Perhelatan demokrasi 5 tahun sekali di negeri ini selalu diiringi dan diwarnai dengan sensasi dan esensi yang menyita banyak perhatian, kecaman, bahkan merubah banyak cara pandang. Pemilu tak ubahnya sebagai pesta rakyat dengan jutaan fantasi dan ilusi.Â
Seiring perkembangan iklim akademik, kebudayaan, dan revolusi industri membuat generasi muda kerap melek dan kritis akan politik. Bahkan tak sedikit yang terjun langsung dalam politik praktis.Â
Kita dapat melihat hal ini dalam bingkai satu kesatuan yang utuh pada gegap gempita tahun ini. Bila kita zoom out dari atas untuk melihat fenomena hari ini, maka akan banyak pula hal yang akan kita dapati sebagai contoh pembelajaran manusia yang beradab. disisi lain kita mesti menyadari bahwa terkadang hajat politik justru menjadi sebab perpecahan, pertengkaran, perselisihan antar sesama.Â
Hal ini dapat kita ulas dari beberapa fakta menggelitik selama masa kampanye para calon berlangsung hingga detik2 pemilihan umum. Semenjak gong kampanye mulai ditabu, riuh intrik politik mulai memenuhi semua lini negeri.Â
Demokrasi republik menunjukan wajah aslinya, wajah yang dimana kebebasan pendapat terjamin, kemerdekaan berfikir terlindungi. Namun petaka besar yang timbul dari pemahaman masyarakat yang masih meradang tentang demokrasi ini menjadi salah satu asbab kegaduhan dan ketegangan tahun politik.Â
Bila kita sedikit menengok ke belakang, seorang cendekiawan muslim yang pemikirannya melintasi zaman pernah berkata bahwa kemanusiaan di atas segala2nya. Terlebih dalam hajat politik yang hanya berlangsung 5 tahun sekali.Â
Meski sebagian besar kita masih banyak yang tidak menyadari akan nilai2 yg disampaikan oleh mantan presiden republik indonesia ke 4 tersebut. Â Hari ini kita tengah dilanda politik tanpa hati nurani, Kita tengah ditawan dengan gimmik para aktor politik.Â
Terus terang saja, Secara subjektif saya memandang peran dan fungsi seorang alim ulama yang  harusnya dapat menjadi perekat, mediator, dan penentram di tengah kegilaan ini justru hilang.Â
Tak banyak kita temukan para punokawan2 yang bisa menjadi air kesejukan di tengah kegersangan gurun politik hari ini. Dunia semakin mulai tidak asik, setan kian berbisik, itulah sebab manusia jadi berisik
yang beda saling cap munafik, yang sama menularkan fanatik, kebenaran hanya menjadi milik mereka yang memadu intrik.Â
Padahal politik bukan sekedar memilih dan berselisih, Ia harusnya menjadi tempat saling berkasih, bersih dalam pamrih, teguh dalam tatih, tempat semua bisa bersumbangsih.Â
Politik bukan hanya sekadar investasi kekuasaan, melainkan investasi peradaban. Namun kenyataan lapangan kita temukan hanya terukur pada investasi kepentingan.Â
Produksi dan distribusi hoax mulai merajalela. Ironisnya tingkat konsumennya pun demikian meningkat. Betapa bangsa ini kekurangan pengetahuan dan kebijaksanaan.Â
Padahal para pendiri negeri ini mewariskan kekayaan intelektual yang amat melimpah. Dibalik kekayaan alam yang juga besar limpahannya. Polemik hari ini bak benang kusut yang nihil terurai, Harus darimana kita mulai menarik titik kekusutan problematika bangsa ini. Dalam riwayat sejarah, hanya pada tahun2 belakangan ini kita menghidupkan politik demagogi.Â
Politik dengan egosentris dan arogansi kepentingan. Yang mestinya pemilu dijadikan sebagai jalan lurus untuk para millenial yang nantinya akan melanjutkan tonggak estafet kepemimpinan bangsa.Â
Generasi muda lah yang kelak akan diwariskan peradaban dari para pendahulu2nya. Hari ini kita belum bisa melihat kenyataan itu terjadi. Kegamangan, kebiasan, dan kerancuan prinsip bangsa ini menjadi titik dasar masalah kita semua. Maka dari itu banyak pula pandangan skeptis dari berbagai kalangan terkait nasib republik ini.Â
Apatisme berkembang. Dan tingkat golput pun meningkat. Kendati ketika MUI memberikan fatwa bahwa untuk tidak menentukan pilihan itu terlarang atau secara hukum golput itu haram.Â
Yang menjadi respon masyarakat sebagian besar justru kecaman, ujaran, bahkan hinaan yang digencarkan kepada majlis ulama indonesia atau yang biasa diplesetkan dengan majlis usil indonesia tersebut.Â
Kita lebih banyak terjebak dalam hal yang sifatnya pragmatisme transaksional, etika bungkusan, dan disorientasi budaya. Kita selalu menjustifikasi hal2 yang diluar ketidaktahuan kita.Â
Tahun yang penuh dengan persoalan kritis ini menjadikan kita terkesan teramat bodoh. Mengorbankan sanak saudara, memusuhi tetangga. Menghakimi kolega, bahkan membunuh karakter anak bangsa.Â
Mereka yang menjadi kompetitor politik pun tak banyak yang ambil pusing dari sebab perpecahan berskala ini. Bagi mereka tujuan akhir hanya satu, yaitu kemenangan pemilu.Â
Namun akankah pasca mereka terpilih akan mewakili banyak aspirasi dan suara2 rakyat yg memilih mereka sebelumnya? Tak ada yg bisa menjamin. Toh semua dari kita tahu bahwa kepentingan ada diatas segala2nya. Â Maka dalam banyak kesempatan.Â
Paling tidak kita menghadirkan seruan untuk saudara setanah air kita, terlepas dari siapa mereka, asal mana, dan wujud fisiknya, untuk sama2 lebih bertabayyun, menelisik, dan mendalami segala fenomena bangsa ini. Karena yang terpenting menjadi bagian dari partisan politik adalah menjaga kewarasan.Â
Ketika kita tidak melahirkan tuhan baru di republik ini. Ketika kita tidak memahat berhala baru dalam bentuk simbolik jari. Ketika kita tidak membaiat nabi baru dari urutan nomor paslon. Revolusi komunikasi kian berkembang, dan rupanya teknologi menjadi puncak peradaban manusia.Â
Ketika segalanya dapat dilakukan dengan mudah, Menjadikan manusia dapat menghakimi sesuatupun dengan mudah. Kadang kita perlu melihat sejarah. Untuk bagaimana tragedi kolektif bangsa ini menjadi titik balik peradaban dalam menemukan jati diri yang sebenarnya.Â
Bangsa yang besar ini kadang terlihat kerdil ketika sesama saudara berselisih atas sebab tebang pilih. Konflik yang tak berkesudahan. Domino fitnah, dan kebencian yang diproduksi bersama. Patut kiranya sebagai generasi millenial, generasi yang hadir pada era kemajuan ini dapat direngkuh dengan modal penanaman nilai kemanusiaan yang baik.
 Karena kebijaksanaan atas karunia tuhan tak dapat tertandingi sekalipun dengan kecepatan artifisial intelegence. Negeri ini butuh para kaki pelanjut yang melahirkan peradaban baru. Peradaban yang semua orang merasa terangkul bukan malah terpukul. Peradaban yang semua khalayak dapat merasa dikuatkan bukan malah dijatuhkan.Â
Keberagaman adalah hakekat manusia. Mereka yang hari ini berbeda pandangan, pilihan, dan harapan adalah mereka yang sama menginginkan perubahan lebih baik bangsa ini. Namun hal yang lebih baik dalam pengejawantahan hal ini ialah ketika kita bisa saling bergandeng tangan, mendekap erat, menolong yang mesti ditolong, Membantu yang mesti dibantu.Â
Sebab persatuanlah yang pada dasarnya menyatukan segala hal. Bangsa ini merdeka pun karena kekuatan yang dibangun bersama. Menjadi manusia adalah proses untuk belajar menjadi manusia.Â
Bahkan bisa dibilang pemilu hanya sebagian kecil hajat dari esensi manusia. Serumit apapun problematika. Sesulit apapun pemecahannya. Setidaknya itu bisa terurai bila cara pandang kita tidak kusut oleh kedengkian. Puncak keilmuan adalah ketika segalanya mencapai pada pucuk kebijaksanaan. Mengkorelasikan antara akal sehat dan akal budi.Â
Pekerjaan bangsa ini masih banyak, semestinya kita bisa lebih banyak berbenah. Perbanyak proses lebih baik ketimbang perbanyak protes, perkaya wawasan lebih indah ketimbang perkaya permusuhan. Maka hadirkan nilai2 kebajikan dan keindahan antar sesama, hanya itu modal minim menjaga kewarasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI