Ketiga, adanya ajakan untuk ganti presiden dari orator aksi. Orasi dalam Aksi Bela Tauhid itu diisi dengan anjuran untuk tidak memilih Jokowi sebagai presiden lagi dalam Pemilu 2019.
Isu yang dibangun para inisiator Aksi Bela Tauhid pun terlihat menyalahkan pemerintah yang terkesan diam atas insiden pembakaran bendera tersebut. Mereka juga menyebut bahwa pemerintahan Jokowi ini pro-pembakar bendera, sehingga sama saja bahwa rezim Jokowi ini adalah musuh agama Islam, musuh umat Islam.
Ya, seperti itulah isu yang hendak dibangun. Taktik ini persis seperti yang dilakukan untuk menggulingkan Basuki Tjahaja Purnama ketika Pilkada DKI Jakarta lalu.
Melihat kemiripan kasus ini, maka sulit bagi kita untuk membantah bahwa inisiden pembakaran bendera HTI di atas hendak 'digoreng' dengan provokasi isu SARA dan ujaran kebencian guna menjatuhkan nama dan posisi Jokowi sebagai Capres petahana. Tak salah lagi, Jokowi berusaha di-Ahok-kan.
Quo Vadis Pemilu 2019: Isu Sara vs Kompetisi Sehat?
Diakui atau tidak, kita saat ini berada di persimpangan jalan untuk membawa arah republik ini. Selain memilih Presiden, kita juga berada di antara simpangan jalan soal cara berpolitik.
Apakah kita akan berkompetisi dengan terus berbasis Isu SARA dan kebencian, atau pilihan rasional sebagaimana yang ditawarkan oleh sistem demokrasi. Tindakan kita untuk merapat ke dalam satu kubu tertentu akan menentukan orientasi cara berpolitik ini.
Pemilu 2019 ini juga akan menjadi pilihan bagi kita, apakah momentum ini akan digunakan untuk memperkuat bangunan kebangsaan, nasionalisme, dan kebhinekaan, atau hanya sekadar lips service berbasiskan kebencian identitas dan SARA?
Kita yang akan menentukan sendiri setelah melihat penjelasan di atas.