Mohon tunggu...
Zidny Hernuadi
Zidny Hernuadi Mohon Tunggu... -

INTJ. Belajar menulis. Mempersiapkan diri untuk masa depan. Tertarik pada isu-isu sosial, politik, ekonomi dan pendidikan.\r\nMemimpikan Indonesia yang sejahtera.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemenangan Aher: Kekalahan Warga Jawa Barat dan Lubang pada Sistem Pemilihan Kepala Daerah

10 Maret 2013   00:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:03 1269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Usai sudah pemilihan kepala daerah Jawa Barat periode 2013-2018. KPUD Jabar  telah resmi menetapkan pasangan nomor urut empat, yakni calon gubernur petahana Ahmad Heryawan (Aher) dan calon wakil gubernur Deddy Mizwar sebagai pemenang pemilihan kepala daerah (pilkada) Jabar dengan perolehan 6.515.313 suara (32,9%). Memperoleh suara terbanyak kedua adalah pasangan Rieke Diah Pitaloka-Teten Masduki sebanyak 5.714.997 suara (28,41%).

Ketika melihat kemenangan Aher sebagai gubernur Jabar ini, terbersit pikiran yang kemudian membuat saya mempertanyakan kemampuan sistem pemilu kita untuk menyaring pemimpin yang dipercaya oleh rakyat. Mengapa demikian?

Bila kita melihat hasil pilkada Jabar dan kesesuaiannya dengan aturan pilkada, maka kemenangan Aher adalah suatu hal yang sah. Pilkada Jabar mempertandingkan 5 pasangan calon, dan pada akhir pertandingan tersebut Aher memperoleh suara terbanyak lebih dari 30%. Pasal 46, Peraturan KPU no 16/2010 ayat (2) mengatakan bahwa pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 30% (tiga puluh persen) dari jumlah suara sah, pasangan calon yang perolehan suaranya terbesar ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih.

Bila merujuk pada aturan tersebut maka kemenangan Aher adalah sah secara hukum. Pertanyaannya kemudian, apakah legalitas hukum pada kemenangan tersebut sejalan dengan keinginan masyarakat dalam memilih pemimpin?

Mari kita geser sedikit sudut pandang kita dalam melihat situasi ini. Ahmad Heryawan memang mendapatkan 32% suara mengungguli pasangan lainnya. Tapi jika kita melihat angka tersebut dari sisi kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan Aher sebagai petahana, maka itu berarti hanya 32% masyarakat Jabar yang puas dengan kepemimpinan petahana. 68% sisanya tidak puas dan berharap Jabar memiliki pemimpin baru.  Artinya suara mayoritas yang menginkan perubahan justru kalah dengan suara minoritas. Ironis.

Inilah yang saya maksud pada judul tulisan ini bahwa kemenangan Aher adalah kekalahan masyarakat Jawa Barat , yang mayoritas menginginkan perubahan kepemimpinan. Pemimpin yang oleh mayoritas masyarakat dianggap gagal bisa kembali memimpin karena lubang pada sistem pilkada kita memungkinkan terjadinya hal tersebut.

Bagaimana kita bisa memperbaiki hal ini?

Pada dasarnya kita perlu membuat suatu sistem yang mencegah pemimpin yang dianggap gagal untuk kembali memimpin. Ada dua cara yang mungkin bisa kita lakukan. Cara pertama adalah mengadakan pemungutan suara pendahuluan yang dilakukan sebelum pilkada, dengan tujuan untuk menyerap aspirasi rakyat terhadap kinerja petahana selama 1 periode. Dalam pemungutan suara pendahuluan tersebut masyarakat diminta untuk memilih 1 dari 2 pilihan, yaitu apakah puas dengan kinerja petahana dan memberikan kesempatan yang bersangkutan untuk kembali mencalonkan diri, ataukah pilihan kedua tidak puas dengan kinerja petahana dan tidak mengijinkan petahana maju dalam pilkada berikutnya.

Bila mayoritas (50% + 1 suara) masyarakat menyatakan puas maka petahana diperbolehkan mencalonkan kembali, namun sebaliknya bila masyarakat tidak puas, maka undang-undang harus melarang petahana untuk mencalonkan diri. Dengan dijalankannya sistem ini maka rakyat punya hak penuh untuk menilai dan/atau menghukum kinerja pemimpin mereka.

Kelemahan sistem tersebut tentunya adalah biaya pilkada yang semakin mahal karena perlu diadakan dua kali pemungutan suara, satu untuk penilaian kinerja petahana dan satu lagi untuk pemilihan kepala daerah.

Cara kedua menawarkan sistem yang lebih efisien, namun mekanismenya tidak jauh beda dengan cara pertama. Yang membedakan hanyalah pemungutan suara terhadap kinerja petahana dilakukan bersamaan dengan pilkada. Pada sistem ini petahana diperbolehkan untuk mengikuti pilkada, namun untuk kembali terpilih dia tidak hanya harus mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan kepala daerah, namun juga harus mendapatkan suara kepuasan dari mayoritas masyarakat.

Bila kita gunakan pilkada Jabar 2013 ini sebagai contoh kasus, maka meskipun Aher mendapat suara terbanyak, dia tidak bisa menjadi pemenang pilkada bila mayoritas masyarakat menyatakan tidak puas dengan kepemimpinan beliau selama periode sebelumnya. Dan bila ini terjadi, maka pasangan berikutnya yang berhak menjadi pemenang pemilihan kepala daerah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun