Mohon tunggu...
Zainal Muttaqin
Zainal Muttaqin Mohon Tunggu... Lainnya - Pena adalah senjata

Anggota KPU Kabupaten Serang Periode 2018-2023

Selanjutnya

Tutup

Politik

Analisa Kekuatan Politik Partai Nasionalis-Religius

21 Maret 2017   21:55 Diperbarui: 21 Maret 2017   21:59 2256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik


Keluar dari kejayaan Orde Baru dan masuk kepada Reformasi, muncul kekuatan politik baru yang mengusung kebangsaan, selajutnya menetapkan jati dirinya sebagai partai Nasionalis-Religius yaitu PKB dan PAN yang diprakarsai oleh tokoh/pemuka agama Islam, yaitu K.H. Abdurrahman Wahid dari NU dan Amien Rais sebagai tokoh Muhammadiyah. Jika dtinjau dari nama yang digunakan jelas kedua partai ini mengusung semangat kebangsaan yang begitu kuat. Hal ini tak pelak dari latar belakang historis kedua golongan Islam terbesar di Indonesia. Sehingga perolehan suara pada pemilu 1999 cukup signifikan sebagai partai baru (menempatkan posisi ke 3 & ke 5 teratas), hal ini materi yang diusung dianggap menjadi aternatif baru dari aliran poltik yang sudah ada. Nasionalis-Religius menjadi aliran pilihan baru pada alir pemikiran modern, yang menandakan adanya cita-cita bangsa Indonesia yang menambakan kesatuan kebangsaan di tanah air.


Jika ditinjau dari keberadaannya, memang Partai yang berhaluan Nasionalis-Religius tidak dapat ditemukan dalam kajian komprehensif sejarah Indonesia, hanya baru dapat kita temukan pasca lengsernya Orde Baru. Banyak kalangan juga yang mengatakan Nasionalis-Religius tidak lebih dari jargon, karena tak akan pernah sesuai dari fakta sejarah yang tersedia.

Apapun anggapan terkait Nasionalis-Religius, faktanya saat ini ada dan aktif sebagai kekuatan politik modern Indonesia. Namun dalam perjalanannya idealisme aliran partai politik ini begitu samar. Artinya, tidak memegang teguh prinsip dari platform yang diusungnya, terutama pada saat momentum pemilihan umum. Partai yang berhaluan Islam sah-sah saja melakukan koalisi dengan partai manapun jika dianggap menguntungkan, terutama dari segi basis suara, begitu pula partai yang dikenal dengan Nasionalis-Religius. Semua partai pada era ini lebih dekat kepada oportunitas (mengambil celah keuntungan). Hal tersbut dapat dilihat pada pemilu 2004 sampai 2014 lalu, dimana ketika tahun 2004 muncul partai baru (Demokrat) yang mengusung jargon Nasionalisme-Religius, namun kelahirannya sama sekali tidak dilatarbelakangi oleh kalangan agamis seperti PAN dan PKB, akan tetapi berdiri atas kaum-kaum terpelajar didikan Barat disokong oleh beberapa purnawirawan militer, sehingga basis Nasionalisme-Religiusnya diragukan banyak kalangan, walaupun tertera jelas dalam AD/ART-nya. Dengan demikian Partai Demokrat berdiri di Indonesia jelas mengambil celah keuntungan dari jargon Nasionalisme-Religiusnya, dapat dilihat perolehan suara partai ini pada tahun 2004 memperoleh lebih dari 7% suara, kemudian tahun 2009 kembali mendudukan ketua dewan Pembina Partai Demokrat pada kursi Presiden Republik Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun