Tulisan ini akan dimulai dengan pertanyaan yang pernah diajukan pada saya oleh seorang teman. Apakah kehidupan ekonomi bisa dibangun dari bawah (mikro) atau melalui kerangka ekonomi dari atas (makro)?
Terutama dari pertanyaan ini bisa dijawab dengan kita uraikan terlebih dahulu struktur bangunnya ekonomi itu sendiri. Secara historis, pembangunan ekonomi kita pernah melalui tiga tahap besar, pertama era feodalism, kolonialism & liberalism. Di era pertama, struktur ekonomi dibangun begitu kuat oleh kerajaan-kerajaan nusantara melalui perdagangan laut, dimana hasil-hasil pertanian, tembikar sampai kepada kain-kain tenun dijual melalui jalur laut hingga sampai ke negeri asing.Â
Berganti pada fase kedua yaitu kolonialism yang dibangun oleh para pedagang asing (mulanya) yang berkembang menjadi VOC sampai pengambilalihan pemerintahan Belanda yang memonopoli seluruh aspek ekonomi bumiputera (pribumi), sehingga perekonomian bumiputera pun seakan sekarat menghadapi zolimnya penjajah itu.Â
Ketiga, fase liberalisme dimulai setelah masa-masa kemerdekaan, yang membuka ruang untuk industrialisasi, saving-saving investasi asing menjalar ke seluruh peloksok negeri. Di fase ini kita dapat bagi menjadi 2 bagian, yakni liberalisme yang monopolistis dan liberalisme yang betul-betul terbuka. Bagian pertama liberalisme yang monopolistis ialah ketika setelah defacto Indonesia diakui kemerdekaannya oleh negeri penjajah (Belanda) di tahun 1950, Indonesia mulai membangun struktur ekonominya, melalui kebijakan Benteng dan Menasionalisasi aset-aset milik belanda.
Pertama kebijakan Benteng ialah sebuah kebijakan yang digagas untuk menampilkan/menciptakan enterpreneur Indonesia yang dimaksudkan agar dapat mendorong kemajuan ekonomi dari bawah. Kedua nasionalisasi aset-aset asing sebagai langkah untuk memperbaiki ekonomi Indonesia pasca perang (Agresi Militer II), berlanjut setelah lengsernya Orde Lama dengan menggulingkan Ir. Soekarno dan digantikan Soeharto, Indonesia makin kuat berada pada ekonomi monopolistis.Â
Ialah dominasi BUMN sebagai perusahaan negara menjadi ruh ekonomi Indonesia (sudah sangat terlihat dari Orde Lama). Di era ini kebijakan Pelita menjadi begitu mengakar dalam pembangunan ekonomi. BUMN dikerahkan namun tak lebih dari penampungan kroni-kroni rezim. Enterpreneur yang dilahirkan dari rahim Orde Lama sukses bersenggama dengan dengan Rezim Orde Baru. Akhirnya Liberalisme yang tadinya ketat terhadap distribution namun membuka investasi asing seluas-luasnya menjadi lebih terbuka lagi di akhir 1970an dan awal tahun 1980an.Â
Pintu yang tadinya dibuka setengah, sekarang dibuka lebih lebar, ekonomi mengalami kemajuan pesat sampai pada akhir 1980an, yang disebut oleh ekonom-ekonom sebagai berkah minyak. Namun masuk tahun 1990an pertengahan ekonomi mengalami depresi begitu hebat karena hantaman krisis moneter. Keadaan menjadi kacau dan rezim pun turun singgasana di tahun 1998.Â
Setelah melewati tahun-tahun krisis, ekonomi Indonesia semakin menampakan keterbukaannya secara penuh akibat dampak globalisasi. Perusahaan-perusahaan asing dapat secara bebas mendirikan usaha-usahanya di negeri ini tanpa sensor yang ketat, bahkan kini zero tax merupakan kebijakan yang membuat produk-produk impor begitu membanjiri arena konsumsi kita.
Begitulah kiranya sejarah perjalanan ekonomi kita secara singkat. Tidak saya gambarkan dengan panjang karena memang ini adalah artikel pendek untuk menunjang pertanyaan di awal tulisan. Maka sekarang kita masuk dalam kepentingan untuk menjawab pertanyaan kawan saya itu. Pertama ekonomi dapat dibangu dari struktur yang mikro, namun metoda ini tidak dapat digeneralisasikan untuk semua tingkatan ekonomi, karena ekonomi secara mikro hanya akan sanggup memenuhi kebutuhan sehari-hari bukan untuk mendapatkan kelebihan/surplus.Â
Surplus akan didapatkan apabila mikro-mikro ini berasosiasi. Alasannya adalah apabila terasosiasi dengan baik dan berjalan melalui rolenya ekonomi ia kemudian menjadi sebuah asosiasi yang besar akhirnya mendapatkan surplus dari usaha-usahanya. Jika dibahasakan, saya sebut ini sebagai mikro yang membangun makro. Atau apabila kita ikuti teori-teori dari ekonom-ekonom ini semacam coopertion economic.
Kedua, ekonomi sangat bisa dibangun melalui struktur makro. Pada pembangunan ini perlu kita lihat secara prinsip, bahwa karakter dan kondisi kebangunan sosial dan kegunaannya. Sejarah mencatat bahwa ekonomi kita dibangun atas kolonialisme yang panjang dan budaya imperilaisme asing yang sudah mengakar sebelumnya, perdagangan menjadi sarana utama dalam pembangunan ekonomi tempo dulu.Â
Ekspor merupakan yang terpenting pada masa penjajahan, namun para buruh, para tani, para pegawai kecil tak menemukan kesejahteraannya, lantaran sifat imperilisme penjajah itu. Mereka hanya mampu hidup untuk terus-terusan dihisap energinya. Nah, adakah kita lihat itu saat ini? Secara pasti bisa dijawab ya. Industrialis-industrialis hanya memperhatikan keuntungan yang setinggi-tingginya, namun memberikan hasil produksi serendah-rendahnya pada kaum buruh.Â
Artinya sampai disini ekonomi secara makro belum bisa mengangkat ekonomi yang mikro. Disini, jika kita kaitkan masih sangat jelas bahwa karakter imperilisme itu tetap ada sampai sekarang.
Mari kita lanjutkan, secara ideal ekonomi secara makro sangat bisa mengangkat harkat dan derajat kebangunan ekonomi kecil masyarakat. Melalui regulasi yang jelas dan meminta para pengembang perusahaan besar untuk membagi hasil produksi kita secara adil kepada para pekerjanya, dalam hal ini pemerintah harus mampu menekan perusahaan swasta agar lebih berkeadilan dalam memberikan rizki kepada rakyat. Kemudian BUMN sebagai perusahaan pemerintah harus mampu menjalankan misi sebagaimana pasal 33 UUD 1945.Â
Tak masalah BUMN berusaha dengan melakukan pengeksporan atau membuat pengelolaan produksi dalam negeri. Apa yang perlu diusahakan oleh BUMN? Bukanlah pada sektor infrastruktur sebagaimana yang dilakukan saat ini. Terlebih yang perlu diperkuat adalah BUMN di bidang eksploitasi minyak dan mineral, kemudian BUMN yang bergerak di bidang keuangan untuk membantu usaha-usaha dari aspek mikro, ini semata-mata adalah untuk membangun industri rumahan agar tumbuh besar, kemudian kokoh menjadi tonggak ekonomi bangsa.Â
Cukuplah selama ini kita berbahagia karena perbankan sudah banyak membantu usaha kecil, tapi hal tersebut belumlah banyak, perlu ditambah lagi agar tujuan ekonomi kembali bergairah. Sebetulnya masih banyak aspek kebangunan ekonomi makro untuk menumbuhkan ekonomi mikro sehingga menjadi sebuah kebangunan struktur ekonomi kebersamaan, atau ekonomi persaudaraan, atau ekonomi kesejahteraan. Mungkin akan saya tuangkan dalam artikel yang lebih panjang dan lebih komprehensip pada tulisan-tulisan lain. Ini hanyalah sekedar pengantar saja untuk menjawab pertanyaan teman.
Jadi intinya secara singkat adalah ekonomi mikro dapat tumbuh dengan adanya pengasosiasian yang didukung oleh konsistensi para usahawan yang ada dalam usaha-usaha kecil (UMKM) itu, konsep ini bersifat bottom up. Ekonomi makro juga dapat digunakan sebagai senjata untuk membangun ekonomi mikro agar ekonomi rakyat tumbuh dengan baik dan kegairahan ekonomi memberikan efek positif yang nyata di era serba kebebasan saat ini, konsep ekonomi ini bersifat top down, sehingga perlu diregulasi secara jelas dan terarah.
Demikian tulisan singkat ini semoga dapat memberi sedikit pengetahuan, walaupun masih sangat kurang sekali.
*Penulis adalah Direktur Suwaib Amiruddin Foundation (SAF) dan Dosen STISIP Setiabudhi Rangkasbitung
*Tulisan ini pernah dimuat pada kolom opini Harian Banten Pos (Grup Rakyat Merdeka) dengan judul yang sama, tanggal 29 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H