Pernahkah kita sadari mengapa kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih banyak terjadi di berbagai belahan dunia? Salah satu akar masalah yang sering dilupakan adalah kontruksi gender yang menciptakan fenomena fatherless dan memicu terjadinya kekerasan. Kontruksi gender merupakan proses sosial yang membentuk pemahaman kita tentang maskulinitas dan feminitas. Kontruksi gender seringkali menempatkan laki-laki pada posisi dominan dan perempuan pada posisi dibawahnya.
Menurut Andersen (1983: 274) dalam pandangan Feminis Marxis dan Sosialis, perempuan yang berada dalam kultur patriarki diposisikan sebagai manusia kelas kedua. Keberadaan dan perannya pun bersifat sekunder. Laki-laki yang menempati posisi utama dan dominan. Sehingga dalam hubungan ini, perempuan dibutuhkan hanya untuk membantu dan melengkapi tugas laki-laki. Kondisi yang demikian kemudian membentuk pola hubungan kerja yang memihak dan mengutamakan laki-laki baik di dalam keluarga maupun tempat kerja. Tidak mengherankan jika 90 persen pembunuhan yang terjadi di dunia dilakukan oleh laki-laki seperti yang diungkapkan Jesse Prinz Ph.D, profesor dari City University of New York yang mempelajari tentang persepsi, emosi, dan kebudayaan.
Apa hubungannya dengan fatherless? Anak laki-laki yang tumbuh tanpa figure ayah yang sehat cenderung mencotohkan perilaku agresif dan dominan dari lingkungan sekitarnya, mungkin mereka belajar bahwa kekerasan adalah cara yang sah untuk menyelesaikan masalah. Hal ini juga mengurangi perasaan empati, tanpa contoh empati dari seorang ayah, laki-laki mungkin kesulitan memahami perasaan orang lain terutama wanita.
Dampak kontruksi gender terhadap kehidupan
Ketidaksetaraan Gender, Kekerasan berbasis gender sampai yang Patriarki menciptakan stereotip gender yang kaku, misalnya laki-laki harus kuat dan tidak boleh menunjukkan emosi, sedangkan perempuan harus lembut dan mengalah.
Stereotip ini dapat menyebabkan miskomunikasi karena adanya keterbatasan berkomunikasi. Bahasa yang digunakan laki-laki dan perempuan seringkali juga berbeda. Laki-laki cenderung menggunakan bahasa yang asertif dan langsung, sedangkan perempun menggunakan bahasa yang lebih halus dan tidak langsung, hal ini juga dapat menyebabkan kesalahpahaman.
Didalam masyarakat, laki-laki seringkali diasumsikan  memiliki otoritas yang lebih tinggi, membuat perempuan merasa tidak nyaman dan merasa takut untuk menyampaikan pendapat atau mengajukan pertanyaan.
Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasinya
- Mendorong kesetaraan gender dalam semua aspek kehidupan.
- Hormati perbedaan pendapat dan pengalaman, selalu ingat bahwa setiap orang memiliki perspektif unik.
- Meningkatkan kesadaran masyarakat agar sadar akan dampak buruk dari fatherless patriarki.
- Mendukung korban KDRT, mereka berhak mendapatkan dukungan dan perlindungan
- Mencegah kekerasan sejak dini dengan mendidik tentang gender dan hubungan yang sehat sedari dini
Struktur sosial sering menempatkan pria dalam posisi kekuasaan lebih tinggi, sehingga membuat mereka merasa harus menahan emosi agar tidak terlihat lemah. Laki-laki dengan kodratnya yaitu sebagai pemimpin atau kepala keluarga harus mempunyai kesadaran penuh jika perannya sangat penting baik dalam keluarga maupun bermasyarakat.
(Referensi : https://www.halodoc.com/artikel/kenapa-pelaku-kdrt-lebih-sering-laki-laki
http://repository.uin-malang.ac.id/7831/1/7831.pdf)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H