Mohon tunggu...
Ziyaad AfraAss
Ziyaad AfraAss Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

olahraga

Selanjutnya

Tutup

Analisis

konflik agraria rempang: antara pembangunan dan hak masyarakat

28 Januari 2025   12:50 Diperbarui: 28 Januari 2025   12:42 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Konflik Agraria Rempang: Antara Pembangunan dan Hak Masyarakat

Pembangunan Kawasan industry Pulau Rempang, Kota Batam menimbulkan konflik sengketa tanah antara masyarakat dengan pemerintah. Pembangunan ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia dengan Singapura dengan mendirikan kawasan industri, perumahan serta fasilitas infrastruktur yang akan mendukung program pembangunan nasional. Namun, langkah pemerintah dalam mengeksekusi proyek tersebut telah menimbulkan ketegangan. Masyarakat lokal menganggap tanah tersebut merupakan warisan leluhur, sedangkan di sisi lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan membuat tanah tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat.

Rempang merupakan sebuah pulau yang memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, serta menjadi tempat tinggal bagi berbagai suku, terutama suku Melayu dan beberapa kelompok masyarakat lainnya. Wilayah ini juga kaya akan sumber daya alam, termasuk lahan yang subur untuk pertanian dan kelapa sawit. Seiring dengan berkembangnya kebutuhan untuk pembangunan dan ekonimi Indonesia, pemerintah berencana untuk membangun Kawasan industry Rempang Eco-City yang melibatkan beberapa perusahaan besar.

Proyek ini mendapat protes keras dari masyarakat lokal. Sebagian besar dari mereka telah lama tinggal di wilayah Rempang dan memiliki hak atas tanah yang kini akan dibangun oleh pemerintah. Pemerintah berencana untuk menggusur masyarakat lokal demi Pembangunan yang dianggap akan meningkatkan ekonomi Kawasan, tetapi masyarakat menganggap langkah tersebut tidak hanya merampas hak mereka atas tanah, tetapi juga mengancam mata pencaharian mereka.

Bagi masyarakat Rempng, tanah bukan sekedar tempat tinggal atau lahan pertanian, melainkan juga bagian dari identitas budaya mereka. Banyak dari mereka yang hidup dari hasil bumi dan nelayan tradisional, yang sangat bergantung pada kelestarian alam sekitar. Dengan adanya rencana Pembangunan yang berpotensi akan merusak ekosistem, banyak masyarakat yang khawatir akan kehilangan mata pencaharian mereka dan bahkan budaya mereka yang sudah ada sejak lama. Proyek yang besar sering kali melibatkan pemaksaan relokasi bagi masyarakat yang tidak setuju, sementara pemerintah lebih mengutamakan kepentingan investasi dan pengembangan ekonomi.

Masyarakat yang terlibat dalam konflik agrarian ini merasa bahwa mereka tidak diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan Keputusan yang akan mempengaruhi hidup mereka. Banyak yang merasa bahwa kepentingan mereka tidak diperhitungkan dalam perencanaan Pembangunan yang lebih besar. Tanpa adanya dialog yang efektif, ketegangan antara pemerintah dengan masyarakat terus meningkat.

Dikutip dari laman Universitas Gadjah Mada Fakultas Hukum, pada tahun 2023 Komnas HAM menerima tambahan pengaduan konflik agrarian yang signifikan sebanyak 692 kasus. Secara kumulatif, pada periode Januasi 2021 sampai 31 Angustus 2023, jumlah aduan konflik agrarian mencapai 1.532 kasus. Menurut laman Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, selanjutnya, warga mengadukan kekerasan fisik yang mereka alami pada 18 September 2024, saat itu ada tiga orang warga yang mengalami luka, satu di antaranya mengalami patah tangan. Selain itu masyarakat Rempang juga mengabarkan bahwa mereka tidak nyaman dan terintimidai oleh keberadaan pegawai sebuah perusahaan yang menempati rumah warga yang sebelumnya sudah setuju relokasi.

Aduan konflik agrarian rempang ini kian hari semakin menumpuk di Komas HAM, karena resolusi yang ada tidak memadai. Dikutip dari laman Universitas Gadjah Mada Fakultas Hukum, dalam konteks aduan konflik agrarian terbanyak, sebanyak 80% merupakan konflik lahan. Lebih lanjut, Komnas HAM menilai konflik agraria yang masuk terkait dengan kebijakan dan keputusan pemerintah yang gagal menghadirkan keadilan bagi masyarakat.

Konflik agrarian di Rempang menunjukkan kompleksitas permasalahan antara Pembangunan ekonomi dan hak-hak masyarakat adat. Sengekata tanah ini menggambarkan betapa pentingnya dialog yang terbuka antara pemerintah dengan masyarakat dalam setiap proses pembangunan. Ketika pembangunan tidak menghargai prinsip HAM, maka sama saja dengan eksploitasi. Masyarakat yang terlibat dalam konflik ini harus dihargai hak-haknya, sementara pemerintah juga perlu mempertimbangkan dampak social dan lingkungan dari proyek-proyek pembangunan.

Agar pembangunan dapat berjalan dengan adil dan berkelanjutan, perlu ada keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan perlindungan hak-hak masyarakat. Pembangunan yang baik adalah pemabngunan yang menghormati hak asasi manusia, termasuk hak atas tanah dan kehidupan yang layak bagi masyarakat lokal.

Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun