Mohon tunggu...
Zofrano Sultani
Zofrano Sultani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Historian, Researcher, Research Consultant, and Social Observer

Follow my Instagram: zofranovanova94. The researcher has an interest in the fields of East Asian History, South Asian History, the History of International Relations. and International Political Economy. He is an alumnus Bachelor of Arts in History degree currently pursuing a postgraduate in the field of socio-politics with a hobby of reading books, watching movies, listening to music, and foodies. Education level has taken: Private Kindergarten of Yasporbi II Jakarta (1998-1999), Private Elementary School of Yasporbi III Jakarta (2000-2006), Public Junior High School 41 Jakarta (2006-2009), Private Senior High School of Suluh Jakarta (2009-2012), and Department of History, Faculty of Social Sciences, State University of Malang (2012-2019). He has the full name Zofrano Ibrahimsyah Magribi Sultani.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masyarakat Global Memasuki Masa Kedigdayaan Cina dalam Era Disrupsi Revolusi Industri 4.0: Paradoksal Pertikaian dan Hegemoni Cina dengan Amerika Serikat

4 Desember 2020   01:45 Diperbarui: 5 Februari 2021   01:33 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 3. The footprint of US Special Forces in Africa 2019.

Secara ekonomi internasional, mata uang dollar AS (USD (United States Dollar)) masih memiliki nilai penting di dalam roda perekonomian global daripada mata uang Cina yuan renminbi. Analis Morgan Stanley (dalam Wulandhari & Zuraya, 2020) memberikan analisis bahwa yuan renminbi selalu di devaluasi oleh pemerintah Cina yang menyebabkan nilainya selalu lebih rendah dari dollar. Selain itu, analisis dari penulis adalah devaluasi meningkatkan output GDP Cina, yang sehingga transaksi yang terjadi di dalam negeri menggunakan mata uang sendiri daripada mata uang dollar AS. Hal ini menyebabkan harga suatu barang yang diproduksi di dalam negeri menjadi murah dan orang-orang tidak meningkatkan konsumsi malah menabung. Inilah strategi mengapa barang-barang made in China sangat murah alias harga miring dari biaya produksi. Balik lagi dari analisis Morgan Stanley (dalam Wulandhari & Zuraya, 2020), ia juga memperkirakan kalau devaluasi yen renminbi berakibat kepada telah mendorong lebih banyak lembaga keuangan asing masuk ke pasar domestik. Yuan renminbi pasca Hu Jintao menyumbang sekitar 2% dari aset cadangan devisa global meningkat hingga 5-10% pada 2030, jauh melampaui level yen Jepang, euro Uni Eropa, lira Turki, rubel Rusia, riyal Arab Saudi, dan poundsterling Inggris.

Cina mengandalkan investor asing dengan mengurangi keribetan administrasi dan birokrasi sebagai jaminan keamanan berinvestasi. Di tahun 2020, ketika AS berupaya mengalihkan industri teknologi dan manufakturnya ke India atau Vietnam, investor asing semakin beralih ke pasar Cina karena potensi keuntungan yang relatif lebih tinggi daripada wilayah lain. Arus masuk portofolio investasi menjadi lebih penting daripada investasi asing langsung. Morgan Stanley (dalam Wulandhari & Zuraya, 2020) memprediksi arus masuk secara kumulatif akan mencapai 3 triliun dollar AS. Akan tetapi, analisis Morgan Stanley melupakan keywords yang paling penting yaitu pengaruh Beijing yang semakin meningkat melalui Belt and Road inisiative (BRI) menjadi jangkauan dominasi yuan di kawasan Eurasia dan Afrika karena mengikat banyak negara ke sistem ekonominya, yang membuka jalan bagi yuan ke dalam kontrak perdagangan global. Menurut ahli strategi investasi senior di Vontobel Asset Management, Sven Schubert (dalam Sebayang, 2020) ada sejumlah faktor yang bisa meningkatkan dominasi yuan di kancah global, di antaranya adalah teknologi dan dukungan investasi dari negara dan swasta selaku stakeholders. Salah satu cara lain yang bisa meningkatkan dominasi yuan dan Cina adalah langkah dedollarisasi yang sedang dilakukan Cina seperti kerja sama Rusia dan Cina dalam pembangunan Trans-Eurasia. Laporan tahunan terbaru dari Central Bank of Russia Federation (2020) melaporkan bahwa negara Cina meningkatkan bagian yuan dalam cadangannya, dari lebih dari 2% pada tahun 2018 menjadi lebih dari 14% pada tahun 2019. Pada saat yang sama, negara Cina mengurangi bagian dollar AS dari sekitar 30% menjadi 9,7% saja. Ketika ketegangan Cina-AS meningkat, mempromosikan yuan renminbi sebagai mata uang internasional juga dapat membantu Cina untuk memisahkan diri dari AS, dari analisis Eswar Prasad (2016 dan 2020), seorang profesor ekonomi perdagangan internasional di Cornell University.

Untuk mengatasi dedollarisasi, AS telah memberlakukan kembali kenaikan tarif impor Cina sebesar 25% dari semula 10% untuk barang-barang dan produk buatan Cina senilai US$ 200 miliar. Tarif baru dikenakan pada lebih dari 5.700 kategori produk yang berbeda asal Cina, mulai dari sayur-sayuran olahan hingga lampu Natal dan kursi tinggi untuk bayi (Direktorat Perencanaan Makro dan Analisis Statistik, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas RI, 2019). Trump menaikkan bea masuk tarif impor kepada lebih dari 1.300 produk asal Cina hingga 25%. Hal itu bila dikaji dari kebijakan politik luar negeri AS, pemerintahan Trump berpendapat bahwa mekanisme multilateral tata kelola ekonomi, seperti Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) dan G-20, memiliki efektivitas yang kecil, dan terlebih lagi merugikan kepentingan ekonomi AS. Karena itu, Trump lebih memilih menyelesaikan masalah ekonomi melalui pendekatan sepihak dan bilateral.

Pemerintahan Trump tidak menunjukkan kemauan yang kuat dalam koordinasi multilateral global, dan ini dapat menghalangi kerja sama kebijakan ekonomi besar di antara negara-negara besar. Dengan demikian, tata kelola ekonomi global kemungkinan akan stagnan dari tahun 2016-2020. Menurut data World Bank (2017), impor dan ekspor Amerika Serikat pada tahun 2015 hanya menyumbang 28% dari PDB-nya, sekitar 48% dari rata-rata dunia, terendah di semua ekonomi utama. Berdasarkan data tersebut, dampak perdagangan terhadap ekonomi AS yang relatif kecil, sebaliknya, industri dan bisnis negara lain yang menjadi pesaing akan lebih banyak mengambil langkah untuk meningkatkan daya saingnya. Konsekuensi yang berbeda semakin memperlebar kesenjangan daya saing ekonomi antara beberapa industri dan perusahaan di AS dan di negara lain. Jadi, Trump hanya melakukan gertakan kepada Cina melalui perang dagang. Kebijakan tersebut diambil sebagai upaya untuk memangkas defisit neraca perdagangan AS terhadap Cina yang memiliki kesenjangan hingga US$ 300 miliar sejak tahun 2014 (Farrassati, 2019).

Berarti impor barang dan jasa dari Cina ke Amerika Serikat lebih besar, menyebabkan menurut Nadhira Farrassati (2019) terjadi peningkatan defisit neraca perdagangan AS terhadap Cina tahun 2017 sebesar US$ 375,6 miliar. Selain itu, kebijakan ini juga sebagai upaya balas dendam AS yang menuding Cina telah melakukan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual milik perusahaan AS yang berekspansi di Cina. Sementara Amerika Serikat berusaha untuk mundur dari perdagangan bebas atau membatasinya pada perjanjian bilateral yang memastikan surplus perdagangan yang sehat, seluruh dunia bergerak dengan tekad untuk menghancurkan hambatan perdagangan seperti tarif dan bea masuk ekspor-impor. Hasilnya mungkin pasar internasional di mana barang-barang AS menjadi kurang kompetitif dalam harga dan permintaan yang lebih rendah. Terlepas dari niat terbaiknya, pemerintah AS di bawah Donald Trump dapat melihat hal itu diterjemahkan ke dalam penguatan kembali dengan upaya menekan perkembangan Cina di kawasan Asia-Pasifik dan Afrika.

Cina mengencangkan ekspansinya ke kawasan Asia-Pasifik dan Afrika sebagai upaya menjadikan yuan sebagai mata uang internasional yang diterima sebagai alat transaksi perdagangan dan investasi global serta penyimpan nilai dalam bentuk obligasi dan cadangan devisa negara maupun lembaga internasional seperti IMF, World Bank, dan ADB melalui kerja sama kemitraan strategis. Kerja sama melalui kemitraan strategis ini memperkuat Cina dalam hal memperluas hegemoni ekonomi dalam skala regionalisme sementara Jepang mengarahkan kepentingannya dalam sektor ekonomi dan teknologi inovasi bukan memperkuat posisi politik internasional atau militernya karena terikat Perjanjian San Francisco 1951. Cina terlibat aktif di dalam kerja sama multilateral seperti China-Africa Cooperation, China-Caribbean Economy and Trade Cooperation Forum, dan juga China-Arab Nations Cooperation Forum. Keterlibatan Cina pada kerja sama multilateral berskala regionalisme mencerminkan exceptionalism Cina sebagai negara yang melihat negara lain beroperasi di bawah pengaruhnya, sehingga segala kebijakan luar negerinya pun betul-betul diarahkan ke pembangunan dalam negeri dan mengelu-elukan politik luar negeri Cina yang berprinsip koeksistensi damai. Prinsip koeksistensi damai dituangkan ke dalam model kerja sama embedded cooperation and win-win development.

Model ini ibarat “diantara kalian ada kami, dan antara kami ada kepentingan/keuntungan kalian" maka ini jelas mengurangi resiko konfrontasi militer dengan dan antara negara-negara utama seperti Uni Eropa, Liga Arab, ASEAN, Uni Afrika, SAARC (South Asian Association for Regional Cooperation), NAFTA, BRICS (Brazil, Russia, India, China, and South Africa), dan lain-lain yang menegaskan Cina kepada hegemoni ekonomi dalam perdagangan internasional dan mendominasi lanskap perdagangan di kawasan Asia-Pasifik. Hal itu membuat Cina menjadi bagian tak terpisahkan dari mata rantai industri ekonomi dunia. Amerika Serikat di bawah Trump merubah strategi ekonomi politiknya dengan merenegosiasikan Trans-Pacific Partnership (TTP (yang sekarang berubah menjadi Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP)). Strategi ekonomi politik AS itu merupakan strategi rebalancing  untuk memperkuat kedudukan serta peran AS dalam meningkatkan kerjasama bilateral dan multilateral. Negara-negara yang sudah terlanjur meratifikasi TPP seperti Jepang, Meksiko, Kanada, Australia, Selandia Baru, Vietnam, Peru, Cile, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam mulai beralih ke dalam kerja sama regional lain. Beralihnya negara-negara anggota TPP ke dalam kerja sama regional lain karena potensi pendapatan ekonomi hanya sebesar US$ 157 miliar tanpa AS. Sebanyak 10 negara ASEAN sudah mulai berencana untuk pembentukan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang langsung dirangkul oleh pemerintah Cina (Cicilia, 2018).

Adanya kemungkinan tersebut dapat menjadi hambatan dan tantangan sendiri bagi Asia-Pasifik mengingat bagaimana masih pentingnya kerjasama dengan negara maju bagi negara-negara di Asia-Pasifik yang banyak dihuni oleh negara-negara berkembang. Apa yang dilakukan Cina melalui kerja sama secara multilareal yang intensif, dari analisis Daniel A. Baldwin (1993) di dalam bukunya yang berjudul Neorealism and Neoliberalism: The Contemporary Debate, bahwa negara mendapat jauh lebih banyak keuntungan melalui kerja sama daripada tidak bekerjasama. Berkaca agresivitasnya Cina menjalin kerja sama dengan negara-negara lain, maka semakin melemahnya hegemoni politik dan ekonomi AS dan Uni Eropa. Trump telah melakukan delegitimasi atas lembaga-lembaga internasional yang dirancang untuk mencegah atau membatasi perang antarnegara, yang mendukung hipernasionalisme dan rasa kedaulatan yang kuat. Pemimpin populis seringkali mengalihkan perhatian dari kegagalan mereka dengan menjelek-jelekkan lawan di dalam dan luar negeri, sebagai contoh saat Trump menyalahkan Cina atas pandemi COVID-19 sebagai Wuhan virus untuk menutupi kalau hegemoni ekonomi, politik, dan militer AS secara global mulai menurun serta penanganan COVID-19 AS terburuk setelah Spainish Influenza 1918.

Perebutan Kembali Hegemoni dari Cina di Asia-Pasifik dan Afrika oleh Amerika Serikat: Mungkinkah? 

Merujuk data China-Africa Research Initiative di John Hopkins University School of Advanced International Studies, sejak tahun 2000 hingga 2016, Cina telah menyalurkan pinjaman sekitar US$125 miliar (Rp1,740 triliun) ke Afrika. Malangnya, beberapa negara gagal dalam melunasi hutangnya kepada Cina. Zimbabwe, misalnya, tidak mampu membayar utang senilai US$40 juta yang jatuh tempo pada akhir 2015. Akibatnya, pemerintah Zimbabwe menjadikan yuan sebagai mata uang nasional resmi sebagai kompensasi penghapusan utang dan mengganti dollar Amerika Serikat sebagai alat tukar dalam negeri. Di Asia, kisah serupa dialami oleh Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka terpaksa harus membayar mahal utang yang tidak mampu diselesaikan sesuai jatuh tempo kepada Cina. Akibatnya, Sri Lanka harus menyerahkan dan melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70% sahamnya dijual kepada Badan Usaha Milik Negara Cina yang menjadi jalur strategis perdagangan ke India.

Ini menjadi problematika Cina, di satu sisi ingin membantu negara-negara berkembang di dalam pembangunan sosialnya, di sisi lain Cina menancapkan hegemoni ekonomi politik dan militernya kepada negara-negara berkembang di Asia-Pasifik dan Afrika sama seperti kebijakan Marshall Plan Amerika Serikat kepada negara-negara sekutunya dan negara berkembang yang baru merdeka dan Molotov Plan Uni Soviet kepada negara-negara Eropa Timur dan Asia Tengah semasa Perang Dingin. Perangkap utang yang dilakukan oleh Cina ini telah menjadi preseden nyata yang patut diwaspadai oleh Indonesia dan dunia di dalam era disrupsi Revolusi Industri 4.0. Sebuah langkah tegas telah dilakukan oleh Malaysia yang telah memutuskan untuk membatalkan proyek jalur kereta api bernilai US$ 20 miliar yang diongkosi Cina sebagai upaya mengimbangi kekuatan militer dan politik AS di Asia-Pasifik di Okinawa, Jepang, Filipina [reaktivasi], Palau, dan Guam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun