Halo, sobat skeptis! Pernahkah kamu merasa bahwa mempercayai seseorang itu lebih sulit daripada memecahkan kode nuklir? Atau mungkin kamu lebih mudah percaya pada ramalan zodiak daripada janji mantan? Jika iya, selamat! Kamu mungkin sedang mengalami fenomena yang hits di kalangan Gen Z: Trust Issues!
Apa Itu Trust Issues ala Gen Z?
Bayangkan ini: kamu baru saja bertemu seseorang yang super asyik. Tapi alih-alih merasa senang, otakmu malah sibuk menyusun 1001 skenario bagaimana orang ini bisa mengecewakan atau menyakitimu. Sounds familiar? Itulah gambaran singkat tentang trust issues.
Dr. Jean Twenge, psikolog dan penulis buku "iGen: Why Today's Super-Connected Kids Are Growing Up Less Rebellious, More Tolerant, Less Happy--and Completely Unprepared for Adulthood", menjelaskan bahwa Gen Z cenderung lebih waspada dan kurang percaya dibandingkan generasi sebelumnya. Tapi kenapa bisa begitu? Mari kita kupas!
Tanda-tanda Trust Issues Gen Z: Lebih Banyak dari Jerawat Saat PMS
1. Overthinking Level: Expert
Kamu menganalisis setiap kata, emoji, dan jeda dalam chat seperti sedang memecahkan kode Da Vinci? Congratulations, you might have trust issues!
2. Stalking as a Lifestyle
Mengecek media sosial crush setiap 5 menit untuk memastikan mereka tidak berbohong tentang keberadaannya? Hmm, mungkin sudah waktunya untuk relax a bit.
3. "Prove It" Syndrome
Kamu selalu meminta bukti untuk segala hal, bahkan ketika pasanganmu bilang mereka baru saja makan? Houston, we have a problem!
4. Commitment-phobia
Kamu lebih takut pada komitmen daripada pada hantu? Well, that's a classic sign of trust issues.
5. Pencarian Validasi Tanpa Henti
Kamu terus-menerus mencari konfirmasi bahwa orang lain benar-benar peduli padamu? Ini bukan hanya kebiasaan, tapi bisa jadi tanda trust issues.
Mengapa Gen Z Rentan Terhadap Trust Issues?
1. Digital Overload
Gen Z tumbuh di era di mana informasi (dan dezinformasi) tersedia dalam hitungan detik. Menurut penelitian dari Pew Research Center, 95% remaja memiliki akses ke smartphone, dan 45% mengatakan mereka online "hampir terus-menerus". Dengan banjir informasi ini, sulit untuk tahu mana yang bisa dipercaya.
2. Social Media: The Double-Edged Sword
Media sosial memberi ilusi konektivitas, tapi seringkali malah menciptakan isolasi. Dr. Sherry Turkle, dalam bukunya "Alone Together", menjelaskan bagaimana teknologi bisa membuat kita merasa terhubung namun sebenarnya lebih terisolasi.