Dalam situasi yang serba tidak menentu seperti ini, Indonesia seolah tak memiliki taring untuk bersuara lantang layaknya awal negara ini meraih kemerdekaan, Semangat juang membara membakar dada dan penuh dengan gelora. Indonesia yang terdiri dari jejeran pulau yang luas, budaya yang beraneka ragam, kaya akan berbagai bahasa, adat istiadat yang berbeda-beda dan agama yang berbeda-beda pula, semua terbingkai dalam sketsa Pancasila yang di ikat oleh tali penguat Bhennika Tunggal Ika.
Hari ini tepat tanggal 1 Juni menjadi hari bersejarah bagi bangsa Indonesia, mengingat hari ini merupakan hari lahirnya Pancasila. Tentunya kita semua dan saya pribadi berharap hari kesaktian Pancasila bukan menjadi ajang ceremonial belaka dan hanya menjadi rutinitas tahunan yang dianggap sakral dalam perayaannya. Artinya harus ada penanaman nilai-nilai Pancasila yang terpatri dalam hati sanubari, sehingga tidak ada lagi hujatan dan ujaran kebencian terhadap sesama bangsa Indonesia sendiri.
Saat ini bangsa Indonesia mengalami krisis dekadensi pemahaman terhadap Pancasila, munculnya ujaran kebencian dan dangkalnya pengatahuan sangat mudah menjadikan negara ini menjadi bangsa yang primitif. Rusak dan hancurnya tatanan suatu negara bukan dikarenakan perilaku orang bodoh akan tetapi dikarenakan banyaknya oknum orang pintar yang berprilaku bodoh sehingga kita hanya tinggal nunggu waktu saja.
Pada hari di dunia maya ataupun sosial media banyak orang yang menyatakan “saya Indonesia, saya Pancasila”. Secara kongkret ungkapan tersebut merupakan ungkapan kecintaan terhadap bangsa, akan tetapi yang menggelitik bagi saya adalah Apakah iya hati dan perilakunya searah dan sejalan dengan butir-butir Pancasila. Jangan-jangan semua itu hanya bagian dari bentuk dari pencitraan fatamorgana saja. Sejatinya bangsa ini tidak membutuhkan pencitraan, yang dibutuhkan aplikasi nyata dalam karya yang menjadi wujud bakti setiap warga negaranya terhadap kedaulautan berbangsa dan bernegara.
Mengapa saya katakan bangsa ini tidak butuh pencitraan. Sejarah membuktikan bahwa bangsa ini adalah negaranya para pejuang yang penuh dengan derasnya kucuran peluh dan semangat berdarah-darah hingga kulit terkelupas dan tulangpun menganga. bangsa ini bukanlah bangsa pengemis, hanya demi meraih sebuah kemerdekaan harus menyembah dan bersujud di kaki negara asing. Perjuangan harga mati tersebut telah di wujudkan secara nyata oleh nenek moyang bangsa ini dengan mengusir penjajah dengan berbagai cara agar bangsa ini dapat merasakan indahnya kebebasan dalam wujud kemerdekaan. Berdasarkan perjuangan para pahlawan itulah citra Indonesia telah terpandang di mata dunia, maka tak perlu lagi pencitraan yang sifatnya fatamorgana.
Banyak orang mengatakan Pancasila telah final dan menjadi kunci dari tujuan negara ini, ada pula yang berkoar NKRI harga mati. Hemm sekali lagi saya tegaskan bangsa ini tak butuh semua itu yang dibutuhkan bangsa ini bukti nyata bukan kata-kata.
Bagaimana mana cara kita menjadi warga negara yang berpancasila? Pancasila bukanlah hapalan kala kita masih duduk di bangku sekolah dasar yang hanya menjadi penghias mulut belaka, tapi Pancasila mestinya menjadi falsafah bagi setiap warga dalam berprilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pengamalan yang bernafa dan bernilaikan Pancasila harus berangkat dari diri sendiri berangkat dari hati sanubari yang paling dalam. Jika itu menjadi suatu pembiasaan yang mendarah daging, maka saya yakin tidak akan ada lagi hujat menhujat, caci mencaci, benci membenci, hardik menghardik, kucil mengucilkan, hina menghina dan diskredit mendiskreditkan. Jika semua itu sudah tidak lagi membising di telinga, maka bangsa ini akan menjadi negara yang “Baldhatun Toyyibatun Warobbun Ghofur”.Wallahu ‘alam Bisshowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H