yang Harmonis” baik secara multilateral, sub-regional, maupun bilateral. Cina membidik Asia Selatan dan Tenggara, Asia Tengah dan Barat, dan Asia Timur dengan menawarkan konsep kesejahteraan bersama di kawasan dengan pendekatan bilateral. Saluran strategis dengan prinsip hexie yazhou-nya Cina tertuang ke dalam Jalur Sutera Cina Abad 21 (lihat gambar 2).

Gambar 2. Skema Jalur Sutra Cina Abad 21.
Gambar 2. Skema Jalur Sutra Cina Abad 21.

Pada gambar 2 memperlihatkan blue line sebagai koridor ekonomi yang menghubungkan Kashgar dan Urumqi, Xinjiang dan Gwadar, Pakistan di sebelah barat sementara di sebelah selatan menghubungkan Yunnan dengan Bangladesh. Red line menggambarkan jalur sutera darat yang menghubungkan Xi’an hingga Prancis sementara yellow line menggambarkan jalur sutera laut yang menghubungkan pelabuhan Fuzhou, Cina hingga ke Venesia, Italia melewati Seychelles, Sri Lanka, dan Terusan Suez. Jalur-jalur itu dikembangkan dan direaktivasi oleh Cina yang terhubung ke Beijing melalui begitu banyak kilometer jalur yang akan dibangun atau banyak kapasitas pelabuhan baru yang akan dibangun pada saat ini. Saluran strategis ini memperlihatkan Cina berupaya menjadi negara hegemon di Asia dan Afrika, terlepas Pasifik masih dikendalikan oleh AS, bahwa Belt and Road Inisiative (BRI) atau One Belt One Road (OBOR) seolah-olah proyek global.

Amerika Serikat masih menancapkan politik internasionalnya di kawasan Oceania atau Pasifik sejak Perang Dunia I yang memperebutkan Asia-Pasifik dari Jepang sebagai penyuplai bahan baku bagi perekonomian dan militer AS, sama persis dengan analisis Robert J. McMahon (1981) dan Jonathan Marshall (1973) yang meletakkan Asia (terutama Asia Tenggara) dan Pasifik sebagai faktor mitra perdagangan dan impor bahan-bahan mentah bagi AS melawan modernisasi Jepang dan Cina. Agar Afrika tidak jatuh ke dalam pusaran hegemoni Cina, Amerika Serikat berhasil menyingkirkan populisme-nasionalis agama, Muhammad Mursi dari Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir dan penyingkiran keji Muammar Qaddafi di Libya melalui serangkaian demonstrasi dan penyerangan koalisi NATO yang mengatasnamakan HAM dan demokrasi, membuat kedua negara di kawasan Afrika Al-Maghribi itu terkatung-katung dalam perang saudara dari tahun 2011-2020. Amerika Serikat mencengkram Afrika melalui AFRICOM.

Data dari CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang ditulis oleh Judd Devermont (Direktur Program Afrika) dan Leanne Erdberg Steadman (Direktur, Melawan Ekstremisme Kekerasan, Institut Perdamaian AS) pada 10 Mei 2020 melaporkan tentang militer AS di Afrika ketika serangan pesawat tak berawak menghantam teroris di Somalia, ketika Navy SEAL menyerbu kapal bajak laut di Teluk Aden, dan ketika Army Rangers memburu para genosida di hutan adalah peran AS sebagai investasi komprehensif AS pada ancaman teroris seperti ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) selain upaya membendung pergerakan Cina di Afrika. Nilai politik internasionalnya terletak pada militer AS menjalin hubungan yang lebih dekat dengan pemerintah Afrika, mempromosikan nilai “demokrasi dan HAM” dan kepentingan AS dalam menanggapi krisis kemanusiaan dan kesehatan termasuk pandemi virus korona (COVID-19 (Coronovirus 2019)). Sejak 1990-an dan terutama setelah 9/11 dan pembentukan Komando Afrika (AFRICOM (US-Africa Command), militer AS sering menjadi simbol komitmen AS yang paling terlihat dan konkret di kawasan tersebut (US Africa Command, 2020). Kepemimpinan global AS didasarkan pada jaringan aliansi dan mitranya, termasuk di Afrika. Hubungan ini penting untuk membuka pasar bagi sektor swasta AS melawan perilaku jahat oleh Cina dan Rusia dan membentuk keputusan di forum internasional, termasuk Dewan Keamanan PBB. Ketika bencana alam melanda dan virus menyebar, kehadiran militer AS di beberapa negara Afrika telah memungkinkan dukungan yang cepat dan tegas.

Pada kasus Topan Idai pada 2019, pesawat militer AS membantu mengirimkan makanan dan bantuan kemanusiaan lainnya ke masyarakat di Malawi, Mozambik, dan Zimbabwe hanya beberapa hari setelah badai menenggelamkan ratusan ribu mil tanah (Turse, Mednick, & Sperber, 2020). Dan kehadiran militer AS di beberapa negara Afrika telah menjadi bagian penting dari perang melawan virus corona, menyediakan kapasitas rumah sakit keliling di Ghana, Senegal, dan Uganda. Kemampuan dan kemitraan yang diciptakan melalui keterlibatan militer AS membantu negara-negara Afrika termasuk Benin, Nigeria, dan Senegal untuk menangani virus corona dan mengatasi ebola, malaria, serta HIV/AIDS di masa depan. Pada 2019, pasukan Operasi Khusus AS dikerahkan di 22 negara Afrika: Aljazair, Botswana, Burkina Faso, Kamerun, Cape Verde, Chad, Côte d'Ivoire, Djibouti, Mesir, Ethiopia, Ghana, Kenya, Libya, Madagaskar, Mali, Mauritania, Niger, Nigeria, Senegal, Somalia, Tanzania dan Tunisia (lihat gambar 3) (Mail & Guardian, 2019). Ini menyumbang proporsi yang signifikan dari aktivitas global pasukan Operasi Khusus AS lebih dari 14% pasukan komando AS yang dikerahkan di luar negeri pada tahun 2019 dikirim ke Afrika, persentase terbesar dari kawasan mana pun di dunia kecuali Timur Tengah/Asia Barat Daya.

Gambar 3. The footprint of US Special Forces in Africa 2019.
Gambar 3. The footprint of US Special Forces in Africa 2019.

Menariknya, Afrika bagi AS untuk mendukung pemerintahan militer di negeri-negeri tersebut, tetapi kurang maksimal mengadakan bantuan pembangunan sosial berupa jalan kereta api, industri, pelabuhan, pertanian, pertambangan, kesehatan masyarakat, kedokteran, bioteknologi, dan biomedis, teknologi, bisnis, pariwisata, serta perdagangan seperti yang dilakukan oleh Cina di Angola, Ethiopia, Zimbabwe, Republik Afrika Selatan, Mauritius, Zambia, Eritrea, Nigeria, Kamerun, Kenya, dan Djibouti. Kehadiran militer AS di Afrika menjadi kesediaan mereka untuk bekerja dengan pemerintah otoriter yang dipandang sebagai melegitimasi dan memperpanjang kecenderungan otoriter, atau negara tidak dipandang memiliki legitimasi, misalnya Sudan Selatan, Mesir, Zambia, Republik Demokratik Kongo, Zimbabwe, Somalia, dan Libya. Jelas bahwa AS tidak ingin berada di garis depan hanya mengirimkan uang untuk program pelatihan dan peralatan jangka panjang untuk melakukan intervensi politik domestik dan arah kebijakan luar negeri mereka.

Sedangkan Uni Afrika telah menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) dengan Beijing untuk pembiayaan pembangunan jalan raya, bandara dan jalur kereta api. Namun saat 2019, 14 negara Afrika belum ikut serta. 14 negara Afrika yang belum ikut serta di dalam MoU adalah Eritrea, Mauritius, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Republik Afrika Tengah, Benin, Equatorial Guinea, Guinea-Bissau, Malawi, Lesotho, Eswatini (sebelum 2018 bernama Swaziland), Togo, Burkina Faso, dan Botswana. Negara-negara itu, misalnya Eswatini masih mengadakan hubungan diplomasi dengan Taiwan (Republic of Cina (ROC)/Chinese Taipei), sedangkan Sao Tome and Principe dan Burkina Faso yang di tahun 1980-1990an mengadakan diplomasi dengan Taiwan, memilih menjalin diplomasi dengan Republik Rakyat Cina pada tahun 2016 dan 2018.

Dari penjelasan tersebut mengidentifikasikan RRC di bawah Xi Jinping berusaha membangun pengaruh strategis di bidang ekonomi dan perdagangan, menjanjikan investasi Cina hadir tanpa ada ikatan politik apapun, yang berbeda dengan AS dan Uni Eropa. Cina menjanjikan dana senilai US$ 60 miliar (setara Rp 859 triliun) untuk membiayai proyek-proyek di banyak negara Afrika, dalam bentuk bantuan, investasi dan pinjaman yang terdiri dari US$ 15 miliar dalam bentuk hibah, pinjaman bebas bunga dan pinjaman lunak, US$ 20 miliar dalam jalur kredit, US$ 10 miliar untuk "pembiayaan pembangunan" dan US$ 5 miliar untuk pembeliam impor dari Afrika. Masalah kerja sama Cina dengan negara-negara Afrika karena negara-negara Afrika memandang Cina melalui investasinya sebagai kolonialisme baru yang mendatangkan pekerjanya, misalnya yang terjadi di Kamerun dan Zimbabwe. Di lansir oleh CNN Indonesia (2019), Diplomat Cina Yang Jiechi bertemu Presiden Kamerun Paul Biya di ibu kota Yaounde menghapus 3 triliun franc Afrika Tengah atau sekitar US$5,2 miliar. Kelonggaran Beijing pada Kamerun pun dikhawatirkan bakal mendorong negara-negara lain di Afrika yang sangat berpengaruh seperti Ethiopia, Djibouti, Kenya, dan Zambia untuk meminta perlakuan yang sama seperti Kamerun. Dana investasi yang dalam bentuk “utang” itu membangun dan membiayai pelabuhan baru di kota nelayan Kribi, PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), jalan, dan bendungan. Akan tetapi yang diberitakan CNN Indonesia melupakan sebuah conflict of interest antara perusahaan Cina, masyarakat lokal, dan pemerintah Kamerun karena ada upaya marjinalisasi pekerja lokal dan kompetisi dengan pekerja dari Cina. Meskipun, Cina menangguhkan utang kepada Kamerun, visi geostrategis dan jangka panjang tentang pentingnya Kamerun di wilayah Afrika adalah membuka port networking Fuzhou dengan Kribi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun