Mohon tunggu...
ZIEL MAHQWA SUNARTO UINJKT
ZIEL MAHQWA SUNARTO UINJKT Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa agribisnis

Seorang mahasiswa agribisnis yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

MENENGOK KONVERSI LAHAN TANI DI INDONESIA

10 Juli 2021   13:52 Diperbarui: 10 Juli 2021   14:00 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dikenal sebagai negara agraris oleh dunia. Negara yang mempunyai segudang emas sumber daya pertanian di daratan maupun di lautan. Pada masanya, agraria Indonesia memang pernah jaya. Namun kini, Indonesia telah kehilangan jati dirinya. Jangankan berbicara eskpor, swasembada pangan yang diharap akan kembali terulang pun tidak pernah terulang. Padahal, kelangkaan pangan merupakan risiko bagi keberlangsungan sebuah bangsa.

Alih fungsi lahan pertanian pangan merupakan risiko besar yang mengakibatkan redupnya kemandirian dalam pemenuhan pangan sebuah bangsa. Bila didiamkan maka Indonesia akan bergantung pada pangan impor. Indeks daya tahan (resilience) sumber daya alam Indonesia —termasuk pemeliharaan lahan pertanian— sangat lemah. Pada tahun 2017, The Economist menempatkan Indonesia pada ranking ke-109 dari 113 negara terpilih. Pada tahun 2018 posisi Indonesia berada pada peringkat 111 dari 113 negara tepilih, dengan skor 43,9 dari 100 yang diharapkan. Dalam hal ini The Economist (2017), juga memberikan catatan khusus bahwa Indonesia telah gagal memelihara lahan sawah (grassland). Indonesia perlu mengembangkan politik agraria yang lebih efektif, termasuk meningkatkan hasil padi bagi keluarga tani gurem (subsistence crop).

Secara faktual memang luas lahan pertanian di Indonesia terus mengalami penurunan. Hasil sensus pertanian tahun 1983 menunjukkan bahwa lahan pertanian seluas 16.704.272 ha, menurun menjadi 15.424.004 ha pada tahun 1993, anjlok menjadi 14.139.895 ha pada tahun 2003, dan meluncur tidak terkendali pada tahun 2013 menjadi 8.685.888,7 ha. Pada Sensus Pertanian tahun 2023 diperkirakan luas lahan pertanian akan semakin berkurang. (Maman et al., 2017)

Salah satu penyebab dari konversi lahan adalah karena faktor globalisasi yang sudah marak terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Apriyana (2011), menyebutkan bahwa konversi lahan sawah akan terjadi di berbagai daerah, baik yang dekat atau jauh dari ibu kota. Dua daerah yang dekat dari Jakarta dan berpotensi mengalami penurunan luas lahan pertanian adalah Cianjur dan Tangerang; sedangkan daerah yang jauh dari ibu kota yang memiliki kecenderungan kuat mengalami konversi lahan adalah Mojokerto. Maka tidak heran prediksi mengkhawatirkan dalam sensus pertanian nanti tahun 2023, Indonesia akan semakin kehilangan sawah dan indeks ketahanan sumber daya alam dan lahan semakin melemah. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi terkoordinasi dan studi penyelesaian terintegrasi antar elemen bangsa.

Konversi lahan pertanian pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sektor pertanian dan sektor nonpertanian. Menurut Irawan (2016), persaingan dalam pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu : (a) keterbatasan sumberdaya lahan, (b) pertumbuhan penduduk, dan (c) pertumbuhan ekonomi. Di setiap daerah, luas lahan yang tersedia relatif tetap atau terbatas sehingga pertumbuhan penduduk akan meningkatkan kelangkaan lahan pertanian. Sementara itu pertumbuhan ekonomi cenderung mendorong permintaan lahan untuk kegiatan nonpertanian dibanding permintaan lahan untuk kegiatan pertanian hal ini dikarenakan permintaan produk nonpertanian lebih elastis terhadap pendapatan. Faktor-faktor di atas merupakan faktor lingkungan dan eksternal yang sebenarnya dapat dicegah melalui kebijakan-kebijakan pemangku kepentingan negeri ini.

Sumber daya kuat yang masih dihandalkan negara adalah para petani. Kebijakan perlu dikoordinasikan yang jelas, baik dan berpihak kepada para petani karena bagaimanapun peran petani tidak akan tergantikan dan jangan sampai petani itu sendiri yang menjadi aktor dibalik konversi lahan. Namun pembahasan baru-baru ini justru menyebut petani itu sendiri lah yang menjadi agen risiko yang mengarah pada konversi lahan pertanian. Ini jangan dibiarkan dan memandang sebelah mata, mengingat peran petani yang begitu penting dalam penyediaan pangan negara. Memang pada nyatanya negara sangat bergantung pada petani tetapi negara tidak selalu membantu dan berpihak pada mereka.

Permasalahan/risiko-risiko yang mengarah pada konversi lahan perlu diselidiki melalui pendekatan rantai pasok. Menaruh titik kontrol pada tiap tahapan proses penyediaan produk pertanian. Selanjutnya dilakukan analisis apa penyebab munculnya risiko-risiko tersebut atau mencari agen risiko yang mengarah pada konversi lahan. Di antara alasan dan faktor yang membuat para petani ‘mau’ mengkonversi lahan adalah bahwa persiapan dan proses bertani itu terlalu sulit dan butuh tenaga ekstra, sudah sulit lama pula dalam menghasilkan uang. Belum lagi mengatasi serangan hama dan musim di Indonesia yang tidak menentu. Selain itu, permasalahan lahan yang mahal dan bantuan bagi petani yang kurang memadai saat ini.

Berdasar alasan di atas terlihat bahwa pemerintah lah yang seharusnya memiliki peran besar dalam menyelesaikan risiko konversi lahan oleh petani itu sendiri. Pemerintah adalah pembuat kebijakan maka pemerintah harus mengeluarkan peraturan yang mengontrol kenaikan harga lahan pertanian, kemudian optimalisasi jaminan kerugian akibat serangan hama dan penyakit tanaman. Terkadang petani juga tidak mendapat keuntungan sesuai apa yang sudah dikerjakannya, maka pemerintah harus membeli pangan pokok dari petani dengan harga wajar, mengontrol distribusi beras dari petani sampai konsumen dan memberikan bantuan/subsidi kepada para petani. Selain itu, distribusi dan mekanisme distribusi pangan pokok jangan di lepas pada mekanisme pasar, namun pemerintahlah yang memegang sepenuhnya. Pemerintah harus menjadi kontrol kuat dalam pemenuhan pangan warga negara Indonesia.

Permasalahan yang ditimbulkan akibat pergeseran penggunaan laban sawah ke bentuk penggunaan non-pertanian perlu dilihat bukan hanya berdasarkan dampaknya terhadap penurunan produksi produk pertanian yang akan mengakibatkan penurunan konsumsi pangan, tetapi perlu juga dilihat dari sisi ketidak stabilan politik yang disebabkan oleh kerawanan pangan, perubahan tatanan sosial, dan peranannya dalam jasa konservasi tanah dan air yang sangat penting untuk kelanjutan hidup pada masa datang. (Pakpahan et al., 2016)

Maka pembangunan pertanian kedepan dalam era globalisasi ini perlu perhatian khusus dalam membangun masyarakat petani itu sendiri. Orientasi kebijakan kedepan yang harus dibuat adalah kebijakan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani. Selain itu menurut Isa (2006), pembangunan masyarakat pedesaan/petani perlu diarahkan kepada penciptaan sektor pertanian yang terintegrasi, menarik dan menciptakan lapangan usaha yang luas. Semua elemen masyarakat baik pemerintah atau non kepemerintahan harus saling bekerja sama untuk mengatasi ini. Dengan demikian, pengendalian konversi/alih fungsi lahan pertanian produktif dapat terwujud secara sistematis, berjenjang dan berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun