[caption id="" align="aligncenter" width="475" caption="Pertemuan pimpinan KPK-Polri (photo, Antara/Agung Rajasa)"][/caption] Presiden  SBY lagi-lagi diminta tegas oleh banyak pihak untuk turun tangan menangani sengketa wewenang dua institusi penegak hukum (KPK-POLRI). Namun, Pak SBY sepertinya tidak ingin masuk terlalu jauh ikut campur dalam kasus simulator yang melibatkan sejumlah petinggi Polri. Sebetulnya Pak SBY, seperti kebiasaan, sempat menghimbau para aparat untuk tidak saling jegal untuk urusan penanganan masalah hukum. Tapi sepertinya Polri tidak mengindahkan himbauan itu. Namanya juga himbauan, bisa dilaksanakan bisa juga tidak. Berita pagi ini (kompas, 7/8) datang dari Menkumham, Amin Syamsudin yang secara tegas menyatakan bahwa pak SBY tidak perlu ikut campur dalam urusan ini, karena menurutnya aparat penegak hukum harus bisa menyelesaikan sendiri sengeka ini, dengan kata lain menteri Amir ingin mengatakan, "masak setiap sengketa aparat pak SBY harus ikut campur, biarlah mereka selesaikan sendiri". Komentar menteri dari politisi demokrat ini memang bukan sesuatu yang perlu diributkan, tapi sebagai masyarakat kita juga patut berhati-hati dengan komentar seperti ini sebab ada kecenderungan untuk "membiarkan" sengketa institusi berlarut, apalagi yang bicara beda tipis antara sebagai menteri atau sebagai kader partai. Maukah kita sengketa aparat penegak hukum kontra KPK kecintaan masyarakat berlarut? Jawabannya tentu saja tidak. Sebab sayang jika energi KPK terkuras sia-sia hanya menangangi sengketa wewenang yang sebetulnya sudah jelas sejak KPK dibentuk. KPK dibentuk berdasarkan undang-undang untuk memecah kebuntuan aparat hukum yang gagal menyelesaikan masalah korupsi. Kini giliran KPK mengendus korupsi di lingkaran Polri maka secara asas kekhususuan (lex specialis) KPK sangat lebih berwenang melanjutkannya ke tahap selanjutnya. Adapun jika ada yang mengarahkan isu wewenang ini ke presiden atau MK itu lagi-lagi menguras energi KPK. Jika dibiarkan terus maka deretan kasus Hambalang, Wisma Atlit, Century, Skandal Buol dan deret kasus lainnya yang melibatkan para politisi hitam baik dari partai demokrat atau partai lainnya bisa berakhir sia-sia, bak pepesan kosong. Tentu saja, drama KPK-Polri atau dulu kita suka menyebutnya Cicak-Buaya bagi sebagian pihak seperti politisi hitam yang terjerat skandal ingin agar kasus ini terus disorot media dan publik perlahan lupa akan kasus yang mellibatkan mereka, bagi politisi hitam citra diri dan partai lebih penting ketimbang masa depan republik, hari ini sekali masyarakat lengah, maka di masa mendatang mereka akan kembali dengan iklan kepura-puraan bak pahwalan kesiangan. KPK adalah milik publik, Polri juga milik publik. Jadi, kepada kedua pimpinan lembaga inilah kita berharap. KPK harus terus maju memimpin pemberantasan korupsi simulator, sementara Polri juga harus rela jenderal mereka disidang oleh KPK jika ingin kredibilitas dan citra mereka tidak semakin buruk di mata publik. Pesan 2014 jangan ulangi memilih pemimpin yang terlalu lambat mengambil keputusan lantaran terlalu sibuk untuk urusan partai yang membosankan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H