kau, penggaul tanah, bertanya kabar bebiji yang kau tanam hari ini masih sempat kau sapa sisa-sisa embun pagi sebelum lesap jadi awan matahari yang datang menyapa tudungmu: seperti doa dia meninggi daun-daun melompat riang di sentuhan jarimu dan cumbuan angin tak ada sirat keluh saat kau tarik dan hempas napas yang penuh seperti biji-biji kopi yang lemah luruh di jarimu, di garis wajahmu cerita tentang harga yang rusuh, kau tak panas merenggut peluh tentang jumlah nurani yang mati di puncak pasar, adakah kau tau? yang kau tau adalah burung yang mencuri bulir-bulir padi sawahmu yang kau kenal hanyalah musang-musang pengunyah biji-biji kopimu kau hanya turut pada nada-nada yang menjadi lagu pagi-malammu kau hanya perduli pada letak tudung kepala penutup uban-ubanmu kau pemangku perut lapar menahan lapar di ladang dan tunggul sawah suara-suara "pupuk tak terbeli" kau biarkan terbawa desau angin kau seka jerit keringatmu, "harga-harga bebiji dari tanahmu, murah!" apalah guna air yang mencurat dari sudut kedua matamu yang dingin Gubugmu yang bercerita, di mana kau lepas lelah hari lamatmu tentang dua pergantian rona langit yang tak juga pandai kau eja tentang nyanyian tonggeret dari balik rimbun sengon-sengon tua menandai matahari yang rebah sedatar tanah dan gelap memburu kau bisiki angin itu: waktunya pulang! ________________________________________________________ == Dan dia adalah, Ibuku! Selamat hari tani semalam, Ibu. sumber gambar: wilfridus-ero.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H