Mohon tunggu...
Zoel Z'anwar
Zoel Z'anwar Mohon Tunggu... profesional -

dulce et utile

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi untuk Ayah

14 Juli 2013   23:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:33 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu banyak pujian yang telah di tujukan pada sosok seorang ibu, sampai-sampai seorang ibu telah di identikkan dengan dua istilah agung: cinta dan surga. Ya, seorang ibu memang dipandang sebagai sosok penjelmaan nilai-nilai ke-Ilahian. Saya setuju, tentu saja. Karena saya memiliki sosok ibu yang hebat. Tetapi bagaimanapun, jangan lupa bahwa masih ada sosok lain yang juga pantas disandingkan, disejajarkan, dan dimuliakan seperti peran mulia seorang ibu. Sosok gagah yang selama ini seperti pelakon di belakang layar; Ayah. Pada kenyataannya, hanya ada beberapa tribute untuk ayah yang bisa kita temukan dalam karya-karya menyentuh (ode) seperti puisi, lagu, dan beberapa kutipan-kutipan kata mutiara. Karena itu, saya sebagai seorang pengagum sosok laki-laki seperti ayah saya--yang sering saya sebut sebagai sosok yang family-oriented--ingin setidaknya memberi sesuatu yang bisa dikenang dan diulang-kenang, kapanpun dia mau. Apalagi kalau bukan baris-baris kata yang saya punya. Terlebih lagi, pada angka ke-26 dibulan Juni nanti, satu mata rantai usia akan ditambahkan padanya. Ya, ulang tahun. Ke-57, tepatnya. Tanpa kue ulang tahun yang dihias indah, tanpa lilin-lilin kecil yang menyala diatasnya, tanpa bingkisan, tanpa kehadiran saya juga, apalagi yang bisa saya berikan kecuali baris-baris rasa yang terpahat pada barisan kata yang akan saya susun menjadi sebuah puisi? Hanya kata. Dan, untukmu Ayah, semoga memaklumi. Terimalah, UNTUKMU, AYAH Malam itu kau bercerita dalam telusur pandang yang be-rantai-rantai harapan tentang akil-balik pada legenda menggelora mudamu hingga keluarga dan akhirnya kuingat; tidak lembut, kau berkata 'anak muda, kau darahku!' laki-laki tak merengek memimpi-mimpi 'pergilah memecah matahari!' ** Ketahuilah, Ayah di setiap garis kerut yang mengukir di wajahmu disetiap helai rambut putihmu yang kian bersemi disetiap rona pandangmu pada masa depan kami pada setiap keringat yang ditempeli debu siang hari, kami menitip pesan, 'kami bangga padamu' Ketahuilah pula, Ayah disetiap kami memanggil ibu disetiap kami mengata rindu padanya dan meleburnya dalam peluk kami berharap tangan kami cukup panjang untuk menyertakanmu, merasakan wajahmu dengan bisik ditelingamu, 'cinta itu juga milikmu' SELAMAT ULANG TAHUN, Ayah! demimu, dengan palu hidup yang kau beri akan kupecah matahari. hingga mereka tau, aku darahmu ** Puisi untuk ayah saya. Baris kata-kata yang mungkin tidak seberapa. Tidak layak dikaji ulang dalam ulasan-ulasan sastra. Tidak ditujukan untuk menjadi perbincangan media, atau bahkan tidak layak dianggap sebagai sebuah puisi. Tidak akan mengurangi kerut-kerut yang semakin jelas terlihat diwajah ayah saya. Tapi, setidaknya saya mencoba memberikan sesuatu yang bisa dia pandang sejenak, dan sekali lagi berkata... 'Anak muda, kau memang darahku!'

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun