Mohon tunggu...
Zidny Hernuadi
Zidny Hernuadi Mohon Tunggu... -

INTJ. Belajar menulis. Mempersiapkan diri untuk masa depan. Tertarik pada isu-isu sosial, politik, ekonomi dan pendidikan.\r\nMemimpikan Indonesia yang sejahtera.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena Jokowi-Ahok dan Harapan Baru Demokrasi Indonesia: Partai Vs Rakyat (2-habis)

11 Agustus 2012   00:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:57 1984
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Saya melihat bahwa pada akhirnya apa yang terjadi di Jakarta ini bukan lagi masalah dukung-mendukung calon, tapi lebih besar lagi adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan politik rakyat dari tangan partai.'

-Quote-



Hasil putaran pertama pilkada DKI membalikkan prediksi pengamat-pengamat politik dan menjungkirkan hasil perhitungan banyak lembaga survei. Pasangan Fauzi Bowo (Foke) - Nachrowi Ramli (Nara) yang diperkirakan bakal unggul bahkan akan mendapat lebih dari 50% suara ternyata terjungkal oleh pasangan Jokowi-Ahok.

Ada hal yang menarik perhatian saya dari hasil putaran pertama ini. Pada pilkada DKI kali ini, sebenarnya Foke-Nara merupakan calon yang paling banyak mendapatkan dukungan dari partai-partai politik. Bahkan partai-partai politik yang berkoalisi mendukung pasangan tersebut bukanlah partai-partai gurem melainkan partai-partai ‚raksasa‘ seperti Hanura, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, termasuk juga partai pemenang pemilu 2009 lalu, Partai Demokrat. Namun menariknya jumlah suara yang diperoleh Foke-Nara pada putaran pertama tidak berjalan paralel dengan jumlah suara yg dimiliki partai-partai pendukungnya tersebut pada pemilu 2009 lalu.

Foke-Nara yang didukung oleh partai-partai peraup 47% suara pada pemilu 2009 hanya mendapatkan 32% suara pada pilkada kali ini, sementara Jokowi-Ahok yang partai-partai pendukungnya hanya meraup 15% suara pada pemilu 2009 berhasil meraih 42% suara. Fakta lain adalah bahwa 49% pendukung Demokrat yg partainya mengusung Foke justru mengalihkan suaranya pada pasangan Jokowi-Ahok. Suara dari pendukung demokrat untuk Jokowi-Ahok ini justru lebih besar dari suara untuk Foke-Nara yang hanya sebesar 42%.

Fakta ini bagi saya menunjukkan pertama, bahwa pilihan atau suara partai-partai tersebut bisa dikatakan sama sekali tidak mewakili suara masyarakat. Konkretnya adalah calon yang dimajukan partai bukanlah calon yang diinginkan oleh masyarakat. Yang kedua, hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah cerdas dan tidak mau lagi didikte oleh pilihan partai. Meskipun pada pemilu lalu mereka memilih partai A, tidak berarti pada pilkada kali ini mereka harus memilih kandidat yang didukung partai A.

Sebenarnya selama ini dalam pilkada dan pemilu di Indonesia, rakyat memang hampir-hampir tidak memiliki peran aktif seperti yang seharusnya terjadi pada satu sistem demokrasi. Mulai dari pemilihan calon legislatif atau kepala daerah, bisa dikatakan rakyat tidak dilibatkan dalam proses penyerapan aspirasi. Dalam proses kampanye, rakyat pun lebih banyak berfungsi sebagai ‚penggembira‘. Demikian halnya dengan hasil dari produk demokrasi yang hanya dinikmati segelintir orang yang mewakili partai, sementara rakyat hanya berperan sebagai penonton di luar sistem.

Dalam bahasa berbeda dapat dikatakan juga bahwa selama ini rakyat hanya berperan sebagai alat legitimasi partai. Partai memajukan orang-orang pilihan mereka sebagai calon legislatif atau kepala daerah, dan rakyat, ibarat cap stempel seorang kepala RT, hanya diminta untuk melegalisasi orang-orang pilihan partai untuk menduduki kursi kekuasaan, tanpa peduli bahwa orang-orang tersebut tidak diinginkan rakyat atau bahkan tidak dikenal rakyat.

Namun apa yang terjadi pada pilkada DKI kali ini tidak sama. Rakyat Jakarta (yang juga didukung rakyat dari daerah-daerah lain) seperti sedang ingin melakukan pemberontakan pada hegemoni partai. Persepsi saat ini bahwa partai politik adalah roda utama bahkan satu-satunya penggerak politik Indonesia ingin mereka porak-porandakan. Rakyat ingin mengambil alih peran tersebut, peran sebagai penentu arah demokrasi bangsa.

Dimulai dari pengajuan calon, pencalonan Jokowi-Ahok sebagai cagub-cawagub DKI sangat berbeda dengan apa yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya. Pencalonan mereka berangkat dari keinginan rakyat yang didasari atas rekam jejak kinerja mereka ketika memimpin di daerah. Meskipun pencalonan mereka juga dilakukan melalui partai, namun berhasilnya mereka menjadi calon partai tidak lepas atas dukungan masif masyarakat.

Tidak hanya berdasarkan rapat internal dan deal-deal antar partai seperti yang terjadi pada kandidat dari parpol lain, pada pencalonan Jokowi-Ahok rakyat berperan besar dalam mendorong pencalonan mereka. Dan tidak peduli bahwa calon mereka hanya didukung dua partai yang hanya mendulang sedikit suara pada pemilu 2009, rakyat tetap konsisten mendorong sekuat tenaga supaya calon mereka bisa memenangkan pilkada DKI.

Pada pelaksanaan kampanye Jokowi-Ahok pun masyarakat tidak lagi hanya mengambil peran sebagai penggembira, namun turut aktif berpartisipasi memperkenalkan sosok pasangan Jokowi-Ahok kepada masyarakat. Mesin politik yang dimotori para relawan menjadi ujung tombak kampanye Jokowi-Ahok di DKI.

Mereka bergerak kemana-mana, dan ada dimana-mana. Mulai dari sudut-sudut paling elit hingga pojok-pojok terkumuh ibukota. Mulai dari gedung-gedung megah hingga bantaran kali dan bawah jembatan layang. Media kampanye mereka pun beragam, mulai dari tatap muka langsung dengan kalangan akar rumput hingga tulisan-tulisan pada media sosial, blog, maupun forum online.

Hal lain yang juga penting dan bagi saya menggembirakan adalah banyaknya warga yg kembali ikut mencoblos. Mereka yang dahulu golput kembali lagi mengambil perannya sebagai pemilih. Mereka tidak lagi acuh. Mereka pergi dan mendatangi TPS-TPS untuk menggunakan hak pilih mereka. Satu bentuk dukungan yang besar dari mereka bagi pasangan Jokowi-Ahok.

Sungguh fenomena Jokowi-Ahok ini telah berhasil mengembalikan dan mendorong peran masyarakat untuk mengambil kontrol pada proses demokrasi bangsa.

Saya melihat bahwa pada akhirnya apa yang terjadi di Jakarta ini bukan lagi masalah dukung-mendukung calon, tapi lebih besar lagi adalah bagaimana mengembalikan kedaulatan politik rakyat dari tangan partai. Dan gejala ini bisa menjadi pemicu gejala serupa di daerah-daerah. Jokowi-Ahok yang secara disadari atau tidak sudah menjadi model pemimpin yang diiinginkan oleh masyarakat Indonesia, serta perjuangan masyarakat Jakarta dan Indonesia secara umum untuk menjadikan Jokowi-Ahok menjadi pemimpin Jakarta, akan menjadi contoh bagi masyarakat daerah bagaimana seharusnya mereka memilih dan memperjuangkan calon pemimpin mereka.

Pada putaran kedua Pilkada ini, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan secara resmi telah mengalihkan dukungannya pada pasangan yang pada putaran pertama mereka hujat habis-habisan, Foke-Nara. Partai Keadilan Sejahtera masih menimbang pada pasangan mana dukungan mereka akan mereka berikan. Yang jelas, dengan pindahnya dukungan Partai Golkar dan PPP pada Foke-Nara, maka pada putaran kedua akan semakin sengit head-to-head antara partai vs rakyat. Dukungan mereka pada calon yang tidak diinginkan rakyat telah menunjukkan secara terang bahwa partai sedang menantang rakyat. Rakyat pun, seperti yang banyak ditunjukkan oleh banyaknya tulisan mereka di blog-blog maupun forum-forum, tidak gentar untuk menantang balik partai politik.

Kita patut menunggu hasil duel ini pada putaran kedua pilkada DKI nanti. Bila pada akhirnya Jokowi-Ahok yang menang, maka rakyat dapat mulai mengatakan bahwa merekalah pemilik sebenarnya demokrasi Indonesia. Dan ini bisa menjadi tekanan bagi partai-partai politik untuk berubah menjadi lebih peka pada aspirasi masyarakat. Kemenangan Jokowi-Ahok juga akan semakin membuktikan tegasnya garis pemisah antara aspirasi rakyat dengan kepentingan pragmatis partai. Bukti bahwa selama ini partai selalu mengambil posisi berseberangan dengan rakyat. Tapi bila yang terjadi sebaliknya dimana Foke-Nara menang, maka partai bisa kembali mengklaim bahwa mereka masih pemilik kekuatan untuk mengontrol jalan politik Indonesia.

Apapun hasil pilkada DKI nantinya, setidaknya sampai hari ini pilkada DKI sudah berhasil memberikan kepada kita semua masyarakat Indonesia harapan dan pelajaran. Harapan bahwa bukan hal yang mustahil bagi kita untuk memiliki pemimpin yang amanah seperti yang kita impikan selama ini, dan pelajaran bahwa seorang pemimpin yang baik tidak akan datang kecuali atas perjuangan masyarakatnya.

Satu hal yang pasti, perjuangan demokrasi kita tidak akan berhenti sampai disini saja karena perjalanan serta tantangan yang menanti bangsa ini masih membentang panjang.

bagian pertama tulisan ini,

http://politik.kompasiana.com/2012/08/09/fenomena-jokowi-ahok-dan-harapan-baru-demokrasi-indonesia-1/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun