Kali ini aku merasa malu ketika liputan. Malu bukan karena ulah atau kekonyolanku di depan narasumber. Tapi karena hal luar biasa yang baru aku jumpai dalam hidupku.
Kemaren, aku dan kameramenku, Yanda berencana liputan ke panti asuhan tuna netra. Panti ini terletak di Kampung Lalang, Km 15, Medan – Binjai. Oke, mungkin terdengar biasa jika mendengar kata panti untuk anak-anak tuna netra. Tapi, apakah biasa saja jika mengetahui kalau para penghuni panti adalah para hafiz (penghapal) Al Quran?? INI LUAR BIASA!!!
Selasa, sekitar jam 3 siang kami sampai di depan rumah yang disulap jadi panti asuhan ini. Dari halaman rumah, sayup-sayup aku mendengar suara salah satu santri yang melafalkan surah An – Naba’. Pelafalannya tidak terbata-bata, pun tajwid-nya sempurna. Semakin penasaran, aku dan Yanda mengetuk pintu yang sedikit terbuka. Sembari mengucap salam, aku melongokkan kepala ke dalam. Kulihat, seorang ustadz duduk di lantai bersama 5 orang anak.
Aku tersenyum. Ustadz Nasrullah yang menjadi pembimbing para santri ini menjawab salamku seraya tersenyum. Ia mempersilahkan kami masuk. Aku duduk di kursi rotan yang disusun sederhana di dekat pintu masuk. Biasanya setiap liputan, aku langsung lasak dan bertanya macam-macam dengan narasumber. Sementara Yanda sibuk ngambil gambar. Kali ini tidak, aku cuma terdiam dan memperhatikan 5 orang anak tuna netra di hadapanku ini dengan lancarnya melafalkan ayat-ayat suci Al quran dari mulut mereka. “Subhanallah, Subhanallah.... betapa besar karuniamu Rabb,” cuma itu yang aku ucapkan dalam hati, berulang-ulang.
Aku merasa malu sendiri. Dengan keterbatasan mereka, mereka BISA MENGHAPAL ayat suci Al quran. Sementara aku? Rasanya aku perlu berkaca di kaca yang besarnya sebesar pintu! Biar aku tau, biar aku nggak lagi mengeluh!
Usai menghapal, barulah ustadz Nasrullah memperkenalkan mereka satu persatu. Dimulai dari yang paling besar, yaitu Kiki , Iqbal, Wahyu, Yuni, dan Nur. Tanpa kuduga, sambutan mereka sangat hangat. Mereka juga komunikatif. Aku senang ngobrol dengan mereka. Aku tanyai macam-macam. Misalnya soal cita-cita, ternyata Kiki pengen kali jadi drummer, dan Nur pengennya jadi guru Matematika. Sementara itu Yuni, Wahyu, dan Iqbal pengennya jadi guru ngaji. Iseng kutanya kenapa mau jadi guru ngaji, terus Wahyu nyeletuk, “Biar bisa ngajarin anak-anak tuna netra lainnya belajar membaca Al quran, kak.” Subhanallah... nyesss kali jawaban anak ini, bikin aku speechless, bingung mau bilang apa lagi. Kalo bukan dalam rangka liputan, mungkin aku udah termehek-mehek dengar pengakuan mereka.
Aku tanya lagi tentang pekerjaan orang tua mereka. Ternyata, mereka berasal dari keluarga yang kurang mampu. Orang tua mereka ada yang bekerja sebagai buruh cuci, tukang becak, dan tukang babat rumput. Bahkan ibunya Kiki sudah lama meninggal.
Oh ya, aku juga tanyain hal yang sangat sepele, semisal makanan kesukaan mereka. Di luar dugaanku, makanan kelima anak-anak ini sangat sederhana. Ada yang suka makan pisang, risol, bakwan, bahkan ubi. Coba aku tanyain pertanyaan serupa ke anak-anak lain, mungkin makanan ini jarang jadi makanan kegemaran mereka.
Yeah, liputanku yang sebentar ini udah sangat cukup menyisakan pelajaran berharga dalam hidupku. Aku tau aku malu, pertama dari segi agama, aku sungguh sangat jauh tertinggal dari mereka. Kedua, keterbatasan mereka itu yang membuat mereka jadi kuat, membuat mereka tegar. Semangat belajar mereka, semuanya.. Sementara aku? Ah.. sudahlah.. biar ini jadi catatan penting buatku.
Tapi yang jelas, aku bersyukur dapat ‘tamparan’ sederhana yang lagi-lagi membuka mata hatiku. Allah selalu punya cara lain untuk memberi jalan kepada hambanya, aku percaya itu. Semoga kisah ini bisa menjadi teladan dan inspirasi untuk kawan-kawan lainnya.
Sekali lagi, terima kasih ya adik-adikku sudah buat aku ‘malu’
Medan, 24 Juni 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H